Selasa, 24 Desember 2013

Mata Kuliah Filsafat: 'Nutrisi' Untuk Pikiran

Sumber: http://www.putra-putri-indonesia.com/mata-kuliah-filsafat.html (nama penulis tidak tercantum)


Sudah belasan tahun mata kuliah Filsafat tidak lagi mewarnai kurikulum mahasiswa. Mata kuliah ini hampir hilang dari kampus. Mungkin karena pengaruh pikiran John Dewey yang berhaluan 'pragmatis', mata kuliah ini kalah bersaing dengan mata kuliah lain dan tidak lagi masuk daftar apalagi masuk daftar mata-kuliah-dasar. Hanya pada jurusan-jurusan tertentu mahasiswa mendapat mata kuliah berharga ini.


Filsafat adalah salah satu bidang pengetahuan yang sangat penting. Kata Filsafat sendiri (bahasa Inggris: Philosophy) berasal dari kata Junani, philosophia. Artinya, mencintai hikmat. Ada juga yang mengatakan bahwa 'Filsafat mengajarkan kehidupan yang baik.' Yang lain mengatakan, 'Filsafat sebagai pencarian kebenaran.'

Bagi yang bergulat di dunia akademis,

Filsafat adalah "analisa yang kritis terhadap
konsep-konsep yang mendasar dari pikiran manusia, diskusi tentang bagaimana sepatutnya manusia berpikir dan bertindak termasuk diskusi
tentang alam realita." (Introduction to Philosophy, Norman L. Geisler & Paul D. Feinberg)

Seirama dengan artinya, Filsafat fokus pada pencarian kebenaran. Filosof berusaha 'menemukan' kebenaran dengan berbagai metode baik berupa meragukan, menggali informasi, membandingkan pikiran atau bertanya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran yang ditawarkan dan tidak menganggap remeh pikiran-pikiran baru.

Ia tidak tergesa-gesa memberikan pendapat-pendapat yang prejudice. Ia mencari, mempelajari, dan menganalisa asumsi-asumsi yang digunakan. Ia menggunakan proses berpikir negatif untuk mengkritik bahkan bisa menunjukkan kelemahan asumsi yang dipakai. Ia bisa juga memberikan argumentasi penyeimbang bila ada kekeliruan. Tidak heran kalau filosof identik dengan sosok yang selalu bertanya.

Pertanyaan-pertanyaan paling mendasar dalam Filsafat tidak begitu banyak. Seperti yang dituturkan oleh Jostein Gaarder,

hanya ada empat pertanyaan penting dalam
Filsafat: 'bagaimana alam semesta dicipta? Apakah ada sesuatu dibalik setiap peristiwa? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya manusia hidup?'

Filsafat memang bukan segalanya; begitu juga dengan mata kuliah Filsafat. Banyak pertanyaan tidak selalu dapat dijawab Filsafat. Jawaban kadang bahkan sering harus datang dari 'bidang lain.' 
Prinsip-prinsip yang disodorkan para filosof pun sering berbeda bahkan bertolak-belakang satu sama lain. Contoh yang sederhana adalah Plato dan Aristoteles. Plato misalnya mengutamakan dunia sana (ide); sedangkan Aristoteles mengutamakan dunia sini (realita).

Sekalipun jawaban tidak selalu ada dalam Filsafat, ilmu yang mengandalkan pertanyaan ini tetaplah penting. Ibarat makanan kepada tubuh, Filsafat merupakan 'nutrisi' yang penting bagi pikiran.

Selain itu, Filsafat merupakan alat bantu untuk melatih dan mengasah pikiran. Oleh karena itu, mata kuliah Filsafat pantas dimasukkan dalam daftar mata kuliah-dasar bagi mahasiswa. Bahkan kalau bisa, mata pelajaran Filsafat diberikan sejak siswa duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Dengan demikian, para siswa maupun mahasiswa mempunyai bekal bagaimana berpikir jernih dan memahami prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar yang melatar-belakangi tindakan seseorang.

Renungan:
  • Salah satu buku yang bagus adalah Sophie's World, karya Jostein Gaarder, yang mengungkap sejarah pikiran dalam dunia Filsafat selama 2500 tahun. Buku ini mudah dibaca bahkan oleh seorang siswa yang masih duduk di SMP sekalipun. Sisihkan waktu Anda untuk membaca buku ini.
  • Kalau Anda mengenal kepala sekolah menengah atas, dekan atau rektor di kampus, atau Dirjen di Departemen Pendidikan, mintalah mereka untuk memasukkan mata kuliah Filsafat menjadi mata kuliah dasar di kampus atau jadi mata pelajaran di sekolah.

LOGIC AND LEGAL REASONING: A GUIDE FOR LAW STUDENTS



LOGIC AND LEGAL REASONING: A GUIDE FOR LAW STUDENTS

By Neal Ramee,
Class of 2003, © 2002

I consider the invention of the syllogism one of the most beautiful,
and also one of the most important, made by the human mind. - Gottfried Liebniz

In legal writing, it is not enough for an argument to “make sense” or “get the point across.” A legal argument must exhibit what your Coursepack refers to as “pristine logic.” In order to exhibit “pristine logic,” a legal argument should adhere to the form of the logic syllogism. A syllogism consists of a
major premise, a minor premise, and a conclusion. A major premise usually states a general rule. In legal arguments, this is generally a statement of law. A minor premise makes a factual assertion about a particular person or thing or a group of persons or things. In legal arguments, this is usually a statement of fact. A conclusion connects the particular statement in the minor premise with the general one in the major premise, and tells us how the general rule applies to the facts at hand.
In legal arguments, this process is called applying the law to the facts.

Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca artikel di atas di: www.unc.edu/~ramckinn/Documents/NealRameeGuide.pdf

Minggu, 22 Desember 2013

LOGIKA HUKUM


Pengantar Logika Hukum
Pengertian hukum dan Logika
 
Oleh
 

Dalam terminologi hukum atau bahasa hukum dikenal tiga bahasa yang lazim digunakan yakni law of reasoning (hukum penalaran), legal reasoning (penalaran hukum), dan law and logic (hukum dan logika.
Defenisi hukum yang lengkap dapat mengakomodasi semua aliran dalam hukum penalaran adalah defenisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Kusumaatmadja Hukum adalah seperangkat aturan, kaidah-kaidah, asas-asas dan institusi-instutsi serta proses yang mengikat daya keberlakuannya. Sementara logika berasal dari kata logos yng berarti kata, pertimbangan akal, dan percakapan. Atau dengan bahasa yag sederhana logika_logos diartikan suatu pertimbangan perkataan berdasarkan akal yang sehat atau sesuai dengan standar yang normal.
Contoh penggunaan logika hukum: dalam Pasal 362 KUHP menegaskan barang siapa mengambil barang baik sebagian maupun secara keseluruhan secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki diancam dengan pida penjara selama lima tahun atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah.
Unsur dari pasal tersebut:
1. Barang siapa yang dartikan setiap orang.
2. Mengambil barang.
3. Secara melawan hukum.
4. Maksud untuk memiliki.
Jika saja pasal di atas diterapkan pada pencurian barang seperti kendaraan bermotor. Misalnya si A membawa motor si B tanpa sepengatahuan si B, dan kemudian dalam beberapa jam kemudian Motor itu dikembalikan ditempatnya, dan baru si B mengetahuinya. Dengan menerapakan ketentuan Pasal 362 berarti salah satu unsurnya tidak terpenuhi yakni si A tidak memenuhi unsur perbuataannya “dengan maksud memilki Itu”. Maka bukan dalam kategori pencurian.
Namun sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh, dari pemakaian kendaraan bermotor tersebut oleh si A, ada barang yang hilang yakni bensin kendaraan bermotor. Berarti pencurian yang terjadi adalah pencurian bensin.
Dengan demikian logika hukum berfungsi untuk menalar hukum, menalar ketentuan pasal-pasal terhadap peristiwa hukum (seperti peristiwa pidana) sehingga penalaran tersebut sesuai dengan alur berpikir sistematis, metodik untuk menghasilkan preposisi hukum yang benar serta imperatif.

Kamis, 05 Desember 2013

LOGIKA MODERN

Sumber Ungguhan: http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/07


Di abad ke-19, ada sejumlah upaya untuk memutakhirkan logika (George Boyle, Ernst Schröder, Gotlob Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead). Tapi, selain memperkenalkan simbol-simbol, dan beberapa penataan di sana-sini, tidak terdapat perubahan yang mendasar di sini. Banyak klaim besar yang dibuat, contohnya oleh para filsuf linguistik, tapi tidak terdapat banyak basis untuk mereka. Semantik (yang berurusan dengan kesahihan sebuah argumen) dipisahkan dari sintaksis (yang berurusan dengan apakah sebuah kesimpulan dapat ditarik dari aksiom dan premis tertentu). Ini dianggap sebagai sesuatu yang baru, padahal hanya merupakan pernyataan ulang dari pembagian kuno, yang telah akrab bagi orang-orang Yunani Kuno, antara logika dan retorika. Logika modern didasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat.
Pusat perhatiannya telah bergeser dari silogisme menuju argumen-argumen yang hipotetikal dan disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan yang dapat membuat orang yang melihat menahan nafas. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) bukannya silogisme. Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya sebuah revolusi besar dalam pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu tumpukan kartu yang telah kusut karena dipakai berkali-kali.

Dengan menggunakan analogi fisika yang superfisial dan tidak tepat, apa yang disebut "metode atomik" yang dikembangkan oleh Russell dan Wittgenstein (dan yang kemudian disangkal sendiri oleh orang yang disebut terakhir itu) mencoba membagi bahasa menjadi "atom-atomnya". Atom dasar dari bahasa menurutnya adalah kalimat sederhana, yang merupakan penyusun dari kalimat-kalimat kompleks. Wittgenstein bermimpi mengembangkan satu "bahasa formal" untuk tiap ilmu pengetahuan - fisika, biologi, bahkan psikologi. Kalimat-kalimat ditempatkan pada "uji kebenaran" yang berdasarkan hukum-hukum usang tentang identitas, kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya, metode dasar yang digunakan masih tetap sama saja. "Nilai Kebenaran" adalah satu masalah "atau ini ... atau itu"[1], masalah "Ya atau Tidak", masalah "benar atau salah". Logika baru ini dirujuk sebagai kalkulus proposional. Tapi kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu menangani argumen-argumen yang sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang paling dasar (kategorikal). Sang Gunung telah melahirkan seekor tikus.

