Sabtu, 16 Oktober 2010

METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN

Sumber: http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PK01.htm

BAGIAN SATU: AKAR

METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN

Pekan I Wawasan: Membenahi Kehidupan

1. Apakah Filsafat Itu?

Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya.

"Bodoh," mungkin anda pikir, "kami menempuh matakuliah ini karena tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar seperti itu pada menit-menit pertama kita?"

Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Sekarang, jika benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan saat ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain?

Mahasiswa. "Hmm."

Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya memperoleh nilai "A"! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama?

Mahasiswa A. "Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu tentang berpikir?"

Ya. Memang itulah tugas pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mendapatkan nilai "D". Jadi, jangan harap nilai "A" itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak "filosofis". Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain?

Mahasiswa B. "Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak."

Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: jawaban yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapatkan suatu ciri khas persoalan filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan saat ini, dan kita mencoba menangkap pertanda yang lebih jitu tentang alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, "kita membangun perahu di tempat kita mengapungkannya." Lantas, apa yang — ya?

Mahasiswa C. "Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?"

Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan saat ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?”, dan mengapa saya tidak puas dengan jawaban yang sederhana, seperti "filsafat adalah berpikir"?

Mahasiswa D. "Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam."

Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain dapat dijawab dengan lebih pasti ialah karena jawaban non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda?

Mahasiswa E. "Bisakah anda memberi kami satu contoh pertanyaan yang filosofis?"

Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat contoh pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah "Apa yang pada hakikatnya nyata?". Memeriksa jawaban atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana kita memahami makna kata-kata?"

Dua unsur akhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut "filsafat terapan". Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris "science" berasal dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu),[1] asalkan kita ingat bahwa kita menggunakan kata ini bukan seperti yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah "Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan "Apa maksud keberadaannya?" Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian).

Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari jawaban atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan hubungan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, seperti yang akan segera anda jumpai, adalah diagram-diagram—terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun menurut pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk saat ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang mudah untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai sejenis "peta" untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini:

IV. ontologi:

Apa maksud

keberadaannya?

filsafat

praktis

III. ilmu: I. metafisika

Di mana garis Apa yang pada

batas pengetahuan? hakikatnya nyata?

filsafat

teoretis

II. logika:

Bagaimana kita memahami

makna kata-kata?

Gambar I.1: Empat Unsur Filsafat

Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat fundamental keempat persoalan tersebut perlu diakui.

Mahasiswa F. "Hari ini anda beberapa kali mengacu pada 'filsuf yang baik'. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada 'filsuf yang buruk'? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang memiliki hak atas pendapat mereka sendiri!"

Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang buruk tidak berkaitan dengan "opini". Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, tampaknya sayangnya seakan-akan filsuf yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata "baik" dan "buruk" di sini tidak dimaksudkan sebagai penilaian moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang tugas filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang sebenarnya itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini.

Ada tiga arah pemahaman tugas filsafat. Yang pertama memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "filsafat analitik", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai sejenis profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "eksistensialisme", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang meliputi hampir segala hal yang dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih "otentik"; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun tentang kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya.

Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa penjelasan jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan sampai terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih menyerupai agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita dapat menggambarkan hubungan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut:

filsafat analitik:

penjernihan konsep



filsafat “yang baik”

sintesis keduanya



eksistensialisme:

jalan hidup

Gambar I.2: Tiga Tipe Filsafat

Omong-omong, barangkali filsuf analitik "yang baik" sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial "yang baik". Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang dapat mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat adalah tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang.

Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi tentang bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal jawaban yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita pada dasarnya baru membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal.

Mahasiswa G. "Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan sikap takjub (wonder)."

Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya bengong dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu seperti Alice di Negeri Ajaib?

Mahasiswa G. "Saya rasa tidak. Saya pikir, sikap takjub itu semacam semangat belajar untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menyelidiki mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?"

Memang begitulah! Sebenarnya, kata "filsafat" itu sendiri berasal dari dua kata Yunani "philos" (mencintai) dan "sophos" (kealiman).[2] Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat "ketakjuban". Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik!

Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan "Apakah filsafat itu?" memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita mampu menjawab tuntas hari ini, maka sampai di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali menimbulkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini!

Saya mengatakannya karena, seperti yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan pengakuan kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya adalah bahwa metafisika dapat mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap belajar dari logika tentang bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang dapat kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman baru kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari "ilmu" sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman, kita dapat memasuki tahap-keempat tugas filsafat tanpa menjadi "tersesat di kawasan yang menakjubkan kita", begitulah perumpamaannya. Hal itu karena tugas terakhirnya adalah sungguh-sungguh menghargai sikap takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada sikap takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada sikap takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini.

Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat tugas filsafat yang baru saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat "unsur" filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan dapat dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut:

takjub berkeheningan



cinta kealiman pengakuan kebebalan



pemahaman kata-kata

Gambar I.3: Empat Tujuan Berfilsafat

Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai tugas yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita tetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat.

2. Beberapa Pedoman Penulisan Lembar Mawas

Wawasan adalah batu pondasi semua pandangan filosofis. Tanpa wawasan, kita akan tiada kreativitas, sedikit-banyak selalu tetap sama, di suatu alam yang relatif tidak berakal, tidak berbeda dengan binatang. Bila hewan mempunyai [dorongan hati atau] naluri (instinct), manusia memiliki potensi [dorongan akal atau] wawasan (insight). Oleh sebab itu, salah satu pelajaran terpenting yang harus dipelajari di segala studi filsafat adalah apakah wawasan itu dan bagaimana cara mengembangkan kemampuan diri untuk berwawasan. Beberapa sifat wawasan akan kita bahas dalam matakuliah ini. Bahasan terpentingnya disinggung di Kuliah 12 [tentang Gambar IV.6], 15, 18 [tentang Gambar VI.5], 20 [paragraf kedua], 24 [satu paragraf sebelum dua paragraf terakhir], dan 28 [tentang Gambar X.1]. Itu semua sebaiknya sudah dibaca sebelum anda memulai penulisan lembar pertama anda. Namun keterampilan berwawasan hanya dapat muncul melalui praktek. Karena alasan ini, tanggung jawab anda selaku mahasiswa pada matakuliah ini terutama berpusat pada tugas penulisan serangkaian “lembar mawas” (insight papers). Entah anda membaca buku ini sebagai buku-ajar matakuliah yang sedang anda tempuh entah hanya karena minat anda, saya harap anda sungguh-sungguh mementingkan tindak lanjut dari hal-hal yang anda baca di sini dengan jalan menulis sesuatu untuk anda sendiri. Hal ini akan memberi anda peluang untuk berfilsafat melalui pencatatan hasil renungan anda sendiri terhadap persoalan filosofis tertentu. Pedoman yang hendak saya sarankan pada jam kuliah ini dimaksudkan untuk membantu anda dalam memilih topik yang tepat dan menulis lembar mawas yang baik.

Pada akhir setiap bab atau “pekan” (yakni setiap tiga serangkai kuliah yang direkam di buku ini), saya menyediakan empat pasang “Pertanyaan Perambah”, dengan beberapa baris kosong di bawah masing-masing, tempat anda mencatat sepatah dua patah kata percikan pemikiran anda mengenai pertanyaan yang bersangkutan. Anda bisa memanfaatkan itu sebagai topik lembar mawas anda, kendati topik apa saja bisa diterima, asalkan anda memperlakukannya dengan cara filosofis. Anda pun jangan mencari “serangkaian” solusi di buku ini terhadap masalah pilihan anda yang akan anda renungkan dan anda tuliskan. Lembar mawas adalah arsip wawasan-anda-sendiri, bukan wawasan saya—walau tentu saja, akan anda dapati faedah penggunaan isi kuliah-kuliah saya sebagai batu loncatan untuk mengembangkan cara pikir khas anda sendiri.

Sejauh ini, lembar mawas merupakan aspek terpenting matakuliah ini karena lembar mawas menggenapi tatapmuka perkuliahan dan bacaan-bacaannya dengan pengalaman pribadi berfilsafat yang nyata. Karena itu, lembar mawas yang relevan bisa digunakan sebagai basis diskusi kelas. Tugas pembahasan implikasi persoalan yang diangkat di berbagai lembar mawas acapkali cukup menarik untuk mengisi jam kuliah yang tersedia. Waktu sisanya dicurahkan untuk pembahasan pertanyaan yang muncul dari buku-ajar dan bacaan anjuran yang relevan. Ini berarti bahwa sejak jam kuliah kedua ini setiap mahasiswa diharap untuk membaca [bahan] kuliah yang relevan di buku ini sebelum memasuki kelas. Akan ada banyak gunanya pula bila anda membaca sekurang-kurangnya sebagian dari pustaka yang didaftar di seksi “Bacaan Anjuran” per pekan. Bacaan-bacaan itu biasanya disusun urut, yang berawal dengan bacaan-bacaan yang lebih singkat atau spesifik yang dikutip di dalam teks kuliah, dan berakhir dengan pustaka-pustaka yang lebih panjang dan/atau umum yang akan membantu anda dalam merambah secara lebih mendalam implikasi-implikasi dari topik-topik yang dibahas di kuliah-kuliah pekan yang bersangkutan. Bacaan-bacaan ini juga dapat digunakan untuk merangsang wawasan dan memberi topik yang baik untuk lembar mawas.

Dengan mengingat-ingat kiat-kiat berikut ini, anda akan terbantu dalam membaca secara lebih mawas:

1. Jangan khawatir kalau-kalau tidak setiap kata dan tidak setiap kalimat anda pahami!

2. Alih-alih, fokuskan pada [pencarian] lokasi gagasan-gagasan utama dan upaya pemahamannya!

3. Garis bawahilah kata-kata kuncinya, dan cobalah untuk menangkap alur umum argumentasinya!

4. Garis bawah yang berlebihan akan mematahkan niat tersebut dan terlalu menyulitkan pengulasan.

5. Untuk definisi singkat istilah-istilah kunci, mengaculah pada Daftar Definisi Istilah yang tercatat di halaman belakang buku-ajar ini![3]

6. Berinteraksilah dengan buku ini! Jika anda menolak [suatu gagasan di dalamnya], tulislah alasan anda di tepi halaman; kalau anda menerima, tulislah sesuatu seperti “ya!”. Jika itu mengingatkan sesuatu yang lain, buatlah catatan tentang hal itu; bila anda bingung, tulislah “?”, lalu tanyakan penjelasannya di kelas!

7. Apabila anda mendapati pasal yang menarik di buku-ajar ini, luangkanlah lebih banyak waktu pada pasal tersebut, kemudian burulah Bacaan Anjuran atau mintalah acuan lebih lanjut kepada dosen anda!

8. Jika suatu pasal membosankan anda, cobalah untuk membaca dengan lebih cepat atau sepintas-lalu sampai anda mencapai bagian yang lebih menarik! Anda dapat memandang isinya dengan cepat melalui membaca beberapa paragraf awal dan akhir dan kalimat pertama setiap paragraf sisanya. (Gunakan kiat ini terhadap Bacaan Anjuran, bukan terhadap buku ini!)

9. Yang terpenting, percayalah kepada daya-paham anda sendiri! Ambillah semboyan Pencerahan untuk anda sendiri: Beranilah menggunakan akal anda sendiri!

Filsafat harus dipelajari dengan bebas dan dengan desakan luar yang sesedikit mungkin, sehingga matakuliah ini praktis tidak menuntut anda membaca sebanyak-banyaknya karya-karya klasik. Akan tetapi, kuliah-kuliah kita nanti akan sering mengacu pada banyak teks klasik, sehingga diasumsikan bahwa siapa saja yang, atau mulai, termotivasi dari dalam untuk berfilsafat akan berupaya untuk mengakrabi bacaan-bacaan tambahan itu sebanyak mungkin.

