Selasa, 24 Desember 2013

Mata Kuliah Filsafat: 'Nutrisi' Untuk Pikiran

Sumber: http://www.putra-putri-indonesia.com/mata-kuliah-filsafat.html (nama penulis tidak tercantum)


Sudah belasan tahun mata kuliah Filsafat tidak lagi mewarnai kurikulum mahasiswa. Mata kuliah ini hampir hilang dari kampus. Mungkin karena pengaruh pikiran John Dewey yang berhaluan 'pragmatis', mata kuliah ini kalah bersaing dengan mata kuliah lain dan tidak lagi masuk daftar apalagi masuk daftar mata-kuliah-dasar. Hanya pada jurusan-jurusan tertentu mahasiswa mendapat mata kuliah berharga ini.


Filsafat adalah salah satu bidang pengetahuan yang sangat penting. Kata Filsafat sendiri (bahasa Inggris: Philosophy) berasal dari kata Junani, philosophia. Artinya, mencintai hikmat. Ada juga yang mengatakan bahwa 'Filsafat mengajarkan kehidupan yang baik.' Yang lain mengatakan, 'Filsafat sebagai pencarian kebenaran.'

Bagi yang bergulat di dunia akademis,

Filsafat adalah "analisa yang kritis terhadap
konsep-konsep yang mendasar dari pikiran manusia, diskusi tentang bagaimana sepatutnya manusia berpikir dan bertindak termasuk diskusi
tentang alam realita." (Introduction to Philosophy, Norman L. Geisler & Paul D. Feinberg)

Seirama dengan artinya, Filsafat fokus pada pencarian kebenaran. Filosof berusaha 'menemukan' kebenaran dengan berbagai metode baik berupa meragukan, menggali informasi, membandingkan pikiran atau bertanya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran yang ditawarkan dan tidak menganggap remeh pikiran-pikiran baru.

Ia tidak tergesa-gesa memberikan pendapat-pendapat yang prejudice. Ia mencari, mempelajari, dan menganalisa asumsi-asumsi yang digunakan. Ia menggunakan proses berpikir negatif untuk mengkritik bahkan bisa menunjukkan kelemahan asumsi yang dipakai. Ia bisa juga memberikan argumentasi penyeimbang bila ada kekeliruan. Tidak heran kalau filosof identik dengan sosok yang selalu bertanya.

Pertanyaan-pertanyaan paling mendasar dalam Filsafat tidak begitu banyak. Seperti yang dituturkan oleh Jostein Gaarder,

hanya ada empat pertanyaan penting dalam
Filsafat: 'bagaimana alam semesta dicipta? Apakah ada sesuatu dibalik setiap peristiwa? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya manusia hidup?'

Filsafat memang bukan segalanya; begitu juga dengan mata kuliah Filsafat. Banyak pertanyaan tidak selalu dapat dijawab Filsafat. Jawaban kadang bahkan sering harus datang dari 'bidang lain.' 
Prinsip-prinsip yang disodorkan para filosof pun sering berbeda bahkan bertolak-belakang satu sama lain. Contoh yang sederhana adalah Plato dan Aristoteles. Plato misalnya mengutamakan dunia sana (ide); sedangkan Aristoteles mengutamakan dunia sini (realita).

Sekalipun jawaban tidak selalu ada dalam Filsafat, ilmu yang mengandalkan pertanyaan ini tetaplah penting. Ibarat makanan kepada tubuh, Filsafat merupakan 'nutrisi' yang penting bagi pikiran.

Selain itu, Filsafat merupakan alat bantu untuk melatih dan mengasah pikiran. Oleh karena itu, mata kuliah Filsafat pantas dimasukkan dalam daftar mata kuliah-dasar bagi mahasiswa. Bahkan kalau bisa, mata pelajaran Filsafat diberikan sejak siswa duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Dengan demikian, para siswa maupun mahasiswa mempunyai bekal bagaimana berpikir jernih dan memahami prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar yang melatar-belakangi tindakan seseorang.

Renungan:
  • Salah satu buku yang bagus adalah Sophie's World, karya Jostein Gaarder, yang mengungkap sejarah pikiran dalam dunia Filsafat selama 2500 tahun. Buku ini mudah dibaca bahkan oleh seorang siswa yang masih duduk di SMP sekalipun. Sisihkan waktu Anda untuk membaca buku ini.
  • Kalau Anda mengenal kepala sekolah menengah atas, dekan atau rektor di kampus, atau Dirjen di Departemen Pendidikan, mintalah mereka untuk memasukkan mata kuliah Filsafat menjadi mata kuliah dasar di kampus atau jadi mata pelajaran di sekolah.