Kenyataannya adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun tidak dapat dipahami, sekalipun ia dianggap sebagai "batu penyusun materi" linguistik. Bahkan penilaian yang paling sederhana, seperti yang ditunjukkan Hegel, mengandung pula kontradiksi. "Caesar adalah seorang manusia", "Fido adalah seekor anjing", "pohon itu hijau", semua menyatakan bahwa yang khusus adalah sama dengan yang umum. Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya tidak. Ini adalah tutup buku bagi logika formal, yang terus saja berkeras untuk mengabaikan semua kontradiksi, bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi juga dalam pemikiran dan bahasa itu sendiri. Kalkulus proposional berangkat dari persis postulat yang sama dengan yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM, yaitu, hukum identitas, hukum (tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara, yang ditambahi hukum negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan huruf biasa melainkan dengan simbol sebagai berikut:

a) p = p

b) p = ~ p

c) p V = ~ p

d) ~ (p ~ p)

Semuanya terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat perbedaan sedikitpun dengan hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis itu sendiri bukanlah satu ide baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman Leibniz yang selalu subur itu telah menghasilkan satu logika simbolis, sekalipun ia tak pernah mempublikasikannya.

Dimasukkannya simbol ke dalam logika tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju, persis karena alasan bahwa simbol-simbol itu, pada gilirannya, cepat atau lambat harus diterjemahkan ke dalam kata-kata dan konsep-konsep. Mereka memiliki keuntungan seperti tulisan steno, lebih praktis untuk operasi teknis tertentu, komputer dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya masih persis sama seperti yang sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang membingungkan ini diiringi oleh jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang nampaknya memang dibuat sehingga logika tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang kebanyakan, seperti kasta-pendeta dari Mesir dan Babilonia yang menggunakan kata-kata dan simbol kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan mereka tidak bocor pada orang lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang Mesir dan Babilonia itu memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga untuk dimiliki, seperti gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama sekali oleh para ahli logika modern.

Istilah-istilah "predikat monadik", "pengkuantifikasi", "variabel individu" dan lain-lain dsb., dirancang untuk memberi kesan bahwa logika formal adalah satu ilmu yang tidak boleh dipandang enteng, karena ia tidak akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Kita harus benar-benar prihatin bahwa nilai ilmiah dari satu sistem kepercayaan tidak berbanding lurus dengan ketidakjelasan bahasa yang dipergunakannya. Jika itu yang terjadi, tiap ahli mistik-religius dalam sejarah akan menjadi ilmuwan yang setaraf dengan gabungan Newton, Darwin dan Einstein sekaligus.

Dalam komedi karya Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme, M. Jourdain terkejut kala diberitahu bahwa ia telah berbicara dalam prosa sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Logika modern hanya mengulangi semua kategori kuno, dengan dibubuhi beberapa simbol dan istilah-istilah yang enak didengar, untuk menyembunyikan fakta bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun hal baru dalam apa yang mereka nyatakan. Aristoteles telah menggunakan "predikat monadik" (pernyataan yang menyerahkan kepemilikan pada individu) sejak berabad-abad lalu. Tidak diragukan lagi, seperti M. Jourdain, ia akan bergirang ketika tahu bahwa ia telah menggunakan Monadic Predicate sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang tengah dikerjakannya. Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari semangkuk selai. Pun penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu bentuk pemikiran yang sudah terkikis jaman.

Adalah satu kebenaran yang memprihatinkan bahwa, di penghujung abad ke-20, logika formal telah mencapai batas terakhirnya. Tiap penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terus saja menghujamkan pukulan pada logika itu. Sekalipun bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap tidak dapat berubah. Satu hal sudah jelas, perkembangan logika formal selama seratus tahun terakhir, pertama melalui kalkulus proposional (p.c.), kemudian melalui kalkulus proposional rendah (l.p.c.) telah membawa subjek tersebut pada titik penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita telah mencapai sistem logika formal yang paling komprehensif, sehingga penambahan lain tentunya tidak akan menyajikan sesuatupun yang baru. Logika formal telah menyatakan segala yang dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau jujur, ia telah mencapai tahap itu beberapa waktu yang lalu.

Baru-baru ini, basis telah bergeser dari argumen pada kesimpulan deduktif. Bagaimana "teorema logika diturunkan"? Ini adalah landasan yang amat rapuh. Basis logika formal telah diterima tanpa pertanyaan selama berabad-abad. Satu penyelidikan yang menyeluruh atas landasan teoritik dari logika formal niscanya akan berakhir pada perubahan logika itu menjadi lawannya. Arend Heyting, pendiri Aliran Matematika Intuisionis, menolak kesahihan dari beberapa pembuktian yang digunakan dalam matematika klasik. Walau demikian, kebanyakan ahli logika masih terus berkeras untuk memeluk cara-cara logika formal yang usang itu, seperti seorang yang berkeras memeluk sebatang jerami ketika ia sudah hampir tenggelam:

"Kami tidak percaya bahwa ada logika yang non-Aristotelian dalam makna seperti adanya geometri yang non-Euklides, yaitu, satu sistem logika yang mengasumsikan kebalikan dari prinsip-prinsip logika Aristotelian, prinsip kontradiksi dan tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang sahih daripadanya."[xvii]