Nah, berikut ini jawaban singkat atas pertanyaan-pertanyaan paling dasar yang biasanya ditanyakan oleh mahasiswa-mahasiswa ketika mereka berusaha memahami hakikat dan maksud penulisan wawasan mereka:

Apa? Lembar mawas adalah karya tulis singkat tentang pemikiran, pandangan, dan penalaran anda sendiri tentang topik apa saja, dengan ketentuan bahwa anda memperlakukannya secara filosofis. Penyiapan dan penulisan makalah semacam itu merupakan salah satu aspek terpenting kelas ini. Karena itu, anda seyogyanya menulis lembar mawas setelah beberapa saat seusai memikirkan dengan penuh konsentrasi atau merenungkan sesuatu yang filosofis, sekurang-kurangnya selama limabelas menit. Di samping pertanyaan-pertanyaan di akhir setiap pekan, inilah beberapa contoh jenis pokok bahasan yang bisa anda pilih untuk anda renungkan: segala pertanyaan atau persoalan yang diangkat di kuliah-kuliah di buku ini atau dibahas di kelas; pertanyaan tentang makna atau hakikat sesuatu; teori atau argumen yang diajukan oleh beberapa filsuf yang telah anda baca; obyek atau pandangan yang anda pikir indah atau aneh; pengalaman yang menurut anda sangat filosofis; dan sebagainya.

Bagaimana? Padatkan! Jangan mengira bahwa makalah yang panjang akan selalu mencapai hasil yang baik. Itu tidak benar. Kadang-kadang beberapa kalimat sudah cukup untuk menunjukkan bahwa anda memiliki wawasan filosofis yang signifikan. Segala hal yang tidak langsung berkaitan dengan wawasan itu sendiri sebaiknya diringkas atau disingkirkan. Makalah anda mesti menyediakan tempat yang sesempit mungkin bagi pemerian informasi latar belakang, semisal ide-ide orang lain. Sebagian besar dari tempat itu harus dicurahkan untuk pemikiran, kritikan, analisis, dan ide-ide anda sendiri mengenai jawaban dan hal-hal lain yang masuk akal. Sebagai aturan umum, mestinya satu halaman kertas standar sudah cukup panjang. Kalau anda perlu menggunakan dua halaman, tolong lestarikan pepohonan dengan menulis kedua sisi (bolak-balik) satu lembar kertas.

Berapa banyak? Tulislah lembar mawas sebanyak-banyaknya! Jika anda memakai buku ini sebagai buku-ajar perkuliahan, periksalah rincian jumlah lembar mawas yang disyaratkan, tanggal penyerahan, dan pedoman khusus lainnya.

Mengapa? Maksud lembar mawas adalah melatih keterampilan berfilsafat anda, dengan membolehkan anda merambah ide-ide filosofis sedalam-dalamnya. Jadi, ingat-ingatlah hal ini ketika anda menulis lembar mawas. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang menggerakkan pemikiran anda yang melampaui kulitnya, seperti “mengapa?”, “apa maksudnya?”, “bagaimana saya tahu?”, “apakah ini?”, dan lain-lain. Jangan cuma mengulang pandangan orang lain. Anda dapat menyebut gagasan orang lain (umpamanya teori-teori dari beberapa filsuf yang telah anda kaji), namun cobalah melakukannya dengan sesingkat mungkin. Sebagian besar isi makalah harus dicurahkan untuk penjelasan dan analisis terhadap gagasan anda sendiri. Baik kreativitas maupun argumentasi yang berhati-hati akan sangat bernilai, di samping kejelasan dan keteraturan. Pernyataan opini anda sendiri belaka, tanpa alasan pendukungnya, tidak memadai. Opini dapat dicantumkan sebagai titik pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut, tetapi wawasan asli lebih bernilai daripada opini yang tanpa dasar.

Apa berikutnya? (Pembaca yang bukan mahasiswa [saya] silakan melompati jawaban atas pertanyaan ini dan dua paragraf di bawahnya.) Lembar mawas mesti dipakai sebagai basis diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas. Untuk diskusi di dalam kelas, beberapa makalah akan dibacakan (secara anonim) di depan kelas. (Jika anda tidak ingin tulisan anda dibacakan di depan kelas, anda harus menulis di lembar anda sesuatu seperti “Harap lembar ini tidak dibacakan di kelas karena ...” dan jelaskan alasannya.) Normalnya, makalah-makalah itu akan dikembalikan pada akhir tatap-muka berikutnya; kata-kata pentingnya akan digarisbawahi dan beberapa pertanyaan atau komentar yang relevan akan dituliskan di lembar makalah anda. Catatan itu tidak selalu mencerminkan sudut pandang dosen-anda sendiri, namun dimaksudkan untuk membantu anda dalam memikirkan dengan lebih mendalam persoalan yang diangkat di dalamnya.

Pertanyaan yang barangkali sekarang ada di benak kebanyakan pembaca dari kalangan mahasiswa adalah: bagaimana lembar mawas akan dinilai? Tentu saja, dosen-dosen tak pelak lagi akan mempunyai kriteria yang berlainan untuk menilai kelayakan-relatif tugas semacam itu. Tindakan saya sendiri adalah mencari keseimbangan antara kreativitas, kejelasan, dan ketegasan kritis (yakni mempertimbangkan seluk-beluk berbagai kemungkinan sudut pandang). Berikut ini skala penilaian kasar yang didasarkan langsung pada tiga kriteria itu. Lembar “A” adalah yang kuat di ketiga bidang. Lembar “B” harus kuat di dua bidang, walau agak lemah di bidang lainnya, atau kuat di satu bidang dan sedang-sedang saja di dua bidang lainnya. Berikutnya, lembar “C” bisa kuat di salah satu area dan lemah di dua area lainnya, atau sedang-sedang saja di ketiga area. Lembar “D” adalah yang tidak kuat di ketiga bidang dan benar-benar lemah di satu atau dua bidang. Adapun lembar mawas yang gagal ialah yang lemah di ketiga area; hal ini biasanya lantaran kebanyakan atau seluruh isinya cuma menyalin dari sumber lain, atau kandungannya tidak lain kecuali paparan cerita, peristiwa, dan sebagainya, tanpa upaya sama sekali untuk memikirkan implikasinya.

Sewaktu mengajar Pengantar Filsafat, saya beberapa kali menggunakan metode “lulus-gagal” untuk menilai lembar mawas: lembar-lembar dibubuhi tanda v jika mengandung isi filosofis yang cukup untuk mendapatkan sekurang-kurangnya nilai “C” dan diberi tanda minus jika di bawah level itu. (Dalam kasus itu, saya juga memberi tanda plus untuk menghargai makalah istimewa yang berstandar tinggi.) Kelebihan metode penilaian itu adalah bahwa, dengan melunakkan tekanan sebagian mahasiswa yang mungkin merasa menulis sesuatu hanya untuk mengesankan dosen, metode itu cenderung memberi rasa kebebasan yang lebih banyak untuk memilih topik-topik yang sesuai dengan minat mereka. Kelemahannya, tentu saja, adalah bahwa sebagian mahasiswa mungkin tidak berupaya keras untuk berlatih sebagai akibat dari mengetahui bahwa makalah yang sedang-sedang saja akan menerima nilai yang sama dengan makalah yang hebat.

Berlandaskan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa akan tertarik untuk belajar menulis lembar mawas dengan lebih baik, tak peduli apakah (atau bagaimanakah) lembar itu dinilai, saya hendak menghabiskan jam kuliah ini dengan serangkaian saran untuk meningkatkan keterampilan anda di bidang ini. Pertama, anda jangan memilih topik sebelum anda memiliki wawasan dengan merenungkan topik yang tersedia. Kalau anda belum memilikinya, curahkanlah lebih banyak waktu untuk perenungan anda: pengembangan dayatangkap wawasan adalah disiplin yang memakan waktu! Pokoknya, anda harus melawan godaan untuk memperlakukan lembar mawas sebagai esai belaka, dengan memilih topik secara serampangan dan kemudian mencoba mereka-reka “wawasan” hanya untuk menjadikan makalah anda terlihat bagus. Apabila benak anda senantiasa terbuka dan merenungkan persoalan-persoalan yang anda cermati, maka akhirnya wawasan akan muncul; menyeleksi salah satu dari persoalan-persoalan itu untuk topik makalah anda akan memastikan bahwa anda mempunyai topik yang lebih menarik anda daripada kalau anda cuma memilih pertanyaan atau persoalan filosofis secara serampangan yang anda peroleh secara kebetulan.

Segera seusai anda mempunyai wawasan dan memilih topik berdasarkan wawasan ini, anda harus melakukan lebih daripada sekadar menyatakan wawasan anda. Dengan kata lain, anda jangan cuma mengajukan pertanyaan dan kemudian memberi jawaban yang “benar”. Alih-alih, anda harus menganalisis kesahihan wawasan anda dengan mempertimbangkan kemungkinan penolakan orang lain dan menyediakan alasan untuk menopang pandangan anda. Pendekatan semacam ini akan menghindarkan wawasan anda dari penampilan yang hanya menyerupai ungkapan opini anda. Karena alasan yang sama, anda harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan pandangan—bahkan barangkali semua kemungkinan pandangan, kalau bisa. Artinya, anda harus memikirkan persoalan dari berbagai perspektif sebanyak mungkin.

Istilah “perspektif” itu akan menjadi salah satu istilah teknis terpenting pada keseluruhan matakuliah ini. Perspektif adalah cara pandang terhadap sesuatu, atau konteks umum untuk menafsirkan persoalan, dan sangat menentukan jenis jawaban yang akan diberikan. Salah satu pelajaran penting yang harus dipelajari seawal mungkin dalam pendidikan filsafat anda adalah bahwa pertanyaan yang sama dapat memiliki jawaban-jawaban benar yang berlainan, jika diambil perspektif yang berbeda. Hal ini akan banyak dibicarakan pada waktu kita menjalani matakuliah ini.

Komentar-komentar yang saya tuliskan di lembar mawas mahasiswa biasanya dimaksudkan untuk membantu dalam proses tersebut, proses melihat persoalan dari berbagai perspektif. Akibatnya, yang saya tulis di lembar mawas mahasiswa tidak selalu mencerminkan pandangan saya sendiri; saya lebih sering mengajukan pertanyaan yang saya rasa terlupakan dan karenanya sebaiknya dipertimbangkan jika dilakukan perenungan lebih lanjut terhadap topik itu. Jika anda membaca buku ini bukan sebagai buku-ajar kuliah, maka saya sarankan anda mencari teman yang berpikiran-filosofis yang bisa anda ajak bertukar lembar mawas. Bacalah dan berilah komentar makalah teman anda itu secara teratur, dengan tujuan saling membantu memperdalam pemikiran persoalan yang dibicarakan.

Saya banyak memusatkan perhatian pada pemerolehan keinsafan akan perspektif yang berlainan, karena inilah yang saya yakini paling signifikan, di antara segala keterampilan filosofis, dalam menyiapkan kita untuk mengarungi kehidupan dengan baik. Pernyataan Sokrates bahwa “kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga” (lihat Kuliah 5) itu benar hanya jika kita memiliki cara yang efektif untuk memeriksa kehidupan kita. Pemeriksaan-diri semacam itu memiliki dua segi yang berbeda, yang berhubungan dengan aspek kesadaran dan ketidaksadaran alam. Matakuliah ini hanya berkenaan dengan wawasan dan perspektif yang berhubungan dengan aspek pertama. Saya mengajar matakuliah lain tentang penakwilan mimpi dan pengembangan kepribadian yang terutama berkenaan dengan aspek kedua (lihat DW). Di matakuliah ini sebagaimana rangkaiannya, kesadaran akan perspektif merupakan kunci metode pemeriksaan-diri yang efektif. Tanpa itu, bagi kita wawasan kita tak akan lebih dari serangkaian prakonsepsi berat sebelah yang kita percayai tanpa tahu mengapa nyatanya kita mempercayainya, atau tanpa tahu apa pilihan-pilihannya. Namun dengan kesadaran semacam itu, kita pun dapat belajar menerima sahnya prakonsepsi tertentu, bila perspektif yang didukung oleh prakonsepsi itu terlihat lebih unggul daripada pilihan-pilihan lain. Pada faktanya, persoalan prakonsepsi itu amat mendasar untuk memahami hakikat dan fungsi filsafat. Oleh sebab itu, saya akan mencurahkan semua kuliah mendatang untuk memeriksa topik tersebut dengan lebih rinci.