LOGIC AND LEGAL REASONING: A GUIDE FOR LAW STUDENTS



LOGIC AND LEGAL REASONING: A GUIDE FOR LAW STUDENTS

By Neal Ramee,
Class of 2003, © 2002

I consider the invention of the syllogism one of the most beautiful,
and also one of the most important, made by the human mind. - Gottfried Liebniz

In legal writing, it is not enough for an argument to “make sense” or “get the point across.” A legal argument must exhibit what your Coursepack refers to as “pristine logic.” In order to exhibit “pristine logic,” a legal argument should adhere to the form of the logic syllogism. A syllogism consists of a
major premise, a minor premise, and a conclusion. A major premise usually states a general rule. In legal arguments, this is generally a statement of law. A minor premise makes a factual assertion about a particular person or thing or a group of persons or things. In legal arguments, this is usually a statement of fact. A conclusion connects the particular statement in the minor premise with the general one in the major premise, and tells us how the general rule applies to the facts at hand.
In legal arguments, this process is called applying the law to the facts.

Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca artikel di atas di: www.unc.edu/~ramckinn/Documents/NealRameeGuide.pdf

Minggu, 22 Desember 2013

LOGIKA HUKUM


Pengantar Logika Hukum
Pengertian hukum dan Logika
 
Oleh
 

Dalam terminologi hukum atau bahasa hukum dikenal tiga bahasa yang lazim digunakan yakni law of reasoning (hukum penalaran), legal reasoning (penalaran hukum), dan law and logic (hukum dan logika.
Defenisi hukum yang lengkap dapat mengakomodasi semua aliran dalam hukum penalaran adalah defenisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Kusumaatmadja Hukum adalah seperangkat aturan, kaidah-kaidah, asas-asas dan institusi-instutsi serta proses yang mengikat daya keberlakuannya. Sementara logika berasal dari kata logos yng berarti kata, pertimbangan akal, dan percakapan. Atau dengan bahasa yag sederhana logika_logos diartikan suatu pertimbangan perkataan berdasarkan akal yang sehat atau sesuai dengan standar yang normal.
Contoh penggunaan logika hukum: dalam Pasal 362 KUHP menegaskan barang siapa mengambil barang baik sebagian maupun secara keseluruhan secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki diancam dengan pida penjara selama lima tahun atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah.
Unsur dari pasal tersebut:
1. Barang siapa yang dartikan setiap orang.
2. Mengambil barang.
3. Secara melawan hukum.
4. Maksud untuk memiliki.
Jika saja pasal di atas diterapkan pada pencurian barang seperti kendaraan bermotor. Misalnya si A membawa motor si B tanpa sepengatahuan si B, dan kemudian dalam beberapa jam kemudian Motor itu dikembalikan ditempatnya, dan baru si B mengetahuinya. Dengan menerapakan ketentuan Pasal 362 berarti salah satu unsurnya tidak terpenuhi yakni si A tidak memenuhi unsur perbuataannya “dengan maksud memilki Itu”. Maka bukan dalam kategori pencurian.
Namun sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh, dari pemakaian kendaraan bermotor tersebut oleh si A, ada barang yang hilang yakni bensin kendaraan bermotor. Berarti pencurian yang terjadi adalah pencurian bensin.
Dengan demikian logika hukum berfungsi untuk menalar hukum, menalar ketentuan pasal-pasal terhadap peristiwa hukum (seperti peristiwa pidana) sehingga penalaran tersebut sesuai dengan alur berpikir sistematis, metodik untuk menghasilkan preposisi hukum yang benar serta imperatif.