Ada dua cabang utama logika formal saat ini - kalkulus proposional dan kalkulus predikat. Keduanya berangkat dari aksioma, yang harus dianggap sebagai benar "dalam semua bidang yang mungkin ada", di semua keadaan. Ujian terakhirnya tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang kontradiktif akan dianggap sebagai "tidak sahih". Tentu hal ini memiliki beberapa penerapan, contohnya, pada komputer yang dirancang untuk menjalankan prosedur ya atau tidak yang sederhana. Pada kenyataannya, segala aksiom semacam itu adalah tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat diisi dengan hakikat macam apapun juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang mekanistis dan memaksa terhadap segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut proses yang linear, keduanya memang berjalan dengan baik. Hal ini penting, karena sejumlah besar proses dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan cara ini. Tapi ketika kita sampai pada gejala-gejala yang lebih kompleks, kontradiktif dan non-linear, hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera nampak bahwa, jauh dari klaim mereka bahwa merekalah "kebenaran di segala bidang yang mungkin ada", mereka adalah, seperti kata Engels, sangat terbatas dalam penerapan mereka, dan dengan cepat akan terkupas kedangkalannya ketika berhadapan dengan gejala sebagai sebuah totalitas keadaan. Lebih jauh lagi, persis inilah keadaan yang telah menyita perhatian ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling inovatif, di sebagian besar waktu sepanjang abad ke-20.

Senin, 20 Mei 2013

Hukum dalam Perspektif Austin dan Hart


Hukum dalam Perspektif Austin dan Hart
Oleh: Steve Agusta
Tgl Muat 23 February 2011
Sumber dan diunduh dari:

Pengantar
Setelah mengikuti kuliah selama kurang lebih satu semester tentang filsafat hukum, khusus membahas pandangan Austin dan Hart soal pendekatan mereka terhadap hukum , saya tertarik untuk mendalami lebih lanjut pandangan kedua tokoh tersebut. Secara khusus, melalui tulisan singkat ini saya mau mengemukakan pemahaman atau pengertian saya mengenai pendekatan hukum yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini. Pertama-tama saya kemukakan pandangan atau model pendekatan hukum yang dikemukakan oleh Austin, kemudian bagaimana tanggapan Hart mengenai konsep hukum yang dikemukakan oleh Austin ini. Lalu pada bagian berikut, saya mengemukakan pandangan Hart sendiri tentang hukum dan bagaimana Joseph Raz mengajukan kritik atas pandangan Hart ini. Pada bagian akhir saya juga sedikit mengemukakan pandangan saya sendiri atas dua model pendekatan ini dan segi manakah dari hukum itu sendiri yang sebenarnya menjadi titik fokus saya sendiri.
A. Konsep Hukum dalam Perspektif John Austin
1. Latar Belakang Pemikiran Austin
Teori hukum positif yang dikemukakan oleh Austin ini diperkirakan diinspirasi oleh pendekatan positif Kaisar Justinianus I terhadap hokum. Kaisar Justinianus I adalah seorang kaisar yang memerintah kekaisaran Romawi pada 527-565 M. kaisar ini menjadi terkenal oleh karena kemampuannya mensistemtisasi hokum Romawi dalam dua tahap, yakni: Codex Iustinianum I (528 M) dan Codex Iustinianum II (534 M).
Kaisar Justinianus adalah seorang kaisar yang sangat cerdas, lebih dari penguasa-penguasa Romawi lain pada masa itu. Dalam sejarah hokum, Codex Iustinianum diterima sebagai cikal bakal dari berbagai kitab hokum. Berkaitan dengan konsep hokum, ia terkenal dengan sbuah ungkapannya demikian: apa yang menyenangkan Pangeran memiliki kekuatan hokum. Artinya, hokum adalah apa yang dikehendaki oleh penguasa politik. Dengan kata lain, sebuah peraturan memiliki kekuatan hokum apabila merupakan pengungkapan atau sesuai dengan keinginan penguasa yang berdaulat.
Dalam terminology modern, apapun yang diberikan oleh badan pembuat hokum dengan sendirinya harus dapat diterima sebagai hokum universal yang berlaku dalam masyarrakat, menjangkau setiap orang tanpa kecuali. Tesis inilah yang menjadi pegangan bagi para penganut positivisme hukum modern. Dalam semangat dan iklim positivism inilah John Austin memperkenalkan teori hukumnya. Maka, dapat diperkirakan bahwa dasar pemikiran Kaisar Justinianum inilah yang menjadi latar belakang pemikiran John Austin tentang positivisme hukum.
2. Dua Dimensi Hukum
John Austin adalah seorang alhi filsafat hukum Inggris. John Austin secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokok John Austin tentang positivisme hokum ini tertuang dalam bukunya yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin menjelaskan bahwa filsafat hukum memiliki dua tugas penting yang berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni: yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
Pada dimensi yurisprudensi analitis, tugas filsafat hokum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hokum dan struktur hokum sebagaimana adanya. Misalnya, ketika kita mengajukan pertanyaan tentang apa itu hukum, pertanyaan ini meruapakan salah satu canto perntanyaan-pertanyaan khas yang diajukan oleh para pemikir hokum sebagai titik tolak untuk menganalisis kemudian mencoba memahami konsep dasar tersebut.
Pada dimensi yurisprudensi normatif, tugas filsafat hokum adalah berusaha mengevaluasi atayu mengkritik hokum dengan titik berangkat adalah konsep hukum sebagaimana seharusnya. Contoh pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan pada bagian ini adalah alasan hukum disebut hukum, mengapa kita mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum, manakah basis faliditas hukum, dan lain-lain sebagainya. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini dimensi yang kedua ini menyangkut dimensi ideal dari hukum itu sendiri.
3. Hukum sebagai Komando (Law is Command of a Sovereign)
Menurut Austin, hukum harus dipahami sebagai ‘komando.’ Hukum selalu merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando (laws are commands). Hukum selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority). Atau, Austin menyebutnya sebagaisovereign: penguasa yang berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap anggota masyarakatnya. Pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja oleh sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas tertinggi ini antara lain: pertama, pemegang otoritas ini haruslah seorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa kecuali. Kedua, pemegang otoritas ini (baik satu orang maupun sekelompok orang) tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang otoritas ini adalah penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah penguasa lain. Dia adalah penguasa tertinggi.
Berangkat dari pemikiran Austin ini, kita dapat melihat bahwa yang menjadi sumber hokum adalah penguasa tertinggi tersebut yang de facto dipatuhi oleh semua warga atau anggota masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Ia tidak tunduk kepada siapapun. Dengan demikian, perintah (hukum) merupakan imperatif dari penguasa. Di sini, Austin berusaha mempertanggungjawabkan validitas hokum dengan merujuk pada ‘asal usul’ atau ‘sumber’ yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum.
Lebih lanjut, Austin mengatakan bahwa hokum harus dipahami dalam arti komando karena hokum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih: apakah mematuhi atau tidak mematuhi. Hokum bersifat non-optional. Arinya, perintah yang keluarkan oleh sovereign harus ditaati oleh semua warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan. Dengan pemikiran seperti ini Austin mau menegaskan bahwa hokum bukanlah setumpuk peraturan atau nasihat moral. Jika hukum hanyalah setumpuk peraturan atau nasihat moral, maka hukum tidak memiliki implikasi hukuman apapun. Ketika hokum tidak lagi dapat dipakasakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hokum, maka hokum tidak lagi dapat disebut hokum. Hukum kehilangan esensinya sebagai komando. Maka, kepatuhan pada hokum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar.