3. Filsafat Laksana Mitos

Pernah ada pohon; namanya "Filsafat". ...

Di keseluruhan matakuliah ini, saya ingin kita semua memperlakukan cerita pendek tersebut seolah-olah sebagai kunci pintu alam filsafat. Gagasan serupa bisa kita ungkap dalam bentuk analogi yang lebih filosofis dengan mengatakan, "filsafat itu laksana pohon". Dengan kata lain, kita asumsikan saja--sebagai titik tolak yang mapan untuk segala pemeriksaan kita--bahwa hakikat dan unsur-unsur pohon menunjukkan gelagat mengenai hakikat dan unsur-unsur filsafat. Akan tetapi, seperti halnya prakiraan tulus apa pun, kita tidak akan mati-matian mempertahankan titik tolak itu dengan bukti-bukti yang tak terbantah; yang bisa kita lakukan hanyalah meyakini nilai dan kebenarannya, dan kemudian merambah berbagai implikasinya. Andaikan hasil akhirnya kurang memuaskan, kita buang saja prakiraan itu, lalu kita bertolak lagi dengan hipotesis-hipotesis baru. Namun sementara ini, saya akan mengacu pada analogi tersebut berulang kali pada matakuliah ini dengan harapan memperoleh wawasan yang lebih luas dan lebih jelas dalam disiplin yang kita sebut "filsafat".

Maksudnya, asumsi bahwa pernah ada pohon yang bernama "filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos yang memandu dan menjaga kesatuan berbagai ide yang kita bahas di sini. Makna kata "mitos", bila digunakan dengan cara itu, bukan "cerita khayalan atau takhayul" yang lazim terpakai dalam bahasa sehari-hari. Di sini, saya justru memanfaatkan arti spesialnya, yang digunakan oleh antropolog-antropolog dalam paparan mereka tentang primitifnya asal-usul agama. Sekarang saya hendak merambah pengertian baru kata "mitos", bukan hanya supaya kita bisa memahami lebih jelas maksud ungkapan bahwa "pohon filsafat" itu akan berlaku sebagai mitos kita [sekurang-kurangnya pada matakuliah ini], melainkan juga karena, seperti yang akan kita bahas, filsafat itu sendiri banyak berasal dari pola pikir mitologis spesial tersebut.

Tentang bagaimana mitos berfungsi dalam masyarakat primitif, seperangkat penjelasan yang elok disodorkan pada Bab Pertama dalam Myth and Reality, karya Mircea Eliade, salah seorang cendekiawan abad keduapuluh yang paling berpengaruh dalam studi agama secara ilmiah. Karena makna yang ia rujuk pada kata "mitos" sangat mirip dengan asumsi yang saya maksud pada alinea di atas, saya hendak menyoroti beberapa hal penting yang ia catat. Yang paling berharga, ia mendefinisikan mitos sebagai suatu cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda-benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Mitos Prometheus, misalnya, memberi tahu kita tentang asal-usul api di samping hal-hal lainnya. Subyek-subyek mitos yang paling umum di antaranya adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan seksualitas, hubungan keluarga, dan kematian.

Pelaku dalam mitos-mitos itu biasanya dewa, sesuatu yang adikodrati, atau pahlawan dengan kekuatan yang adikodrati. Sayangnya, para penyimak modern cenderung kurang menyadari fakta bahwa cerita-cerita itu terutama berfungsi sebagai model perilaku manusia. Namun bagaimanapun, dalam seabad ini sudah ada upaya untuk memperlihatkan bahwa mitos-mitos kuno itu mengisahkan riwayat, berbicara tentang manusia. Psikolog Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa mitos Oedipus, orang yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, mengemukakan riwayat tentang pengalaman kanak-kanak semua lelaki, bukan hanya anak yang hidup pada masa Yunani Kuno. (Untuk rincian lebih lanjut, lihat DW, Kuliah 8.) Secara demikian, alangkah baiknya bila dalam menyimak suatu mitos kuno, kita menganggap semua tokoh itu dalam hal tertentu menuturkan cerita tentang siapakah kita. Ketika saya membaca mitos sebagai riwayat hidup saya sendiri, maka sesuatu yang dulu tampak aneh dan tidak relevan tiba-tiba mengilhami makna baru.

Menurut Eliade, anggota-anggota suku menilai mitos mereka sebagai kisah yang paling sejati di antara semua kisah nyata. Kesejatiannya ditonjolkan berkali-kali oleh fakta bahwa mengaktifkan mitos dalam bentuk ritual memungkinkan mereka untuk berkuasa terhadap alam. Di samping itu, repetisi ritual kisah itu senantiasa menghidupkan mitos dalam jiwa dan benak orang-orang tersebut. Bahkan, tampaknya mereka memiliki dua jenis kisah yang berbeda. Pertama, cerita yang berhubungan dengan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan mereka sehari-hari; kedua, cerita yang berkaitan dengan kejadian yang berlangsung pada "masa mitologis" istimewa (yang terkadang diacu sebagai "masa impian"). Dalam bahasa Jerman, ada perbedaan di antara dua macam kisah ini. Untuk memaparkan cerita-cerita biasa, dipakai kata historie, sedangkan untuk memaparkan cerita-cerita dengan makna spesial yang lebih mendalam, digunakan kata geschichte. Jadi, kata heilsgeschichte mengacu pada "sejarah suci" istimewa yang eksis, sebagaimana adanya, pada tingkat yang beda dari sejarah biasa.

Walaupun laporan Eliade itu sangat cermat sebagai paparan tentang mitos yang terdapat pada kebudayaan primitif, saya ingin menanamkan kesan bahwa, dengan sedikit revisi, kita bisa mendapati unsur mitologis dalam setiap kebudayaan, yang mana pun, termasuk kebudayaan kita sendiri. Mula-mula, alih-alih, saya sarankan agar pengertian mitos tidak kita batasi pada "cerita lama", tetapi kita perluas sehingga mencakup segala keyakinan, riwayat, dan rancangan yang diperlakukan sebagaimana fungsi legenda bagi orang-orang primitif. Dengan kata lain, segala hal yang kita manfaatkan untuk menjelaskan mengapa hal-hal sedemikian adanya, atau segala sesuatu yang kita gunakan sebagai model untuk perilaku kita, bisa kita anggap sebagai mitos. Dengan cara ini, kita sisihkan tuntutan bahwa tokoh-tokoh di dalam mitos sangat jauh dari diri kita dan bahwa unsur-unsur ceritanya terlalu aneh bagi indera modern.

Tentu saja, tidak semua penjelasan tentang realitas bersifat mitologis, sehingga kriteria Eliade mengenai nilai kebenaran mitos perlu kita ingat. Akan tetapi, saya pikir kita harus menolak kesaksiannya bahwa mitos melambangkan kebenaran yang paling sejati di antara yang benar. Alih-alih, saya percaya corak penentu keyakinan mitologis, selama mengenai nilai kebenarannya, adalah bahwa maknanya menjadikan mitos melampaui pertanyaan.[4] Dengan kata lain, bagi orang yang “hidup dengan bermitos”, pertanyaan tentang tepat atau sesatnya cerita atau keyakinan atau pandangan itu tidak relevan. Begitulah mitos. Dengan kata lain, pada tingkat sedalam itu bisa dimengerti bahwa mempertanyakannya pun tak terpikir sama sekali. (Revisi pandangan tentang nilai kebenaran mitos digambarkan oleh diagram yang terlihat di Gambar I.4.) Itu bukan berarti bahwa orang-orang yang hidup dengan bermitos tidak mampu mengajukan pertanyaan tentang makna mitos mereka, melainkan justru sebaliknya. Pembahasan pertanyaan-pertanyaan semacam itu acapkali memainkan peranan penting dalam masyarakat-masyarakat yang diatur dengan mitos tertentu. Satu-satunya pertanyaan yang tidak pernah timbul adalah pertanyaan dasar tentang apakah mitos itu sendiri benar ataukah tidak.

sejarah:

riwayat, keyakinan, dan

lain-lain yang nyata

mitos:

riwayat, keyakinan, dan hal-hal mempertanyakan

maknawi lain yang tak dipersoalkan

dongeng:

riwayat, keyakinan, dan

lain-lain yang khayal

Gambar I.4: Nilai Kebenaran Mitos

Bilamana keyakinan akan mitos mereka dipersoalkan oleh orang lain, maka mereka sangat enggan untuk menanggapinya. Pernyataan Eliade bahwa mitos diyakini sebagai "yang paling sejati" di antara kisah-kisah nyata itu bersandar pada kesalahpahaman akan tanggapan itu. Orang-orang primitif itu secara naluriah mengetahui bahwa gagasan "kebenaran" tidak cocok sama sekali jika diterapkan pada mitos. Mempersoalkan "kebenaran" mitos berarti menyalahpahami makna mitos. Klaim Eliade tersebut lebih merupakan ide-ide prakiraan yang bersumberkan data dari bacaan antropolog-antropolog daripada niat aktual orang-orang primitif tersebut. Karena itu, demi tujuan kita, istilah “mitos” mengacu pada segala keyakinan yang maknanya sangat dekat dengan jalan hidup orang yang tak pernah mempertimbangkan pengajuan pertanyaan "Benar atau salahkah ini?"

Kini saya harap anda mengerti dengan lebih jelas apa yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa cerita tentang suatu pohon yang berjuluk "Filsafat" akan menjadi mitos kita yang memandu matakuliah ini. Maksudnya, saya ingin anda mengakui kebenaran analogi "filsafat itu seperti pohon" begitu saja tanpa mempertanyakannya. Selanjutnya, saya menghendaki, gambar pohon filsafat berlaku sebagai model untuk segala perenungan anda mengenai apakah filsafat itu. Dengan melakukannya, akan anda dapati bahwa anda mempunyai semacam daya untuk memahami wawasan-wawasan filosofis yang biasanya di luar jangkauan para pemula. Namun sebelum kita mulai merambah beberapa wawasan filosofis itu, saya berniat mengulas asal-usul mitologis filsafat itu sendiri.

Sebagian besar sejarah kebudayaan biasanya menoleh ke "zaman keemasan" yang kehidupan manusianya sangat berbeda dengan kehidupan masa sekarang. Kerinduan untuk kembali ke zaman keemasan ini (yang pada umumnya berkaitan erat dengan "masa impian" atau "masa mitologis" yang disebut di atas) merupakan penggerak perubahan-perubahan kebudayaan. Bagi orang-orang Yahudi terdahulu, zaman keemasannya adalah Taman Surga, yang di dalamnya Adam dan Hawa “berjalan-jalan dengan Allah di suatu sore hari yang sejuk”. Bagi orang Cina pada era Konfusius (551-479 S.M.), zaman keemasannya ialah periode "kaisar-kaisar bijaksana", tatkala Cina diperintah dengan alim dan murah hati. Karena filsafat Barat, yang merupakan fokus utama kuliah ini, bermula di Yunani Kuno, perlu dicatat bahwa orang-orang Yunani itu juga mempercayai zaman keemasan. Oleh sebab itu, mari kita tengok secara ringkas sejarah Yunani Kuno supaya kita beroleh beberapa pahaman tentang bagaimana filsafat lahir dari mitos.