Kamis, 05 Desember 2013

LOGIKA MODERN

Sumber Ungguhan: http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/07


Di abad ke-19, ada sejumlah upaya untuk memutakhirkan logika (George Boyle, Ernst Schröder, Gotlob Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead). Tapi, selain memperkenalkan simbol-simbol, dan beberapa penataan di sana-sini, tidak terdapat perubahan yang mendasar di sini. Banyak klaim besar yang dibuat, contohnya oleh para filsuf linguistik, tapi tidak terdapat banyak basis untuk mereka. Semantik (yang berurusan dengan kesahihan sebuah argumen) dipisahkan dari sintaksis (yang berurusan dengan apakah sebuah kesimpulan dapat ditarik dari aksiom dan premis tertentu). Ini dianggap sebagai sesuatu yang baru, padahal hanya merupakan pernyataan ulang dari pembagian kuno, yang telah akrab bagi orang-orang Yunani Kuno, antara logika dan retorika. Logika modern didasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat.
Pusat perhatiannya telah bergeser dari silogisme menuju argumen-argumen yang hipotetikal dan disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan yang dapat membuat orang yang melihat menahan nafas. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) bukannya silogisme. Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya sebuah revolusi besar dalam pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu tumpukan kartu yang telah kusut karena dipakai berkali-kali.

Dengan menggunakan analogi fisika yang superfisial dan tidak tepat, apa yang disebut "metode atomik" yang dikembangkan oleh Russell dan Wittgenstein (dan yang kemudian disangkal sendiri oleh orang yang disebut terakhir itu) mencoba membagi bahasa menjadi "atom-atomnya". Atom dasar dari bahasa menurutnya adalah kalimat sederhana, yang merupakan penyusun dari kalimat-kalimat kompleks. Wittgenstein bermimpi mengembangkan satu "bahasa formal" untuk tiap ilmu pengetahuan - fisika, biologi, bahkan psikologi. Kalimat-kalimat ditempatkan pada "uji kebenaran" yang berdasarkan hukum-hukum usang tentang identitas, kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya, metode dasar yang digunakan masih tetap sama saja. "Nilai Kebenaran" adalah satu masalah "atau ini ... atau itu"[1], masalah "Ya atau Tidak", masalah "benar atau salah". Logika baru ini dirujuk sebagai kalkulus proposional. Tapi kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu menangani argumen-argumen yang sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang paling dasar (kategorikal). Sang Gunung telah melahirkan seekor tikus.

Kenyataannya adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun tidak dapat dipahami, sekalipun ia dianggap sebagai "batu penyusun materi" linguistik. Bahkan penilaian yang paling sederhana, seperti yang ditunjukkan Hegel, mengandung pula kontradiksi. "Caesar adalah seorang manusia", "Fido adalah seekor anjing", "pohon itu hijau", semua menyatakan bahwa yang khusus adalah sama dengan yang umum. Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya tidak. Ini adalah tutup buku bagi logika formal, yang terus saja berkeras untuk mengabaikan semua kontradiksi, bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi juga dalam pemikiran dan bahasa itu sendiri. Kalkulus proposional berangkat dari persis postulat yang sama dengan yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM, yaitu, hukum identitas, hukum (tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara, yang ditambahi hukum negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan huruf biasa melainkan dengan simbol sebagai berikut:

a) p = p

b) p = ~ p

c) p V = ~ p

d) ~ (p ~ p)

Semuanya terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat perbedaan sedikitpun dengan hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis itu sendiri bukanlah satu ide baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman Leibniz yang selalu subur itu telah menghasilkan satu logika simbolis, sekalipun ia tak pernah mempublikasikannya.

Dimasukkannya simbol ke dalam logika tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju, persis karena alasan bahwa simbol-simbol itu, pada gilirannya, cepat atau lambat harus diterjemahkan ke dalam kata-kata dan konsep-konsep. Mereka memiliki keuntungan seperti tulisan steno, lebih praktis untuk operasi teknis tertentu, komputer dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya masih persis sama seperti yang sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang membingungkan ini diiringi oleh jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang nampaknya memang dibuat sehingga logika tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang kebanyakan, seperti kasta-pendeta dari Mesir dan Babilonia yang menggunakan kata-kata dan simbol kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan mereka tidak bocor pada orang lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang Mesir dan Babilonia itu memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga untuk dimiliki, seperti gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama sekali oleh para ahli logika modern.

Istilah-istilah "predikat monadik", "pengkuantifikasi", "variabel individu" dan lain-lain dsb., dirancang untuk memberi kesan bahwa logika formal adalah satu ilmu yang tidak boleh dipandang enteng, karena ia tidak akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Kita harus benar-benar prihatin bahwa nilai ilmiah dari satu sistem kepercayaan tidak berbanding lurus dengan ketidakjelasan bahasa yang dipergunakannya. Jika itu yang terjadi, tiap ahli mistik-religius dalam sejarah akan menjadi ilmuwan yang setaraf dengan gabungan Newton, Darwin dan Einstein sekaligus.