Hal lain yang patut menjadi tekanan penting di sini adalah bahwa hokum tidak hanya bersifat komando saja tetapi dibarengi dengan sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Konamdo dari sovereign diafirmasi dengan sanksi. Austin menjelaskan bahwa ketika kita menyebut perintah sebagai hokum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan mealalui sanksi hokum adalah absurd. Hokum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat control terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal fungsi utama dari hokum adalah mengontrol perilaku masyarakat.
Hokum sebagai komando dalam perspektif Austin ini memuat dua elemen dasar, yakni: pertama, hokum sebagai komando mengandung pentingnya keinginan, yaitu keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, semua keinginan tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum. Austin memberi canto: jika saya ingin makan, keinginan seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai sebuah hokum. Karena itu keinginan dalam arti hokum memiliki kekhususan, yakni pihak yang terekena hokum harus menanggung akibat yang tidak menyenagkan atau membahayakan dari yang lain apabila memenuhi hokum yang berlaku.
Dengan demikian hokum dalam arti komando mengungkapkan keinginan penguasa. Pada dasarnya memuat pula ancaman hukuman bagi siapapun yang berada di bawah hokum yang berlaku. Kedua, bahwa hokum memiliki kemampuanuntuk menciptakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan mengancam subjek yang melanggarnya. Setiap orang yang menjadi sasaran atau tujuan dari komando tersebut dengan sendirinya terikat, wajib berada di bawah keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikomandokan. Kegagalan memenuhi komando akan berakibat buruk atau secara pasti akan mendatangkan sanksi bagi subjek yang terkena komando.
Dari pandangan Austin ini jelas bahwa dalam teori hokum sebagai komando terdapat relasi tak terpisahkan atara komando dan hukuman, yang memperlihatkan adanya kewajiban yang tak terelakkan pada pihak yang diatur oleh hokum. Di sini tampak bahwa situasi komando merefleksikan relasi antara yang superior dan inferior, di mana yang superior memiliki kedaulatan mutlak terhadap yang inferior. Bahkan semua hokum yang berasal dari penguasa yang superior ini dipandang oleh Austin sebagai kebnaran niscaya, karenanya tidak memerlukan tanggapan, apabila ada unsure-unsur kebenaran yang dikemukakan oleh pihak bawahan. Selain itu, penguasa dengan sendirinya berada di luar hokum, dia tidak terkena hokum. Karena jika dia sendiri berada dalam hokum dalam arti bahwa masih memiliki kewajiban untuk mentaati suatu hokum, sekalipun hokum itu dikeluarkan olehnya, maka dia bukanlahsovereign. Dengan pandangan seperti ini, Austin manarik satu garis pemisah yang tegas antara penguasa dan rakyat biasa dan mendasarkan validitas keseluruhan hokum pada kenyataan faktual empiris kedaulatan seorang penguasa.
4. Kritik Atas Konsep Hukum Austin
Ada beberapa tokoh pemikir hukum yang dengan serius mengkritik pemikiran Austin ini. Mereka adalah Hans Kelsen, Lon L. Fuller, dan H. L. A. Hart. Namun, di sini saya hanya akan membahas kritik yang dikemukakan oleh Hart atas pemikiran hukum sebagai komando tersebut. Hart mengatakan bahwa kesulitan Austin pertama-tama terletak pada pandangan Austin yagn melihat hokum sebagai emanasi atau jelmaan dari penguasa absolut. Berdasarkan pandangannya ini Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori komando Austin demikian.
Pertama, Hart mengatakan bahwa hokum harus memiliki keberlansungan hokum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu. Hokum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal continuity). Jika hukum diasalkan hanya pada person tertentu, dalam hal ini penguasa absolut, maka akan menimbulkan kekosongan hukum ketika yang bersangkutan meinggal dunia. Artinya, ketika sovereign yang mengeluarkan perintah meninggal dunia maka di situ timbul ambiguitas, apakah perintah yang pernah ia keluarkan masih tetap berlaku atau tidak.
Kedua, menurut Hart hokum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat, termasuk penguasa, tanpa kecuali. Jika hokum dilihat sebagai emanasi keinginan penguasa, maka di sini tidak ada kepastian apakah penguasa sendiri tunduk pada hokum yang berlaku atau tidak. Teori kedaulatan Austin tidak tegas dalam membuka kemungkinan bagi penguasa untuk tunduk pada hokum buatannya sendiri.Dengan demikian, teori kedaulatan Austin ini menciptakan problem of self-limitation,karena tidak mudah seorang penguasa memrintahkan atau membatasi apalagi menghukum dirinya sendiri. Teori kedaulatan Austin ini secara tidak langsung membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Penguasa dapat menjalankan hokum sesuai dengan keinginan pribadi atau untuk menjunjung tinggi ideology pribadinya.
Ketiga, Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan.” Hart mengemukakan kritik ini dengan mengacu pada kasus penodongan yang diajukan Austin sebagai ilustrasi teorinya. Hart mengatakan bahwa dalam situasi tertodong, orang tersebut berada dalam situasi paksaan (being obliged atau being forced) untuk menyerahkan uang yang dia punyai agar dia tidak kehilangan nyawanya. Akan tetapi, tidak masuk akal untuk menatakan bahwa dalam kasus seperti ini orang tersebut mempunyai kewajiban (under a duty) untuk menyerahkan uangnya. Menurut Hart yang tepat adalah bahwa dalam situasi ini orang tersebut terpaksa – dan bukan mempunyai kewajiban atau beeada di bawah kewajiban – untuk menyerahkan uangnya. Tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being forced) adalah dua hal yang sangat berbeda.
Kritik lain dari Hart juga adalah bahwa konsep hokum yang dikemukakan oleh Austin ini sifatnya terlalu sederhana dan tidak mampu menjelaskan realitas zaman modern. Dalam sistem liberal-demokratis (adanya parlemen) apakah model pemerintahannya sama dengan sovereign? Karena dari teori Austin ini terlihat jelas bahwa pembuat hokum atau sovereign ini berada di luar hokum. Hal ini tidak cocok untuk zaman sekarang.