Beberapa cendekiawan yakin, impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 S.M.). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani (lihat MM 87-89 dan BM 213-215, 278). Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah "penciptaan epos-epos Homer [kira-kira 900 S.M.], yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini" (MM 88, BM 464). Epos-epos ini mengalihkan pelbagai mitos yang tak teratur menjadi bentuk yang puitis, sehingga makna mitos menjadi lebih gamblang (BM 256 dst.). Akan tetapi, budi (consciousness) manusia belum mencapai wujud modern seperti yang kita kenal saat ini. Menurut Jaynes, baru "pada abad keenam S.M." pola pikir primitif tergusur oleh "akal budi subyektif" modern kita (BM 259-260, 285-286)--pada sekitar waktu itulah tampil filsuf pertama di Yunani Kuno, yang bernama Thales (kira-kira 624-546 S.M.). Ini lalu diikuti dengan kegiatan filosofis yang mendalam selama tiga abad, yang memuncak dengan karya seorang filsuf yang bernama Aristoteles (384-322 S.M.). Karya Aristoteles itu signifikan karena, sebagaimana yang akan kita amati pada Kuliah 6, dialah filsuf utama Yunani yang mula pertama membangun suatu sudut pandang "ilmiah", dalam pengertian yang modern. Jika kita tempatkan perkembangan-perkembangan besar tersebut pada suatu jalur waktu; sketsa kasar sejarah Yunani Kuno itu terlihat seperti ini:

1200 900 600 300 0

zaman mitos sastra filsafat ilmu

keemasan

Perang Epos Thales Aristoteles Yesus

Troya Homerik

Gambar I.5: Alur Sejarah di Yunani Kuno

Selang tigaratus tahun antara perubahan-perubahan utama yang dilambangkan dalam diagram itu tentu saja hanya perkiraan waktu kejadian perubahan yang sebenarnya. Namun bagaimanapun, adalah signifikan bahwa sejarah sendiri menyiratkan pola perkembangan yang teratur tersebut. Pola itu pada faktanya mengingatkan kita kepada rupa arloji, yang terdiri atas duabelas bagian (jam/abad) yang dikelompokkan dalam empat perempatan. (Di Pekan V kita akan memeriksa struktur logis pola ini, yang juga menyediakan basis untuk pengorganisasian bab-bab di buku ini.) Yang menarik, keseluruhan periode peradaban Yunani Kuno itu diakui oleh beberapa orang sebagai "zaman keemasan"--suatu fakta yang menyiratkan bahwa pola tersebut adalah sesuatu yang berulang sendiri secara terus-menerus. Jika demikian, maka cara baik lainnya untuk menggambarkan pertalian antara empat perkembangan itu adalah memetakannya ke dalam gambar rupa arloji (yakni sebuah lingkaran yang terbagi atas empat kuadran).

Jika sekarang kita ingat kembali fakta bahwa kalender modern (Masehi) kita berawal pada titik hentian Gambar I.5 (yaitu tahun kelahiran Yesus, sekalipun bukan di Yunani), maka kita bisa menyaksikan bahwa cara terbaik untuk memetakan jalur-waktu itu pada lingkaran ialah membalikkannya (dengan cara menukar posisi antara angka 9:00 dan angka 3:00), sebagaimana penghitungan tahun S.M. (Sebelum Masehi) kita yang berkebalikan dengan penghitungan tahun Masehi kita. Hal ini menghasilkan peta bentuk-bentuk pemikiran manusia yang saling berhubungan yang terlihat di Gambar I.6.

Perang Troya



ilmu mitos

Aristoteles Homer

filsafat sastra



Thales

Gambar I.6: Empat Bentuk Pemikiran di Yunani Kuno

Saya ingin mengakhiri jam kuliah ini dengan menanamkan sebuah cara lebih lanjut untuk bisa memahami bagaimana empat ide tersebut--mitos, sastra, filsafat, dan ilmu--saling berhubungan. Kelirulah perkiraan bahwa tiada hubungan historis selain kebetulan belaka antara keempat ide itu. Pada aktualnya, ada landasan logis bagi pertalian tersebut, seperti yang tergambar dalam diagram yang terdapat pada Gambar I.7. Hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya. Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya tinggal di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu. Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan "lingkaran" mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi "makna tersembunyi" yang terkandung di dalam ekspesi puitis mitos. Filsuf berupaya menjelaskan makna itu dengan cara yang lebih harfiah atau lebih obyektif: sementara pujangga bisa menulis karya sastra tanpa secara eksplisit mempertanyakan mitos, filsuf harus mempertanyakan mitos. Memang itulah salah satu dari tugas-tugas utama filsafat. Berbeda dengan para filsuf, para ilmuwan menarik diri mereka sendiri sejauh-jauhnya dari alam mitos sehingga mereka tidak bisa lagi mengamati adanya makna tersembunyinya sama sekali. Filsuf mempertanyakan nilai kebenaran mitos (yakni masih membuka kemungkinan untuk mencari kebenaran yang terungkap di dalamnya), sedangkan ilmuwan menolak mitos karena hanya merupakan "cerita bohong" (lihat Gambar I.4). Para ilmuwan tinggal sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi.

ilmu

sastra

filsafat

mitos

Gambar I.7: Peta Empat Bentuk Pemikiran Manusia

Jelas bahwa penggunaan sehari-hari istilah "mitos" itu kita dapatkan maknanya dari kecenderungan budaya modern kita yang menaruh kepercayaan mutlak kepada sains. Namun ironisnya, cara kita dalam memakai istilah kunci ini menyingkapkan bahwa ilmu itu sendiri mempunyai beberapa ciri seperti mitos, umpamanya kebebalan akan garis-garis tapal batasnya. Nah, ini menimbulkan pertanyaan apakah empat bentuk pemikiran dasar tersebut bisa berfungsi sebagai lingkaran, yang dengannya ilmu itu sendiri pada bentuknya yang paling ekstrim merupakan semacam mitos juga. Karenanya, salah satu tugas utama kita dalam matakuliah ini, bila kita hendak menjadi filsuf yang baik dalam suasana sekarang ini, adalah mempersoalkan hak eksklusif pandangan dunia ilmiah atas benak kita. Oleh sebab itu, pada pekan depan, kita akan bertolak dari pemeriksaan sifat melingkarnya empat bentuk pemikiran manusia itu dengan lebih rinci. Lalu kita akan menaruh perhatian khusus pada perkembangannya di Yunani kuno, yang di dalamnya dihasilkan dua sistem filsafat yang paling berpengaruh, yaitu sistem-sistem yang melambangkan dua cara utama berfilsafat (bandingkan dengan Gambar I.2) sedemikian efektif sehingga sistem-sistem itu terus mengandung buah wawasan hingga hari ini.

Pertanyaan Perambah

1. A. Apakah filsafat itu?

B. Bagaimana filsafat menyerupai pohon?

..............................

..............................

2. A. Apakah pertanyaan itu, dan mengapa itu penting dalam filsafat?

B. Bagaimana pemeriksaan-diri yang filosofis berbeda dengan yang lainnya?

..............................

..............................

3. A. Apakah memiliki ide-ide filosofis cukup untuk menjadikan anda filsuf?

B. Apakah wawasan (insight) itu?

..............................

..............................

4. A. Mungkinkah sebelum ada filsafat, manusia telah berbudi (conscious), [yakni memiliki alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan sehingga mampu menimbang baik-buruk]?

B. Adakah mitos-mitos modern kita?

..............................

..............................

Bacaan Anjuran

1. Shel Silverstein, The Giving Tree (New York: Harper & Row, 1964).

2. Gary E. Kessler, Voices of Wisdom 3rd Edition (Belmont, Ca.: Wadsworth Publishing Company, 1998[1992]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, pp. 1-11.

3. Richard Osborne, Philosophy for Beginners (New York: Writers and Readers Publishing, Inc., 1992).[5]

4. Robert Paul Wolff, About Philosophy 5th Edition (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1992[1976]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, dan Lampiran “How to Write a Philosophy Paper”, pp. 1-37, 452-472.

5. Roger L. Dominowski dan Pamela Dallob, “Insight and Problem Solving”, Bab 2 dalam R.J. Sternberg dan J.E. Davidson (ed.), The Nature of Insight (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1995), pp. 33-62.

6. Mircea Eliade, Myth and Reality (London: George Allen & Unwin, 1964), Bab Satu, "The Structure of Myths", pp. 1-20.

7. Richard A. Underwood, “Living by Myth: Joseph Campbell, C.G. Jung, and the Religious Life-Journey”, Bab 2 dalam D.C. Noel (ed.), Paths to the Power of Myth (New York: Crossroad, 1990), pp. 13-28.

8. Julian Jaynes, The Origins of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind, Bab I.3 dan II.3, "The Mind of Iliad" dan "The Causes of Consciousness", (BM 67-83, 205-222).

Catatan Penerjemah

[1] Kata Indonesia "ilmu" berasal dari kata Arab 'ilm yang berarti "pengetahuan".

[2] Pada teks aslinya, Palmquist menulis “phileo” dan “sophia”, tetapi ia menyetujui perubahan yang saya buat.

[3] Sangat bolehjadi, istilah-istilah khas (baik Inggrisnya maupun Indonesianya) di dalam buku ini memiliki definisi yang berbeda dengan makna yang selama ini anda pahami. Mengingat akan besarnya kebolehjadian ini, Daftar Definisi Istilah akan sangat membantu anda dalam menghindari kesalahpahaman.

[4] Apa maksudnya? Palmquist menjelaskannya sebagai berikut. Kebermaknaan (subyektif) mitos bagi orang yang mempercayainya menyebabkan orang itu secara total tidak tertarik dan/atau tidak berkehendak untuk menyerahkan kepercayaan itu kepada penyidikan rasional yang disarankan oleh orang yang mengajukan pertanyaan tentang keabsahannya. (Orang yang memiliki suatu keyakinan mitologis mungkin cukup terbuka lebar-lebar untuk mengajukan sejenis pertanyaan tertentu, semisal “apa yang saya maksudkan dengan keyakinan ini?”; jenis pertanyaan yang tidak dibolehkan ialah “apakah pada kenyataannya kepercayaan ini benar?”)

[5] Edisi Indonesianya, Filsafat untuk Pemula, diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta.

RESENSI BUKU DARAS FILSAFAT ILMU

Sumber: http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/mystudents/syahir/filsafat-ilmu.html
Oleh:SYAHIR MAHMUD

Buku ini berjudul Filsafat Ilmu yang ditulis oleh DR. Amsal Bakhtiar, MA (penulis) dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk mendorong dan membantu civitas akademika dalam proses perkuliahan tentang Filsafat Ilmu. Selain itu buku ini juga berguna bagi kaum awam untuk menyelami dan memperluas wawasan tentang hakikat ilmu secara filsafat.

Pada awalnya pandangan pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh paham mitosentris yaitu bahwa semua kejadian dialam raya ini dipengaruhi oleh para dewa. Thales (624-546 SM), sebagai bapak filsafat disusul kemudian oleh Phytagoras (572-497 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) merupakan filosof-filosof pertama yang mengubah pola pikir manusia yaitu dari pola pikir mitosentris ke pola pikir logosentris. Aristoteles bahkan telah memperkenalkan ”Allah” sebagai penggerak Pertama atau Aktus Murni sebagai sumber dari segala sumber penggerak

Bagian pertama buku ini membahas tentang Ruang Lingkup Filsafat Ilmu. Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang terpisah tetapi saling terkait. Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek materinya adalah segala yang ada baik yang tampak (dunia empirik) maupun yang tidak tampak (alam metafisik). Sementara Ilmu juga memiliki dua obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek materialnya adalah alam nyata misalnya tubuh manusia untuk ilmu kedokteran, planet untuk ilmu astronomi dan lain sebagainya. Sedangkan obyek formalnya adalah metoda untuk memahami obyek material misalnya pendekatan induktif dan deduktif.

Ada filosof yang menyatakan bahwa ilmu semakin jauh dari induknya yaitu filsafat. Penulis memilih sebuah contoh yang tepat yang dikutip dari Will Durant. Oleh Will Durant diibaratkan bahwa, filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafat menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan ilmu pengetahuan. Setelah itu ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasinya masing-masing, sehingga ilmulah yang secara praktis membelah gunung dan merambah hutan dan filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.

Pada bagian ini juga dituliskan bahwa, pada perkembangan berikutnya filsafat bukan hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah menjadi bagian dari ilmu itu sendiri dan bersifat sektoral misalnya filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu.

Selanjutnya diberikan definisi filsafat atau falsafat (bahasa Arab) sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Juga diberikan pengertian falsafat yang beragam seperti : upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas, menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan : sumbernya, keabsahannya dan nilainya. Masih ada beberapa pengertian lain yang dituliskan pada halaman 5 sampai 10 diantaranya menurut Al-Farabi (W 950M) bahwa falsafat adalah ilmu tentang yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

Diberikan juga pengertian kata hikmah (sophos) yang merupakan salah satu makna dari falsafat yaitu mencintai hikmah. Fuad Iframi, Ibnu Mundzir, Al-Jurjani dan Ibn Sina memberikan pengertian hikmah yang secara tekstual berbeda namun secara kontekstual tetap sejalan. Salah satu diantaranya yang didefinisikan oleh Ibn Sina. Menurutnya hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan mebenarkan segala hakikat baik yang bersifat toeri maupun praktik menurut kadar kemampuan seseorang.

Salah satu sub-bagian dari bagian ini adalah penjelasan tentang pengertian ilmu, persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dijelaskan bahwa ilmu adalah bagian dari penegtahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa)

Yang terakhir dari bagian ini adalah penjelasan tentang tujuan filsafat ilmu. Dalam buku ini diberikan 5 tujuan filsafat ilmu dan salah satunya adalah memberikan penegasan bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan, antara ilmu dan agama sama sekali tidak ada pertentangannya.

Bagian kedua dari buku ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan filsafat yang dibagi dalam tiga periode. Periode pertama merupakan masa awal dari kaum filosof alam yang dimulai dari Thales hingga Parmanides. Dalam periode pertama, para filosof dengan segala pendapat dan pandangan yang berbeda-beda, dianggap tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang manusia dan kebenaran. Periode berikutnya yang dikenal dengan sebutan periode kaum ”sofis” yang dimotori oleh Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran yang merupakan cikal bakal humanisme. Kaum sofis memberikan ruang gerak pada ilmu untuk berkembang, berspekulasi dan merelatifkan teori ilmu. Mereka beranggapan bahwa ilmu itu terbatas tetapi proses mencari ilmu tak terbatas. Periode berikutnya adalah filosof yang menentang pandangan kaum sofis tentang relativisme kaum sofis. Periode ini dimotori oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles. Socrates terkenal dengan semboyannya ”kenalilah dirimu sendiri” Plato murid Socrates yang cerdas mampu ”mendamaikan” pandangan Hiraklitos dan Parmanides serta Aristoteles murid Plato yang lebih dikenal dengan analisis silogisme-nya. Aristoteles juga merupakan filosof rasionalisme penutup dari filsafat Yunani yang mampu membagi filsafat dalam dua bagian yaitu yang bersifat teoritis dan praktis.

Pada bagian ini juga dijelaskan sejarah perkembangan ilmu yang dibagi dalam tiga periode pula yaitu : perkembangan ilmu zaman Islam, kemajuan ilmu zaman Renaisans dan modern serta kemajuan ilmu zaman Kontemporer. Perkembangan pengetahuan zaman Islam dimulai sejak peristiwa Fitnah Al-Kubra yang dimotori oleh Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Kemajuan pesat mencapai puncaknya dizaman pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Salah satu pelopornya adalah Al Mansur yang memerintahkan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Namun kejayaan Islam ini akhirnya jatuh dan runtuh hingga mencapai titik terendah pada abad ke-18 M. Kemunduruan ini oleh Iqbal disebabkan karena diterimanya faham Yunani yang menyatakan bahwa ilmu itu statis adanya, padahal sesungguhnya ilmu menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang dinamis. Menurut Amin Abdullah ilmu itu selalu mengalami pergeseran (shifting paradigm) karena merupakan kegiatan histories yang terkait dengan ruang dan waktu. Zaman renaisans dipelopori oleh salah satunya yaitu N. Copernicus dan. Copernicus terkenal teori Heliosentris-nya. Revolusi pemikiran ini memicu pertentangan antara pemikir dan gereja Katolik Roma. Akibat revolusi pemikiran ini melahirkan F. Bacon dengan Knowledge is Power-nya, Tycho Brahe dengan gugusan bintang Cassiopeia-nya, Y. Keppler dengan ilmu Asronomi-nya, Galileo dengan ilmu gerak-nya serta Napier dengan logaritma berbasis e-nya dan sedert nama lainnya. Perkembangan zaman modern dipelopori oleh I. Newton dengan teori grafitasi-nya yang selanjutnya berkembang ilmu kimia yang dipelopori oleh J. Black dengan CO2-nya sampai pada masa penemuan elektron oleh J.J Thompson yang menggugurkan teori atom sebagai bahan terkecil yang tidak dapat berubah dan bersifat kekal. Yang terakhir dijelaskan dalam bagian ini adalah kemajuan ilmu zaman kontemporer adalah kemajuan ilmu yang kita alami sekarang ini meliputi semua bidang ilmu dan teknologi. Beberapa diantaranya adalah kajian ilmu sosial keagamaan yang ditulis oleh Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan. Embryo splitting technique oleh Jerry Hall, Teknologi Informasi dan lain lainnya.

Bagian ketiga buku ini menjelaskan tentang Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Banyak definisi yang dikemukan dalam buku ini, namun salah satu diantaranya yang menyatakan : pengetahuan adalah kebenaran. Disepakati bahwa ada empat macam pengetahuan yaitu pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmu (pengetahuan common sense yang terorganisasi dan sistematis)) dan pengetahuan filsafat serta pengetahuan agama. Secara teori, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui dua pandangan yaitu pandangan realisme dan idealisme. Pengetahuan menurut pandangan realisme adalah gambaran atau copy dari yang sebenarnya ada dalam alam nyata, artinya pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataannya, sementara ajaran idealisme menegaskan bahwa pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, pengetahuan adalah sebuah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.

Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa ada tiga sumber pengetahuan yaitu secara empiris yaitu melalui pengalaman. John Locke adalah bapak empirisme dengan teori tabula rasanya. Kelemahan dari teori ini terletak pada kelemahan/keterbatasan indera sebagai pengumpul pengalaman. Teori yang kedua adalah rasionalisme yang lebih mengutamakan pada kemampuan akal sebagai dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal melalui kegiatan menangkap obyek.Intuisi adalah salah satu sumber pengetahuan yang merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi, demikian yang dikatakan oleh Henry Bergson. Sumber pengetahuan tertinggi adalah wahyu yang merupakan penyampaian pengetahuan langsung dari Allah S.W.T melalui nabi dan rasul-Nya tanpa upaya, tanpa bersusah payah dan tanpa memerlukan waktu untuk mendapatkannya. Pengetahuan para nabi dan rasul terjadi atas kehendak Allah S.W.T dengan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran melalui wahyu.

Penjelasan tentang ukuran kebenaran juga merupakan subbagian dari bagian ketiga buku ini. Berpikir adalah suatu proses untuk memperoleh kebenaran, namun kebenaran yang didapat adalah kebenaran yang bersifat relatif. Karena sifat relatifnya itulah maka dibuat kategari kebenaran dalam tiga jenis yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam ontologis adalah kebenaran sesebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau duadakan dan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat dan melekat dalam tutur kata dan bahasa.

Dalam bagian ini yang dijelaskan hanya kebenaran epistemologis saja dengan anggapan penulis bahwa kebenaran ontologis dan semantis sudah tercakup didalamnya. Ada empat teori yang menjelaskan tentang kebenaran epistemologi yaitu yang pertama adalah teori korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kemanunggalan antara subyek (esensi yang diberikan) dengan obyek (esensi yang melekat pada obyeknya). Kedua adalah teori koherensi yang menyatakan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan sebelumnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Disebut koheren jika memenuhi empat syarat penegrtian yang bersifat psikologis, logis, kepastian dan keyakinan tidak dapat dikoreksi dan kepastian yang dignakan dalam pembicaraan umum. Teori kebenaran yang ketiga adalah pragmatisme kebenaran yang menyatakan bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil semata-mata bergantung pada azas manfaat (bersifat fungsional bagi manusia) dan teori terakhir adalah agama sebagai teori kebenaran. Dalam teori ini sesuatu dinyatakan benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

Bagian terakhir dari bab ini adalah klasifikasi dan hierarki ilmu. Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din dan Muhammada al-Bahi adalah cendekiawan muslim yang banyak menulis tentang klasifikasi ilmu. Al-Ghazali adalah salah satunya yang memberikan pengklasifikasian ilmu yang terdiri dari ilmu syar’iyyah dan aqliyyah. Ilmu Syar’iyyah meliputi al-ushul yaitu ilmu tauhid, kenabian, akhirat dan sumber ilmu (Al-Qur’a, Hadist, ijma dan tardisi sahabat), furu yaitu : ilmu ibadah, muamalah dan akhlak. Sementara ilmu Aqliyyah meliputi matematik, logika, fisika, kedokteran, kimia dan ilmu tentang metafisika.

Bagian keiga dari buku ini membahas tentang Dasar-dasar Ilmu yang dibagi atas tiga bagian yaitu ontologis, epistemologi dan aksiologi yang secara ringkas dapat dituliskan sebagai berikut.

Secara istilah ontologi adalah ilmu yang memperlajari tenatng hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Didalam pemahaman ontologi ditemukan pandangan-pandangan seperti monoisme yang menyatakan bahwa hakikat yang asal itu hanya satu. Cabang dari monoisme ini adalah materialisme yang berpandangan bahwa hakikat yang asal adalah satu yaitu dari materi, sementara cabang lainnya yaitu idealisme yang berpandangan bahwa segala yang asal itu berasal dari ruh. Pandangan lainnya adalah dualisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari dua unsur yaitu materi dan ruh, jasmani dan rohani. Pandangan lainnya adalah pluralisme yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas yaitu unsur tanah, air, api dan udara. Ada juga faham nihilisme yang nampaknya frustrasi menghadapi relaistas. Realistas harus dinyatakan tunggal dan banyak, terbatas dan takterbatas, dicipta dan takdicipta, semuanya serna kontradiksi, sehingga lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realistas. Pandangan terakhir yang dikemukan oleh penulis adalah agnostisisme yang merupakan pemahaman yang menolak realitas mutlak yang bersifat trancendental.

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori ilmu pengetahuan diantaranya metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatif, dan metode dialektis. Dengan kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Gregory Bateson menilai kemajuan ini cenderung memperbudak manusia akibat dari kesalahan epistemologi barat dan ini harus diluruskan.

Upaya pelurusan kekeliruan epistemologi barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan aksiologi. Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .

Bab terakhir dari buku ini membahas tentang sarana ilmiah. Bahasa, matematika dan statistik serta logika merupakan sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang sehingga tiada batas dunia baginya. Matematika juga merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matermatika bersifat artifisial yang mempunyia arti tersendiri. Sementara buku ini mendefenisikan statistika sebagai sekumpulan metoda untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam keadaan yang tidak menentu. Sarana ilmiah lainnya adalah logika. Logika adalah sarana untuk berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung-jawabkan. Untuk mendapatkan sebuah kesimpulan, mungkin membutuhkan pemikiran yang rumit, panjang dan berliku-liku, sehingga diperlukan hukum-hukum pikiran beserta mekanisme yang dapat digunakan secara sadar untuk mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu. Buku ini menyebutkan ada tujuh aturan berpikir dengan benar yaitu : mencintai kebenaran, menyadari apa yang dikerjakan, menyadari apa yang dikatakan, dapat membedakan dua hal yang “sama” tetapi tidak “identik”, mencintai definisi yang tepat, menyadari kenapa membuat kesimpulan demikian dan mampu menghindari dan mengindentifikasi kesalahan pemikiran.

Demikian resensi buku daras Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal, semoga



............,wa maa uwtiytum minal ilmi illaa kaliylaa

Wallaahu a’lam

antara-nietzsche-dan-hasan-tiro

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2010/09/06/antara-nietzsche-dan-hasan-tiro/

Almarhum Hasan Tiro, namanya bukan hanya selalu mengingatkan saya tentang Aceh, tetapi juga pemikiran seorang filsuf terkenal Friedrich Nietzsche. Rumit dan sangat penuh dengan tanda tanya sehingga tidak mudah ditebak ataupun dimengerti. Bahasa dan kata yang digunakan selalu mengandung arti dan makna yang tidak bisa diartikan begitu saja. Amat sangat diperlukan pemikiran dan cara pandang yang luas atas sebuah pemikiran dasar filsafat yang sangat alamiah juga hati yang dipenuhi dengan cinta.

“Tuhan sudah mati”, kata Nietzche. ”Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang”, kata Hasan Tiro. Dua buah kalimat yang sama-sama merupakan penggabungan antara seni dan logika pemikiran. Sangat menarik dan memiliki arti yang sangat luas. Semua yang membaca diajak untuk memiliki persepsi dan interpretasi masing-masing. Tidak semua sama karena yang paling tahu arti sebenarnya adalah yang membuat kalimat tersebut. Pertanyaannya, apakah memang sengaja dibuat demikian?! Bisa jadi!!! Paling tidak menjadi sebuah keharusan untuk belajar dan berpikir keras bagi mereka yang mau mengerti dan memahaminya.

Pembedahan pemikiran Nietzsche banyak dilakukan begitu juga dengan pembedahan pemikiran Hasan Tiro. Banyak buku diterbitkan untuk membedah Nietzsche, banyak juga buku dipublikasikan untuk membedah pemikiran Hasan Tiro. Yang terbaru untuk Hasan Tiro saya dapatkan dari kiriman seorang sahabat, Lukman Emha. Buku pertama berjudul ”Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh” yang ditulis beramai-ramai oleh penulis asal Aceh, diantaranya beberapa orang teman saya juga, dan satu lagi berjudul “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinsky ” karya Harry Kawilarang.
dteepzlicio.us

HasanTiro Illustrasi: dteepzlicio.us

Setelah membaca kedua buku ini dan membandingkan dengan tulisan-tulisan lain tentang Hasan Tiro yang pernah saya baca sebelum-sebelumnya, saya melihat bahwa jelas sekali ada perbedaan persepsi dan interpretasi atas pemikirannya dan ini menimbulkan masalah sendiri. Apalagi untuk kaum urban dan masyarakat yang mengaku modern seperti sekarang ini, sehingga diperlukan upaya untuk merekam kembali jejak sejarah budaya Aceh dan mengembalikan apa yang pernah ada itu seperti sediakala.

Masyarakat seperti ini, menurut Nietzsche adalah “masyarakat yang menyedihkan yang telah kehilangan kesetiaannya terhadap masa lalu dan menyerah pada kosmopolitan yang tak mengenal lelah merangkak menuju yang baru dan selalu yang lebih baru” atau dalam istilah lainnya dia sebut sebagai “manusia tidak berkebudayaan”. Sedangkan menurut Hasan Tiro, adalah “yang telah kehilangan diri”. Ya, mereka yang tidak kenal apa dan siapa dirinya, melupakan budaya dan sejarahnya, adalah mereka yang tidak memiliki jati diri sebenarnya. Mereka menjadi sebuah kelompok masyarakat yang memiliki nilai yang homogen dan sangat terbatas pada rasionalitas kekinian yang mudah untuk dipermainkan, seperti yang diungkapkannya di “The Price of Freedom”.

Menurut saya sendiri adalah “manusia penonton” akibat dari kompleksitas premordial modernitas pemikiran manusia terutama pada masa post-modern (sebuah kegagalan konsep pemikiran post-modern itu sendiri) yang menghasilkan komersialisasi dan industrialisasi pemikiran. Sejarah dan masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang tidak modern dan primitif sehingga ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Lupa bahwa modern dan primitif itu bukan hanya sekedar penampilan fisik dan materi yang baru dan terus baru, tetapi adalah sebuah pandangan ke depan yang lebih maju. Akibatnya, ya, evolusi pemikiran manusia pun berhenti dan mundur terus ke belakang.

Nietzsche dan Hasan Tiro, sama-sama memiliki pandangan yang sama terhadap nationality narcistsm. Di mana sebuah bangsa bisa menjadi besar bila mau menjadi dirinya sendiri dan mau menghormati serta menghargai dirinya sendiri. Ini merupakan sebuah upaya untuk memproteksi diri sekaligus untuk menunjukkan keberanian menjadi diri sendiri yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, kokoh, dan sangat mandiri. Tidak mudah terpengaruh atas hal-hal yang buruk di luar sana.

Saya juga sependapat demikian, karena bila seseorang tidak memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, maka akan cenderung sangat labil dan mudah terpengaruh. Menjadi sangat takut dan pengecut karena hanya mengikuti arus yang ada agar tidak mendapatkan nilai buruk di mata manusia lainnya. Semakin lama akan semakin terkikis dan disadari tidak disadari, diakui tidak diakui, telah menjadi orang lain, bukan lagi dirinya sendiri. Mereka mengalami krisis identitas dan kelabilan pun menjadi majemuk.

Dalam hubungan di dalam kebangsaan dan kenegaraan, seperti istilah yang sering kita dengar, bahwa ”bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”, bukan hanya berarti pahlawan dalam perang saja, tetapi atas sejarah dan masa lalu. Apa yang telah ada di masa lalu itu merupakan siapa kita sekarang ini dan juga apa yang menjadikan kita di masa depan nanti.

Sayangnya, kata sudah tidak lagi memiliki arti dan makna yang sebenarnya. Permainan politik hermeneutika bahasa sudah dimainkan sejak lama hingga sampai saat ini sebagai sebuah bagian dari pembodohan. Kepalsuan dan kebodohan pun semakin merajalela dan membuat semua semakin tidak mengerti dan paham arti dan makna kata. Teks pun hanya menjadi sekedar teks tanpa memahami konteks dalam setiap kata yang terurai dalam kalimat yang diucapkan dan dituliskan.

Seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche bahwa subjektivitas berarti bahwa masing-masing orang terjebak dalam batasan-batasan miliknya sendiri yang berupa pengalaman pribadi murni. Bukan hanya berdasarkan perbedaan historis setiap individu saja tetapi juga faktor-faktor fisik yang pada akhirnya membentuk sebuah perspektivisme. Bila demikian keadaannya, maka perbedaan atas persepsi dan interpretasi pun bisa dengan mudahnya dijadikan alat dan sarana untuk menjadi hegemony dan tyranny. Politik pecah belah divide et impera bukan hanya dilakukan oleh penjajah tetapi juga dilanjutkan terus oleh darah daging sendiri yang haus akan pemenuhan hasrat dan nafsu untuk kepentingan pribadi dan segelintir kelompok serta golongan.

Nationality narcistsm bisa diartikan secara radikal, tentunya menjadi lebih sangat keras dan cenderung mengarah kepada racistsm. “… pengejaan dari fungsi gramatikal tertentu adalah akhirnya juga pengejaan terhadap penilaian psiologis dan kondisi-kondisi rasial” kata Nietzsche. Narcist sendiri sering disalahartikan dan disalahgunakan untuk merasa lebih dari yang lain, meski memang awal mula kata tersebut berawal dari sebuah rasa cinta yang amat berlebih terhadap diri sendiri. Merasa cinta terhadap diri sendiri, meski berlebih, belum tentu berarti merendahkan yang lain, kan?! Oleh karena proteksi itu pun menjadi sedemikian radikalnya, maka bisa dianggap sebuah ancaman bagi yang lain ataupun juga sebagai sebuah perasaan terancam oleh yang lainnya.

Bila sudah ada rasa terancam, ketakutan, tidak ada rasa saling percaya, maka reaksi yang timbul pun biasanya selalu dalam bentuk yang radikal pula. Jadilah kemudian keras dilawan dengan keras. Hasilnya?! Perang tiada henti. Militerisasi dilawan dengan otoriterian. Feodalisme berbaku hantam dengan tyranny. Padahal apa bedanya?! Hasilnya tetap sama. Nihilism Nietszche yang dikagumi Hasan Tiro pun terbukti benar adanya. Toh, semuanya sia-sia saja. Kembali lagi, mana jati diri yang sebenarnya?!

Bukan hanya perang dengan yang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Kenapa demikian?! Kembali lagi kepada perbedaan persepsi dan interpretasi lagi. Di dalam sebuah kelompok masyarakat perbedaan itu tentunya terjadi. Tidak masalah bila perbedaan itu menuju ke sebuah satu tujuan bersama, yaitu menjadikan kehidupan lebih baik, di mana kepentingan bersama harus lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Bila masih ada kepentingan pribadi dan kelompok, tentunya perlawanan alias perang terhadap diri sendiri pun akan ada dan terus berlanjut. Siapa yang paling dirugikan?! Siapa lagi kalau bukan diri sendiri juga. Yang susah, sedih, dan menderita itu siapa?!

Jika memang mau memiliki kehidupan yang lebih baik, cobalah untuk mengembalikan lagi semua fakta dan kebenaran atas masa lalu itu. Budaya dan sejarah masa lalu itu adalah diri kita yang sebenarnya. Bila tak kenal, maka siapa yang sayang?! Yang disayangkan kemudian hanya diri sendiri saja, sehingga semua yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi saja. Apa yang dibanggakan pun tak tahu apa dan kenapa. Semua hanya katanya dan katanya, kan?! Yah, tak jauh pula dari sekedar kebanggaan atas sebuah keturunan tanpa tahu apa yang sebenarnya harus dibanggakan.

Mengakui bahwa diri kita ini sebenarnya adalah ”nihil” merupakan sebuah kejujuran yang bisa membuat kita berkeinginan untuk mau merendahkan hati dan terus belajar. “Yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”, - jika terburu-buru melakukan segala sesuatunya hanya mendapatkan hasil yang kecil - kata Hasan Tiro. Tidak mudah untuk berusaha mencapai cita-cita dan keinginan. Dibutuhkan keinginan kuat melawan diri sendiri untuk bisa meraihnya karena semua ada proses yang harus dilewati. Hanya seseorang yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dialah yang menang. Dia yang memiliki kebahagiaan adalah mereka yang yang memiliki jiwa merdeka.

”Adalah di sini bahwa jalan-jalan yang diikuti manusia terpecah. Apakah Anda ingin jiwa yang damai dan kebahagiaan?! Maka percayalah. Apakah Anda mengabdi kebenaran dengan lebih baik? Maka carilah kebenaran itu.”- Nietzche.

Terlepas dari maksud dan tujuan Nietzsche dan Hasan Tiro di dalam menulis, namun untuk bisa mengerti dan memahami sebuah pemikiran amat sangat diperlukan usaha dan kerja keras agar tidak timbul persepsi, interpretasi, asumsi ataupun dugaan yang bisa dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu saja. Perbedaan memang tidak bisa dihindari tetapi jangan dijadikan alat untuk pembenaran atas perilaku, namun untuk membentuk sebuah keindahan. Ibarat pelangi, meski tujuh warna berbeda tetapi menjadi indah karena menjadi ”pelangi”. Siapakah penciptanya?!

Bagi saya, Aceh adalah potret nyata paling ekstrem atas fakta dan kenyataan kehidupan yang terjadi di Indonesia ini. Hampir di seluruh nusantara terjadi hal yang sama, bahkan di Ibukota Jakarta pun demikian. Saya mungkin tidak merasakan seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat Aceh, tetapi saya bisa merasakan apa yang terjadi di tempat saya berada sekarang ini. Saya tidak ingin semua ini terus berlanjut, dan karena itulah saya menuliskan ini untuk semua, bukan hanya untuk Aceh saja

Salam,

Mariska Lubis

retorika-emoh-ah

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2009/10/25/retorika-emoh-ah/

The good man speaks well
Efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga…

Ketika tiap individu ingin atau merasa berhak turut serta berbicara, pada saat itu pula retorika (rethoric) menjadi sentral. Cara memperoleh kemenangan politik pun tak lepas dari retorika. Yang kita tahu, retorika biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian berpidato. Dalam bahasa Yunani, orang yang pandai atau ahli berpidato disebut sebagai sophos. Jadi kaum sofis (sophos), adalah gelar bagi tiap-tiap orang yang pandai bersilat lidah.

Dengan memakai teknik-teknik argumentasi baru (yang sebelumnya tidak dikenal), yang didasarkan pada eksploitasi skeptisisme, mereka meremehkan dan mengolok-ngolok seluruh filosof yang berusaha mencari dan memegang kebenaran. Menurut kaum sofis, bahwa “kita tidak akan pernah mampu mengetahui kebenaran universal”. Pandangan ini mirip dengan perkataan Herakleitos (± 540-480 SM), “panta rhei khai uden menei,” (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap). Hanya saja, Herakleitos menujukan konsepsinya pada kosmos atau makro, sedangkan kaum sofis pada manusia atau mikro.

Kaca-mata kaum sofis ketika itu, memandang bahwa “kebenaran sejati itu tidak ada. Kebenaran bagi mereka hanyalah perubahan demi perubahan. Dan karena kebenaran sejati tidak ada, serta tidak akan pernah tercapai, maka hilanglah perbedaan yang benar dan yang salah. Masing-masing memiliki kebenaran yang berbeda satu sama lain.”

Dengan berjalannya waktu yang di iringi dengan banyaknya perubahan yang terjadi di kurun 3 - 5 abad SM, filsafat Yunani mulai nampak bergeser. Dari yang semula sebagai keyakinan orang untuk pencarian kebenaran, diubah karakternya sebagai “usaha penundukkan orang-orang dengan daya kata-kata. Bentuk dan kemasan berpidato dianggap lebih penting ketimbang prinsip-prinsip isi pidato itu sendiri.“ Mereka tahu, sistem demokrasi membutuhkan pengetahuan, terutama pengetahuan tentang retorika.

Menurut Aristoteles, retorika memuat tiga bagian inti yaitu; Ethos (ethical) — karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi; Pathos (emotional) – perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan pendekatan “psikologi massa”; dan Logos (logical) yaitu pemilihan kata atau kalimat atau ungkapan oleh pembicara.

Jadi, ngemeng-ngemeng di tipi yang sering banget menjengkelkan (terutama saya gitu looh). Tujuannya adalah, menyampaikan pemikiran-pemikiran, atau katanya, programnya kepada orang lain agar mengikutinya. Dalam pengertian ini, sasaran si pemilik retorika, tentunya bermuara di bilik suara maupun meluncurnya suatu kebijakan yang diperkirakan akan bersinggungan dengan fulitik dalam masa kekeuasaannya.

Warna-warni tulisan dengan kategori politik di Kompasiana, seolah menggelitik saya untuk sedikit mau nyinggung, yang sebelumnya saya emoh kalau nulis yang ada bau-bau fulitik. Namun, belakangan terpancing juga untuk memberi komentar. Inilah salah satu komentar saya dalam tulisan dimaksud;

Karena ada bahan obrolan atau tulisan tentang fulitik, makanya gardu ronda dan pangkalan ojeg jadi rame terus. Mereka seakan lupa dengan beban hidup sehari-hari yang kian mencekik. Yang penting udah ada U.U yang tidak tertulis dan tidak perlu di sahkan oleh DPR. Yang hampir di setiap pangkalan ojeg, diterapkan U.U tersebut, yakni … “Fisrt in, first out” (yang datang duluan. narik duluan). Jadi selebihnya, sambil nunggu penumpang bisa ngorol kesana-kesini, atau mungkin juga bahan obrolannya di dapat dari sini. Itulah, kelebihan “fulitik, yang bukan matematik”. Ia penuh dengan asumsi-asumsi. Makanya disediakan ranah “Grey Area”, buat berkelitnya para fulitikus bila sulit atau tidak bisa menjawab hitam atau putihnya sebuah pertanyaan. Layaknya kaum sofis, yang berpegang pada “Kebenaran merujuk pada kemampuan atau keahliannya bermain dengan argumen”. Malahan katanya beberapa pengamat, … fulitikus itu musti siap “berbohong!”, … naudzubillah.

Sorry ya teman-teman, saya potong sampai disini aja deh singgungan soal fulitik, yang semula saya emoh banget nyenggolnya getoo loohh ….

Salam,

Umar - Tukang Nasi

sesat-pikir-yang-salah-kaprah

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/01/sesat-pikir-yang-salah-kaprah

Komentar-komentar dihampir setiap tulisan yang ada di Kompasiana sejauh ini, kalau menurut kaca-mata saya, masih mencerminkan dinamika, .. tanggap-menanggap buah pikir secara terbuka, dan dalam batasan diskusi yang bijak. Bersikap kritis tetapi tidak negatif, tidak berarti, bahwa tidak ada sama sekali yang rada miring termasuk juga yang false identity … eh salah ketik. Maksud saya minor … getoo lhooo.

Pendapat atau komentar-komentar yang disampaikan lebih bersifat “bersumbang - sadap - saran, ketimbang mau menangnya sendiri”.

Kebanyakan dari kita menyadari bahwa menulis membuat otak ini berpikir lebih cepat dari sebelumnya, serta menganalisis lebih tajam dari biasanya. Kita seakan-akan diantar oleh nalar untuk mencari makna Mengapa begini-mengapa begitu? .. Bagaimana ini bisa terjadi seperti itu? .. Darimana asalnya ini? Namun, ternyata upaya kita untuk memunculkan suatu pertanyaan, .. justru mengatarkan kita melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya yang terus bermunculan.

Mungkin diawalnya, kita seakan memaksakan otak ini untuk bekerja lebih, apalagi buat orang seusia saya. Belakangan saya menyadari, bahwa hal ini merupakan suatu kegiatan (olah-otak) yang positif. Yang sekaligus juga memperkaya khazanah kita, baik akal budi mau pun kecerdasan semua pihak yang serius mengikuti olah-pikir ini.

Kalau saya cermati, … hhmmmm … ada memang sebagian yang bereaksi agak keras, ketika pendapat atau tulisannya diserang (baca; dikritisi). Ia seolah merasakan egonya diserang. Golongan yang pertama ini biasa disebut dengan Paralogisme. Ia kurang memahami tentang penalaran logis. Menurut para ahli perilaku-kepribadian katanya, orang yang tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain, sehingga kurang memahami tentang penalaran logis, yaitu “pelaku sesat-pikir logis yang tidak menyadari sesat-pikir yang dilakukannya.”

Namun ada juga sesat-pikir logis (logical fallacy) yang disamarkan menjadi silat lidah. Seringkali dilakukan oleh orang-orang yang berniat memperdaya (baca: Retorika, Emoh ah…). Sesat-pikir, akan sangat efektif digunakan dalam provokasi, menggiring opini publik, debat perencanaan undang-undang, pembunuhan karakter, hingga menghindari jerat hukum. Memang, dengan memanfaatkan ’sesat-pikir logis’ dalam adu-argumen/debat (silat lidah), bisa jadi dapat memenangkan suatu diskusi (perdebatan), namun itu sebenarnya dapat menjauhkan audiences atau orang-orang yang turut mendengarkan dari esensi permasalahan.

Gaya-gaya “Argumentum ad Hominem”, semakin kerap digunakan akhir-akhir ini,… bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain, tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: “shoot the messenger, not the message.”

Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem termasuk salah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam forum debat dan diskusi politik, yang ujung-ujungnya akan menyeret topik ke dalam debat kusir yang tak ada ujung pangkal. Menurut beberapa pakar, Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau cercaan.

Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan argumen lawan.

Perhatikan tayangan debat/diskusi di tipi-tipi, termasuk imbuhan-imbuhan dari si pembawa acara/mediator yang terkesan memanas-manasi suasana debat/diskusi, dengan alasan klasik, …. biar rame, katanya (padahal dia lagi jualan iklan tipi);

Contoh: Kepada anggota dewan yang terhormat, harus saya ingatkan bahwa sdr. Anu, anggota Fraksi Anu, yang menanyai saya ini, ketika ia dulu memegang jabatan, … tingkat pengangguran berlipat ganda, … inflasi terus-menerus melonjak, … dan harga sembako naik drastis. Dia (sdr. Anu), masih berani menanyai saya tentang masa depan proyek ini.

(cara yang berbelit-belit untuk mengatakan “no comment”, namun juga sekaligus menyerang lawan)

Jadi, … Apa benar ada “Sesat Pikir yang Salah Kaprah?” Kalau memang ada : Apakah Kesalahkaprahan itu demikian hebat sehingga dapat diumpamakan sebagai suatu yang “wah” getoo lhoo…. Atau barangkali, lebih bersifat kesalahan prosedur. Kalau ini sih, buat dapetin solusinya, katanya tidak terlalu sulit, karena kesalahan yang timbul, lebih disebabkan penggunaan alur pikir yang kurang tepat. Suatu kesalahan kecil karena kekhilafan dan bukan kesalahan karena kesengajaan.

Lantas, gimana dong kita menyikapinya? Ya … dengerin aja, … simak baik-baik, … lepaskan (emosi) keberpihakan atau ketidak berpihakan kita dari figures (orang-orang yang lagi berdebat), jangan terkecoh dengan popularitas seseorang, … fokus pada topik-topik yang sedang dibahas/didebatkan, .. perhatikan saja substansinya. Singkat cerita ke materi/esensinya getoo coy ….

Karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka saya memutuskan tidak membahas substansi ini lebih jauh. Saya juga tidak bermaksud membahas mengenai peristilahan “Sesat Pikir yang Salah Kaprah”. Jangan kesel ya … soalnya akyu udah lama ng’ga posting tulisan, jadi nulis yang ringan-ringan aja dulu.

pLLiiiisssss deh aahhh …

Salam,

Umar - Tukang Nasi

Ilmu Filsafat Berbeda Dengan Filsafat

Sumber:http://ilmu.filsafat.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=136%3Ailmu-filsafat-berbeda-dengan-filsafat&catid=68%3Apemikiran&Itemid=101

Jarang disadari bahwa ilmu filsafat berbeda dengan filsafat itu sendiri. Filsafat seperti yang sudah diketahui menjadi sebuah pemikiran tanpa batas waktu, dapat didebat kapan saja boleh tidak disetujui, boleh dikaitkan dengan konteks lain, dan boleh diterapkan oleh siapa pun yang berminat. Filsafat, dengan demikian, menjadi tidak “sistematis” tetapi bukan berarti dapat dikatakan bahwa filsafat tidak bisa diusahakan menjadi sistematis.

Coba ketika berpikir tentang apa makna hidup ini, banyak orang bisa berpendapat berlainan atau saling berlawanan. Jika saya seorang oportunis maka saya bisa menganggap hidup ini adalah seperangkat alat untuk meraih kesempatan untuk menjadikan hidup lebih baik lagi bagaimana pun caranya. Jika saya seorang pemabuk cinta maka saya bisa menganggap hidup ini ditujukan untuk mendapatkan cinta sebanyak-banyaknya dari seluruh makhluk di bumi ini dan menyebarkan cinta kepada orang lain demi hidup yang damai dan penuh cinta. Orang bisa berandai-andai dan memiliki filsafat hidupnya sendiri sesuai dengan pengalaman dan pemikirannya sendiri, ini merupakan sebuah alasan mengapa dapat dikatakan bahwa filsafat seperti ini menjadi tidak “sistematis”.

Landasan teori dalam penelitian filsafat apakah itu perlu? Kan filsafat bersifat bebas, memakai teori diri sendiri pun tidak menjadi masalah kan? Memang benar misalnya seseorang yang tidak terkenal, atau bahkan seorang gelandangan memiliki filsafat hidupnya sendiri pun dapat dijadikan teori tersendiri. Supaya dapat dibedakan maka harus diperhatikan antara, misalnya, “teori etika Joseph Butler” dengan “teori etika si Mardjo” atau “teori etika saya pribadi”. Dari ketiga teori tersebut tentu dapat ditebak kira-kira mana yang patut dan pantas dipakai dalam bidang akademis yaitu teori etika Joseph Butler. Meski pun teori etika si Mardjo dapat dipakai di dalam penelitian filsafat tetapi itu tidak layak saja, apa sebabnya?

* Teori etika si Mardjo tidak atau belum memiliki dasar logis, misalnya Mardjo mengatakan hidup adalah uang, maka pertanyaan lanjutannya adalah kenapa? Apa dasarnya?
* Teori etika si Mardjo tidak atau belum didokumentasikan / dipublikasikan sehingga misalnya Mardjo pada tanggal 1 Desember 2012 mengatakan “dunia akan kiamat tanggal 35 Januari 2020″, Mardjo pun berhak meralatnya dengan mengatakan “kemarin itu penyakit ayan saya sedang kumat, tanggal kiamat yang benar itu adalah 1 Maret 2012″, begitu pun seterusnya. Jadi apabila teori Mardjo digunakan dalam penelitian, mungkin si peneliti akan kesal dan menampar Mardjo tepat di pipinya :cool: selain itu peneliti membuang-buang waktunya. MUNGKIN, Mardjo memang benar-benar berfilsafat tetapi filsafatnya bisa jadi tidak memiliki tanggung jawab dan kontribusi yang besar bagi penelitian.
* Kira-kira mana yang akan dipandang logis dan masuk akal oleh teman-teman, dan para dosen: teori etika Mardjo atau teori etika Joseph Butler? Jangan pikir dengan “ah.. bisa saja teori etika Mardjo dipakai..” itu merupakan hal yang dungu, tapi pikir dengan akal sehat.

Inilah yang dapat menjelaskan mengapa ada istilah ilmu filsafat dan itu dibedakan dengan filsafat secara an sich. Dengan ini Ilmu filsafat membahas tentang berbagai teori yang sudah matang, mengaitkan teori dengan fakta yang ada (kondisi sosial, agama, politik, budaya, dan ekonomi), membandingkan antar teori, mengkritik teori dan memberikan solusi kepadanya. Jika penjelasan tersebut masih terlalu abstrak untuk dipahami maka silakan menyimak contoh berikut:

* Teori Utilitarisme Thomas Aquinas Dalam Politik Amerika, di sini jelas bisa ditanyakan apakah Thomas Aquinas membicarakan tentang prinsip kegunaan (utilitarisme)? Jika tidak, maka jelas judul ini merupakan judul yang tidak sah dan dapat ditertawakan karena merupakan karangan sembarangan belaka. Jika ya, dapat ditanyakan lagi di mana letak teori tersebut dalam Politik Amerika? Jadi di sini sebenarnya harus ada yang namanya kemampuan untuk diverifikasi kebenarannya, entah melalui studi pustaka atau langsung datang ke lapangan.
* Teori Filsafat Pendidikan Mardjo Dalam Bisnis Online, hari ini Mardjo bilang “oh iya itu benar bahwa pendidikan di bisnis online pertama-tama harus melalui tahap belajar programming dulu”, besok ditanya lagi dia bilang “ohh,, ga betul itu,,! Yang betul itu bisnis online pertama-tama harus belajar ilmu marketing dulu!” Mana yang benar?


Dari kedua contoh di atas maka ilmu filsafat di sini bisa disebut juga sebagai filsafat yang telah disistematisasikan. Sebagai obat atau tips dalam meyakini tentang ilmu filsafat maka silakan menghayati saran berikut:

* Sadarlah bahwa kajian/penelitian filsafat bukanlah penelitian main-main. Perlu keseriusan dan pemanfaatan pikiran yang baik
* Buatlah kajian/penelitian filsafat menjadi kajian/penelitian yang berharga untuk dipandang, tidak bagi Anda saja tetapi bagi orang lain juga
* Berikan kejelasan dan ketegasan pada filsafat sehingga dapat dikritik dan diperbaiki, jika tidak jelas bagaimana bisa diketahui mana yang salah selain ketidakjelasan itu sendiri?

Setelah membaca artikel ini maka jangan lagi ada yang tanya landasan teori dalam kajian filsafat itu perlu atau tidak. Make yourself and others to be proud with philosophy.



Sumber: http://aprillins.com

Kamis, 14 Oktober 2010

Kompleksitas Logika Hukum

Sumber:http://news.okezone.com/read/2009/12/09/58/283216/kompleksitas-logika-hukum
Rabu, 9 Desember 2009 - 10:23 wib

Episode kasus Bibit-Chandra kini memasuki babak baru. Orang awam barangkali terkesima dan tidak menyangka akan ada praperadilan terhadap penerbitan SKPP dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

Paling tidak, masyarakat berharap keberadaan SKPP diikuti dengan terbitnya keppres tentang pengaktifan kembali Bibit-Chandra sebagai para Wakil Ketua KPK. Sampai di situ kemudian kasus dianggap selesai. KPK kembali berwibawa dan semangat pemberantasan korupsi pun kembali menggelora di negeri ini. Memang akhirnya Presiden menerbitkan keppres itu. Namun praperadilan ternyata masih jalan terus. Siapa yang kalah atau menang pun masih menjadi tanda tanya. Kalau demikian halnya, kasus Bibit-Chandra justru menjadi semakin berkepanjangan dan kompleks.

Sebenarnya, apabila kita cermati, akan tampak jelas bahwa adanya pro dan kontra SKPP kasus Bibit-Chandra bertolak dari logika hukum yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Berikut ini dicoba untuk memberikan penjelasan mengenai logika-logika hukum yang muncul di sekitar pro dan kontra SKPP tersebut. Pada satu sisi, mereka yang pro- SKPP mempertimbangkan bahwa kasus Bibit-Chandra merupakan bagian dari persoalan pemberantasan korupsi. Ketika korupsi disepakati sebagai extra-ordinary crime, terhadapnya diberlakukan hukum khusus dan bukan hukum umum.

Oleh karenanya tanpa mempertimbangkan lengkap atau tidaknya bukti-bukti hukum, Kejagung atas dasar asas oportunitas wajib mengeluarkan SKPP. Hal ini perlu dilakukan demi keadilan sosial yang didambakan masyarakat. Pendapat ini terwakili oleh Adnan Buyung Nasution (mantan Ketua Tim 8) ketika berbicara di salah satu televisi swasta, Rabu 2 Desember lalu. Pada sisi lain, pada acara yang sama, Egi Sudjana berpendapat lain. Menurutnya, SKPP perlu ditolak dan oleh karenanya diajukanlah praperadilan atas SKPP tersebut. Mengapa ditolak? Dalam logika hukumnya, ketika kejaksaan dan kepolisian sampai pada kesimpulan ada bukti-bukti lengkap (P21), maka tidak ada alasan lain kecuali kasus tersebut harus dilanjutkan ke pengadilan. Itulah proses hukum yang dipandang prosedural dan benar.

Tidak kalah menariknya untuk disimak logika hukum Kejagung (diwakili oleh Jampidsus Marwan Effendy) ketika berterus terang bahwa pihaknya berada dalam dilema tentang alasan-alasan untuk menerbitkan SKPP. Hal demikian bisa dipahami karena jajaran kejaksaan selama ini bersikap konsisten dalam jalur logika hukum prosedural. Pada pilihan ini, kejaksaan berteman baik dengan kepolisian maupun para advokat (termasuk Egi Sudjana) yang kontra-SKPP. Akan tetapi, pada realitas politik, sosial, bahkan kekuasaan, Presiden telah memerintahkan agar kasus Bibit-Chandra diselesaikan di luar sidang pengadilan.

Di sinilah dilema Kejagung muncul. Tidak mudah untuk memutar mind set dan logika hukum mekanistis-linier dan prosedural menjadi logika sosial, politik yang cair dan mengalir. ***

Berhadapan dengan kompleksitas logika hukum yang terkesan rumit dan campur aduk di atas, penulis sebagai seorang akademisi merasa khawatir hal demikian menimbulkan distrust dan sinisme masyarakat terhadap hukum (terutama kepada aparatur penegaknya).

Dalam rangka meminimalkan kekhawatiran demikian, ada baiknya kita bersama-sama berguru kepada begawan hukum Satjipto Rahardjo. Beliau dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir (2007) antara lain menyatakan bahwa kehidupan membutuhkan kaidah sosial dan di zaman sekarang, hukum menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum. Namun, uniknya, hukum itu di sana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan orang sampai mengatakan bahwa tanpa hukum pun kehidupan bisa berjalan.

Hukum acara pidana kita kiranya dapat dipandang sebagai golongan hukum yang membelenggu tersebut. Pihak-pihak yang pro-SKPP setidaknya akan setuju pada pendapat demikian. Wajar apabila mereka mencoba meloloskan diri dari belenggu hukum acara pidana konvensional tersebut. Meloloskan diri di sini tidak berseberangan secara diametral dengan kepatuhan pada hukum. Pada keduanya terdapat hal yang berbeda dan oleh karenanya tidak boleh dilihat sebagai hitam atau putih, salah atau benar.

Pada saat kita memberlakukan hukum acara pidana konvensional sebagai satu-satunya instituti prosedural untuk penyelesaian kasus Bibit-Chandra, di situ tanpa disadari sebenarnya kita telah mereduksi jagat ketertiban yang luas menjadi jagat perundang-undangan yang sangat sempit. Hukum acara pidana konvensional menjadi representasi tunggal dari proses hukum. Pereduksian jagat ketertiban demikian itu dapat dipadankan sebagai intervensi hukum negara ke dalam proses dan suasana alami kehidupan setiap warga negara. Penyelesaian kasus-kasus hukum menjadi tidak alami, melainkan menjadi proses yang penuh dengan rekayasa atas dasar hukum acara.

Prof Tjip (panggilan akrab Prof Satjipto Rahardjo) dengan bijak menggambarkan rekayasa perundang- undangan tersebut sebagai mengiris ke dalam daging kehidupan manusia. Bisa dibayangkan, betapa perih dan sakitnya. Ada baiknya pula kita belajar dari Marc Galanter bahwa pengadilan ternyata tidak hanya satu sebagaimana disebut pengadilan negeri. Pengadilan bisa dijalankan di banyak tempat (justice in many rooms). Dari pernyataan Galanter ini, kita hendaknya sadar bahwa ada kompleksitas dan relativitas dari pengadilan dan oleh karenanya wajar saja bila ada penyelesaian di luar pengadilan negeri.

Becermin dari munculnya slugs di Washington DC, kita bisa belajar pula dari pernyataan Francis Fukuyama bahwa jagat ketertiban mewadahi suatu jalinan berkesinambungan antara norma-norma yang bekerja dalam masyarakat sehingga hukum negara akan berkelindan dengan norma sosial lain dalam aras kesinambungan. Pesan moral yang ingin disampaikan di sini bahwa dalam kehidupan bernegara hukum, ada jagat ketertiban. Di situ, hukum acara pidana hanya menempati sudut kecil dari apa yang disebut political order. Di luar itu masih tersedia transcedental order maupun social order.

Dengan demikian, cara-cara penyelesaian kasus-kasus hukum pun bisa dan boleh sedemikian beragam, termasuk penyelesaian di luar hukum negara (baca: hukum acara pidana konvensional). Oleh karenanya, perlu dijaga agar logika-logika hukum yang dijadikan dasar memilih prosedur-prosedur hukum jangan sampai mereduksi jagat ketertiban yang luas, besar, dan utuh. Sebab, apabila hal demikian terjadi, kehidupan bernegara hukum menjadi sangat kaku, sempit, gerah, dan tidak sehat.(*)

Prof Dr Sudjito
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)