Dalam komedi karya Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme, M. Jourdain terkejut kala diberitahu bahwa ia telah berbicara dalam prosa sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Logika modern hanya mengulangi semua kategori kuno, dengan dibubuhi beberapa simbol dan istilah-istilah yang enak didengar, untuk menyembunyikan fakta bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun hal baru dalam apa yang mereka nyatakan. Aristoteles telah menggunakan "predikat monadik" (pernyataan yang menyerahkan kepemilikan pada individu) sejak berabad-abad lalu. Tidak diragukan lagi, seperti M. Jourdain, ia akan bergirang ketika tahu bahwa ia telah menggunakan Monadic Predicate sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang tengah dikerjakannya. Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari semangkuk selai. Pun penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu bentuk pemikiran yang sudah terkikis jaman.

Adalah satu kebenaran yang memprihatinkan bahwa, di penghujung abad ke-20, logika formal telah mencapai batas terakhirnya. Tiap penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terus saja menghujamkan pukulan pada logika itu. Sekalipun bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap tidak dapat berubah. Satu hal sudah jelas, perkembangan logika formal selama seratus tahun terakhir, pertama melalui kalkulus proposional (p.c.), kemudian melalui kalkulus proposional rendah (l.p.c.) telah membawa subjek tersebut pada titik penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita telah mencapai sistem logika formal yang paling komprehensif, sehingga penambahan lain tentunya tidak akan menyajikan sesuatupun yang baru. Logika formal telah menyatakan segala yang dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau jujur, ia telah mencapai tahap itu beberapa waktu yang lalu.

Baru-baru ini, basis telah bergeser dari argumen pada kesimpulan deduktif. Bagaimana "teorema logika diturunkan"? Ini adalah landasan yang amat rapuh. Basis logika formal telah diterima tanpa pertanyaan selama berabad-abad. Satu penyelidikan yang menyeluruh atas landasan teoritik dari logika formal niscanya akan berakhir pada perubahan logika itu menjadi lawannya. Arend Heyting, pendiri Aliran Matematika Intuisionis, menolak kesahihan dari beberapa pembuktian yang digunakan dalam matematika klasik. Walau demikian, kebanyakan ahli logika masih terus berkeras untuk memeluk cara-cara logika formal yang usang itu, seperti seorang yang berkeras memeluk sebatang jerami ketika ia sudah hampir tenggelam:

"Kami tidak percaya bahwa ada logika yang non-Aristotelian dalam makna seperti adanya geometri yang non-Euklides, yaitu, satu sistem logika yang mengasumsikan kebalikan dari prinsip-prinsip logika Aristotelian, prinsip kontradiksi dan tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang sahih daripadanya."[xvii]

Ada dua cabang utama logika formal saat ini - kalkulus proposional dan kalkulus predikat. Keduanya berangkat dari aksioma, yang harus dianggap sebagai benar "dalam semua bidang yang mungkin ada", di semua keadaan. Ujian terakhirnya tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang kontradiktif akan dianggap sebagai "tidak sahih". Tentu hal ini memiliki beberapa penerapan, contohnya, pada komputer yang dirancang untuk menjalankan prosedur ya atau tidak yang sederhana. Pada kenyataannya, segala aksiom semacam itu adalah tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat diisi dengan hakikat macam apapun juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang mekanistis dan memaksa terhadap segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut proses yang linear, keduanya memang berjalan dengan baik. Hal ini penting, karena sejumlah besar proses dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan cara ini. Tapi ketika kita sampai pada gejala-gejala yang lebih kompleks, kontradiktif dan non-linear, hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera nampak bahwa, jauh dari klaim mereka bahwa merekalah "kebenaran di segala bidang yang mungkin ada", mereka adalah, seperti kata Engels, sangat terbatas dalam penerapan mereka, dan dengan cepat akan terkupas kedangkalannya ketika berhadapan dengan gejala sebagai sebuah totalitas keadaan. Lebih jauh lagi, persis inilah keadaan yang telah menyita perhatian ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling inovatif, di sebagian besar waktu sepanjang abad ke-20.