B. Konsep Hukum dalam Perspektif Hart
Bertolak dari kritiknya atas teori hokum Austin di atas, Hart membangun teorinya dengan mengasalkan validitas hukum pada sistem hukum itu sendiri. Teori hukum Hart ini dituangkan dalam bukunya, The Concept of Law (1972). Dalam bukunya ini Hart membangun sistem hokum yang memungkinkan tertentu dapt dipertanggungjawabkan secara hokum pula. Kerena itu, Hart berpendapat bahwa hokum pertama-tama harus dipahami sebagai sistem peraturan. Dalam kaitan dengan ini Hart membedakan peraturan menjadi dua macam yakni peraturan primer dan peraturan sekunder.
1. Peraturan Primer
Hart menilai bahwa dalam dunia non-legal atau dunia yang belum mengenal hokum terdapat berbagai patologi sosial. Hal ini mengingatkan kita akan apa yang oleh Thomas Hobbes menyebutnya sebagai homo homini lupus. Hobbes mengatakan bahwa homo homini lupus tersebut merupakan state of nature masyarakat manusia dan yang pada akhirnya mendorong mereka untuk membentuk Negara sebagai bentuk kontrak sosial.
Secara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakan prahukum inilah yang oleh Hart disebutnya sebagai “peraturan primer” atau tepatnya “peraturan kewajiban primer.” Peraturan primer ini kurang lebih sama dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian karena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang menjadi panduan perilaku manusia.
Lebih lanjut Hart menjelaskan bahwa peraturan primer tersebut hanya bisa efektif mengatur tatatertib sosial apabila: a) membuat pembatasan terhadap kekerasan, pencurian dan penipuan; b) mendapat dukungan mayorita; dan c) masyarakatnya relatif memiliki keterikatan primordial (misalnya ikatan darah, perasaan dan keyakinan). Akan tetapi, meskipun peraturan primer telah memenuhi syarat-syarat tersebut, peraturan primer belum tentu berlaku efektif seperti halnya hokum. Alasannya, peraturan primer bukanlah sistem hukum, melainkan sejumlah standar umum yang terpisah satu sama lain. Problem ini menjadi semakin serius terutama dalam masyarakat modern yang memang pluralistik dan kompleks. Meskipun berfungsi sebagai truktur sosial, peraturan primer memiliki beberapa kelemahan mendasar, yakni:
· Dalam peraturan primer tidak ada lembaga atau otoritas resmi yang berfungsi melakukan penilaian dan menyelesaikan konflik. Akibatnya terjadi ketidakpastian dalam pelaksanaan peraturan primer.
· Peraturan primer bersifat statis. Bila terjadi perubahan, maka perubahan itu berjalan begitu lamban sehingga tidak cukup responsit terhadap perkembangan masyarakat. Karena dalam skemanya, masih dibutuhkan proses dimana peraturan itu harus menjadi kebiasaan terlebih dahulu sebelum diterima dan diakui sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan kadangkala peraturan primer ini bersifat statis dalam arti radikal dan sulit sekali untuk dirubah.
· Kelemahan selanjutnya adalah inefisiensi dalam penegakan peraturan primer. Dapat saja terjadi perdebatan berkepanjangan apakah terjadi pelanggaran atau tidakl terhadap peraturan tertentu tanpa adanya penyelesaian yang jelas karena peraturan primer tidak memiliki otoritas penentu terakhir.
2. Peraturan Sekunder
Berdasarkan kelemahan-kelemahan peraturan primer di atas, maka menurut Hart, jalan keluar untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah harus ada peraturan sekunder. Dengan demikian peraturan sekunder pada intinya berfungsi mengatur lebih lanjut peraturan primer. Peraturan sekunder sendiri menjelaskan cara dimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan secara pasti.
Hart membedakan lagi preraturan sekunder ini menjadi tiga bagian lagi yakni: peraturan pengakuan, peraturan perubahan dan peraturan penilaian dan penyelesaian konflik. Pertama, peraturan pangakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi problem ketidakpastian peraturan primer. Peraturan pengakuan menetapkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh peraturan agar dapat disebut peraturan bagi kelompok atau masyarakat, dan karenanya menwajibkan mewajibkan masyarakat untuk mengakui dan mendukungnya. Pengakuan oleh masyarakat memungkinkan adanya dukungan luas berupa tekanan sosial.
Dalam sistem hukum yang lebih maju peraturan pengakuan menjadi lebih kompleks. Dan dalam level yang lebih kompleks, peraturan tidak diidentifikasi berdasarkan teks atau daftar, melainkan dengan merujuk apda sejumlah ciri umum yang harus dimiliki peraturan primer supaya disebut hukum. Misalnya, peraturan primer disebut hukum karena fakta bahwa diberlakukan secara khusus, atau karena sudah menjadi praktek umum dalam jangka waktu lama, atau karena keterkaitannya dengan keputusan (yurisprudensi). Jadi, peraturan pengakuan dalam masyarakat modern dapat sangat kompleks dan berfariasi dibandingkan dengan penerimaan secara sederhana melalui teks yang resmi atau otoritatif.
Pada level sederhana, peraturan pengakuan memang hanya cukup mengacu pada daftar peraturan resmi. Meskipun sederhana, yang paling penting aalah bahwa perturan pengakuan itu memuat banyak elemen yang khas hukum. Dengan itu peraturan pengakuan, meskipun dalam bentuk sederhana, memperkenalkan hukum sebagai sistem karena hukum sekarang tidak lagi merupakan bagian yang lepas dan terpisah satu sama lain, melainkan sebagai satu kesatuan sistematis. Dengan merujuk pada daftar resmi yang memberi status hukum pada peraturan. Di sinilah cikal bakal gagasan tentang validitas hukum.
Kedua, peraturan perubahan yaitu peraturan yang berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan sifat status peraturan primer. Ini merupakan mekanisme otoritatif untuk memberlakukan dan membatalkan atau mengubah hukum. Peraturan sekunder dalam bentuknya yang sederhana memberi kekuasaan pada individu atau badan untuk memperkenalkan peraturan primer baru sebagai standar perilaku kehidupan kelompok dan menyingkirkan peraturan yang lama. Pada tahap ini kita bertemu dengan gagasan tentang perlunya badan legislatif. Meskipun berbeda peratuan pengakuan dan peraturan perubahan erat terkait satu sama lain, karena eksistensi yang satu mengandaikan eksistensi yang lain.
Peraturan perubahan secara niscaya merujuk pada lembaga legislasi sebagai cirri pengenal peraturan, meskipun tidak harus seluruhnya merujuk pada detail prosedur dalam proses legislasi. Dalam kasus di mana legislasi menjadi satu-satunya sumber hukum, peraturan pengakuan akan menunjuk pada fakta pemberlakuan peraturan oleh badan legislatif sebagai kriterium validitas peraturan.
Ketiga, peraturan penilaian dan penyelesaian konflik. Peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem inefisiensi dalam peraturan primer. Hadirnya pengadilan merupakan jalan untuk mengatasi kebuntuan berkaitan dengan kontroversi yang terjadi dalam peraturan primer. Di sini peraturan sekunder berfungsi memberi kekuasaan kepada orang atau lembaga untuk menilai dan menetapkan apakah peraturan telah dilanggar atau tidak; apakah peraturan dipahami secara tepat atau tidak. Inilah bentuk minimal dari perturan penilaian.
3. Kritik Atas Konsep Hukum Hart
Kritik yang ingin saya kemukakan atas konsep hukum Hart ini adalah kritik yang dikemukakan oleh Joseph Raz. Raz mengajukan dua keberatan atas konsep hukum Hart ini demikian: pertama, apa yang disebut peraturan pengakuan (recognition rules)lebih baik dipahami sebagai fakta daripada sekedar perturan. Maksudnya, yang penting adalah fakta bahwa ada sumber tertentu yang diambil menjadi sumber hukum. Dengan kata lain, peraturan saja tidak mencukupi. Yanh terpenting adalah pengakuan factual bahwa hukum berlaku. Selain itu, yang seharusnya dirubah bukan saja pertauran primer, tetapi juga peraturan pengakuan out sendiri. Itu berarti peraturan yang mengatur peraturan primer juga harus terbuka untuk dirubah apabila dipandang perlu. Dengan kata lain, apabila Hart memandang peraturan primer cebderung statis dan karenanya membutuhkan peraturan agar dapat membuatnya lebih dinamis, maka prinsip yang sama juga harus berlaku bagi poeraturan sekunder sehingga lebih responsive terhadap tunutan manusia.
Kedua, analisis Hart menurut Raz terlalu sederhana. Padahal ada banyak peraturan yang sifatnya bukan memaksa melainkan memberi peluang. Dalam hal penguasa, hukum pada kenyataannya bahkan menciptakan sejumlah pengecualian bagi pejabat Negara. Dengan demikian, tidak semua hukum masuk dalam kategori hukum primer (beruapa paksaan kewajiban bagi warga negara) atau kategori perturan sekunder. Kompleksitas ini haraus diperhatikan dalam membangun hukum sebagai sistem.
Keberatan umum terhadap teori Hart adalah bahwa teori ini terlalu formal. Hart terlalu memperhatikan dimensi formal sehingga mengabaikan isi atau substansi hukum. Padahal isi atau substansi hukum sangat penting khususnya jika dikaitkan dengan kepentingan manusia sebagai tujuan hukum. Hukum tidak dibangun untuk hukum itu sendiri tetapi untuk melayani kepentingan manusia. Dalam arti ini substansi hukum menjadi factor yang sangat menetukan tingkat kontiribusi hukum bagi manusia.
C. Catatan Kritis
Dari kedua macam teori yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini, kiranya menjadi jelas bagi saya bawha setiap hukum yang diciptakan adalah hanya untuk melayani kepentingan manusia. Hukum berfungsi untuk mengantar manusia pada suatu bentuk kehidupan yang lebih nyaman. Karena permasalahan dasarnya bukan terletak pada berapa banyak hukum yang diciptakan tetapi apakah hukum itu benar-benar tepat sasar dan dapat mensejaterakan manusia.
Austin mengemukakan teori hukumnya dengan terlalu menekankan segi komando sampai-sampai melupakan apakah seseorang melaksanakan hukum berdasarkan kebebasan yang ada dalam dirinya atau hanya karena takut dihukum bila tidak mentaati sebuah peraturan. Jika hukum hanya dilihat sebagai sebuah perintah dari penguasa dan pelanggarannya akan dikenakan sanksi, maka menurut saya kita hanya akan menghasilkan orang-orang yang munafik dan tidak dewasa. Orang akan menjalankan aturan bila dikontrol. Bila tidak maka peraturan itu tidak akan berfungsi sama sekali. Berdasarkan pertimbangan ini, saya sendiri agak keberatan untuk menerima pendekatan hukum yang dikemukakan oleh Austin ini.
Sedangkan, berkaitan dengan konsep hukum yang dikemukakan oleh Hart, bagi saya sudah sangat baik, karena Hart lebih meneliti unsure formal dari hukum itu. Akan tatapi, hampir sama dengan Raz, saya berpendapat bahwa Hart terlalu terfokus pada unsur formal atau tidaknya sebuah hukum sehingga hukum itu dapat memiliki dasar pijak yang kuat. Sistem hukum lebih menjadi tekanan oleh Hart sampai-samapai masalah dasar apakah hukum itu dapat bersifat membebaskan manusia itu sebenarnya kurang tersentuh. Hart melupakan bahwa meskipun sistem hukum itu sudah paten dan teratur toh belum menjamin apakah setiap subjek pelaku hukum menjalankan hukum itu dengan rasa penuh bebas dan tanggung jawab atau tidak.
Maka, menurut saya, perhatian dalam hukum saat ini harus menjalankan fungsinya secara tepat yakni sebagai alat control bukan sebagai hakim agung dengan rentetan sanksi bagi orang yang melanggarnya. Contohnya, dalam konteks Indonesia, ketik seorang Polantas sedang bertugas untuk menjalankan tugasnya mengamankan lalulintas, bagi saya, yang benar adalah berdiri tepat pada lampu merah untuk memperingatkan para pengenderai kendaraan agar tidak berjalan terus saat tanda berhenti (lampu merah). Bukan Polantas berdiri setelah tanda lampu merah untuk ‘menangkap’ setiap pengendera kendaraan yang melintas saat masih belangsung tanda berehenti atau lampu merah. Dengan demikian yang ingin dicapai di sini adalah membangkitkan kesadaran terus menerus bagi para pengendera bukan menunggu mereka samapai melanggar dulu, dihukum barulah timbul kesadaran. Semoga semakin hari hukum di Indonesia semakin baik dan semakin dapat dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, M. Hum, 1999, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hart, H. L. A, 1994, The Concept of Law, New York: Oxford University Press Inc.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius