Hukum dalam Perspektif
Austin dan Hart
Oleh: Steve Agusta
Tgl Muat 23 February 2011
Sumber dan diunduh dari:
Pengantar
Setelah mengikuti kuliah selama
kurang lebih satu semester tentang filsafat hukum, khusus membahas pandangan
Austin dan Hart soal pendekatan mereka terhadap hukum , saya tertarik untuk
mendalami lebih lanjut pandangan kedua tokoh tersebut. Secara khusus, melalui
tulisan singkat ini saya mau mengemukakan pemahaman atau pengertian saya
mengenai pendekatan hukum yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini. Pertama-tama
saya kemukakan pandangan atau model pendekatan hukum yang dikemukakan oleh
Austin, kemudian bagaimana tanggapan Hart mengenai konsep hukum yang
dikemukakan oleh Austin ini. Lalu pada bagian berikut, saya mengemukakan
pandangan Hart sendiri tentang hukum dan bagaimana Joseph Raz mengajukan kritik
atas pandangan Hart ini. Pada bagian akhir saya juga sedikit mengemukakan
pandangan saya sendiri atas dua model pendekatan ini dan segi manakah dari
hukum itu sendiri yang sebenarnya menjadi titik fokus saya sendiri.
A. Konsep
Hukum dalam Perspektif John Austin
1. Latar
Belakang Pemikiran Austin
Teori hukum positif yang
dikemukakan oleh Austin ini diperkirakan diinspirasi oleh pendekatan positif
Kaisar Justinianus I terhadap hokum. Kaisar Justinianus I adalah seorang kaisar
yang memerintah kekaisaran Romawi pada 527-565 M. kaisar ini menjadi terkenal
oleh karena kemampuannya mensistemtisasi hokum Romawi dalam dua tahap, yakni: Codex
Iustinianum I (528
M) dan Codex Iustinianum II (534 M).
Kaisar Justinianus adalah seorang kaisar yang sangat
cerdas, lebih dari penguasa-penguasa Romawi lain pada masa itu. Dalam sejarah
hokum, Codex Iustinianum diterima sebagai cikal bakal dari
berbagai kitab hokum. Berkaitan dengan konsep hokum, ia terkenal dengan sbuah
ungkapannya demikian: apa yang menyenangkan Pangeran memiliki kekuatan hokum.
Artinya, hokum adalah apa yang dikehendaki oleh penguasa politik. Dengan kata
lain, sebuah peraturan memiliki kekuatan hokum apabila merupakan pengungkapan
atau sesuai dengan keinginan penguasa yang berdaulat.
Dalam terminology modern, apapun yang diberikan oleh
badan pembuat hokum dengan sendirinya harus dapat diterima sebagai hokum
universal yang berlaku dalam masyarrakat, menjangkau setiap orang tanpa
kecuali. Tesis inilah yang menjadi pegangan bagi para penganut positivisme
hukum modern. Dalam semangat dan iklim positivism inilah John Austin
memperkenalkan teori hukumnya. Maka, dapat diperkirakan bahwa dasar pemikiran
Kaisar Justinianum inilah yang menjadi latar belakang pemikiran John Austin
tentang positivisme hukum.
2. Dua Dimensi Hukum
John Austin adalah seorang alhi filsafat hukum Inggris.
John Austin secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan
positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokok John Austin
tentang positivisme hokum ini tertuang dalam bukunya yang berjudul The
Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin menjelaskan
bahwa filsafat hukum memiliki dua tugas penting yang berkaitan dengan dua
dimensi dari hukum yakni: yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
Pada dimensi yurisprudensi
analitis, tugas filsafat hokum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar
dalam hokum dan struktur hokum sebagaimana adanya. Misalnya, ketika kita
mengajukan pertanyaan tentang apa itu hukum, pertanyaan ini meruapakan salah
satu canto perntanyaan-pertanyaan khas yang diajukan oleh para pemikir hokum
sebagai titik tolak untuk menganalisis kemudian mencoba memahami konsep dasar
tersebut.
Pada dimensi yurisprudensi
normatif, tugas filsafat hokum adalah berusaha mengevaluasi atayu mengkritik
hokum dengan titik berangkat adalah konsep hukum sebagaimana seharusnya. Contoh
pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan pada bagian ini adalah alasan hukum
disebut hukum, mengapa kita mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum, manakah
basis faliditas hukum, dan lain-lain sebagainya. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini dimensi yang kedua
ini menyangkut dimensi ideal dari hukum itu sendiri.
3. Hukum
sebagai Komando (Law is Command of a Sovereign)
Menurut Austin, hukum harus
dipahami sebagai ‘komando.’ Hukum selalu merupakan kumpulan perintah yang
bersifat komando (laws are
commands). Hukum selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut
Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang
berlaku dalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni
otoritas politik yang paling tinggi (the
supreme political authority). Atau, Austin menyebutnya sebagaisovereign: penguasa yang
berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap
anggota masyarakatnya. Pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja oleh
sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas
tertinggi ini antara lain: pertama, pemegang otoritas ini haruslah seorang
atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa kecuali. Kedua, pemegang otoritas ini (baik satu orang
maupun sekelompok orang) tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang
otoritas ini adalah penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah
penguasa lain. Dia adalah penguasa tertinggi.
Berangkat dari pemikiran Austin
ini, kita dapat melihat bahwa yang menjadi sumber hokum adalah penguasa
tertinggi tersebut yang de facto dipatuhi oleh semua warga atau anggota
masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Ia tidak tunduk kepada
siapapun. Dengan demikian, perintah (hukum) merupakan imperatif dari penguasa.
Di sini, Austin berusaha mempertanggungjawabkan validitas hokum dengan merujuk
pada ‘asal usul’ atau ‘sumber’ yang secara faktual empiris diakui memiliki
otoritas untuk menciptakan hukum.
Lebih lanjut, Austin mengatakan
bahwa hokum harus dipahami dalam arti komando karena hokum seharusnya tidak
memberi ruang untuk memilih: apakah mematuhi atau tidak mematuhi. Hokum
bersifat non-optional. Arinya,
perintah yang keluarkan oleh sovereign harus ditaati oleh semua
warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan. Dengan pemikiran seperti ini Austin
mau menegaskan bahwa hokum bukanlah setumpuk peraturan atau nasihat moral. Jika
hukum hanyalah setumpuk peraturan atau nasihat moral, maka hukum tidak memiliki
implikasi hukuman apapun. Ketika hokum tidak lagi dapat dipakasakan, yakni
pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hokum, maka hokum tidak lagi dapat
disebut hokum. Hukum kehilangan esensinya sebagai komando. Maka, kepatuhan pada
hokum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar.
Hal lain yang patut menjadi
tekanan penting di sini adalah bahwa hokum tidak hanya bersifat komando saja
tetapi dibarengi dengan sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Konamdo dari sovereign diafirmasi dengan sanksi. Austin
menjelaskan bahwa ketika kita menyebut perintah sebagai hokum tetapi dalam
praktek tidak dapat ditegakkan mealalui sanksi hokum adalah absurd. Hokum yang
demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat control terhadap
tingkah laku masyarakat. Padahal fungsi utama dari hokum adalah mengontrol
perilaku masyarakat.
Hokum sebagai komando dalam
perspektif Austin ini memuat dua elemen dasar, yakni: pertama, hokum sebagai komando mengandung
pentingnya keinginan, yaitu keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang
harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja,
semua keinginan tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum. Austin memberi canto:
jika saya ingin makan, keinginan seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai
sebuah hokum. Karena itu keinginan dalam arti hokum memiliki kekhususan, yakni
pihak yang terekena hokum harus menanggung akibat yang tidak menyenagkan atau
membahayakan dari yang lain apabila memenuhi hokum yang berlaku.
Dengan demikian hokum dalam arti
komando mengungkapkan keinginan penguasa. Pada dasarnya memuat pula ancaman
hukuman bagi siapapun yang berada di bawah hokum yang berlaku. Kedua, bahwa hokum memiliki kemampuanuntuk
menciptakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan mengancam subjek yang
melanggarnya. Setiap orang yang menjadi sasaran atau tujuan dari komando
tersebut dengan sendirinya terikat, wajib berada di bawah keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan apa yang dikomandokan. Kegagalan memenuhi komando
akan berakibat buruk atau secara pasti akan mendatangkan sanksi bagi subjek
yang terkena komando.
Dari pandangan Austin ini jelas
bahwa dalam teori hokum sebagai komando terdapat relasi tak terpisahkan atara
komando dan hukuman, yang memperlihatkan adanya kewajiban yang tak terelakkan
pada pihak yang diatur oleh hokum. Di sini tampak bahwa situasi komando
merefleksikan relasi antara yang
superior dan inferior, di mana yang superior memiliki kedaulatan mutlak
terhadap yang inferior. Bahkan semua hokum yang berasal dari penguasa yang
superior ini dipandang oleh Austin sebagai kebnaran niscaya, karenanya tidak
memerlukan tanggapan, apabila ada unsure-unsur kebenaran yang dikemukakan oleh
pihak bawahan. Selain itu, penguasa dengan sendirinya berada di luar hokum, dia
tidak terkena hokum. Karena jika dia sendiri berada dalam hokum dalam arti
bahwa masih memiliki kewajiban untuk mentaati suatu hokum, sekalipun hokum itu
dikeluarkan olehnya, maka dia bukanlahsovereign. Dengan pandangan seperti ini,
Austin manarik satu garis pemisah yang tegas antara penguasa dan rakyat biasa
dan mendasarkan validitas keseluruhan hokum pada kenyataan faktual empiris
kedaulatan seorang penguasa.
4. Kritik
Atas Konsep Hukum Austin
Ada beberapa tokoh pemikir hukum
yang dengan serius mengkritik pemikiran Austin ini. Mereka adalah Hans Kelsen,
Lon L. Fuller, dan H. L. A. Hart. Namun, di sini saya hanya akan membahas
kritik yang dikemukakan oleh Hart atas pemikiran hukum sebagai komando
tersebut. Hart mengatakan bahwa kesulitan Austin pertama-tama terletak pada
pandangan Austin yagn melihat hokum sebagai emanasi atau jelmaan dari penguasa
absolut. Berdasarkan pandangannya ini Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori komando Austin demikian.
Pertama, Hart mengatakan bahwa hokum harus memiliki
keberlansungan hokum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu.
Hokum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang
menciptakannya (transpersonal
continuity). Jika hukum diasalkan hanya pada person tertentu, dalam
hal ini penguasa absolut, maka akan menimbulkan kekosongan hukum ketika yang
bersangkutan meinggal dunia. Artinya, ketika sovereign yang mengeluarkan perintah
meninggal dunia maka di situ timbul ambiguitas, apakah perintah yang pernah ia
keluarkan masih tetap berlaku atau tidak.
Kedua, menurut Hart hokum seharusnya berlaku bagi
segenap anggota masyarakat, termasuk penguasa, tanpa kecuali. Jika hokum
dilihat sebagai emanasi keinginan penguasa, maka di sini tidak ada kepastian
apakah penguasa sendiri tunduk pada hokum yang berlaku atau tidak. Teori
kedaulatan Austin tidak tegas dalam membuka kemungkinan bagi penguasa untuk
tunduk pada hokum buatannya sendiri.Dengan demikian, teori kedaulatan Austin
ini menciptakan problem of self-limitation,karena
tidak mudah seorang penguasa memrintahkan atau membatasi apalagi menghukum
dirinya sendiri. Teori kedaulatan Austin ini secara tidak langsung membuka
peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Penguasa dapat menjalankan
hokum sesuai dengan keinginan pribadi atau untuk menjunjung tinggi ideology
pribadinya.
Ketiga, Austin gagal membedakan dengan tepat konsep
“berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan.” Hart mengemukakan
kritik ini dengan mengacu pada kasus penodongan yang diajukan Austin sebagai
ilustrasi teorinya. Hart mengatakan bahwa dalam situasi tertodong, orang
tersebut berada dalam situasi paksaan (being
obliged atau being
forced) untuk menyerahkan uang yang dia punyai agar dia tidak
kehilangan nyawanya. Akan tetapi, tidak masuk akal untuk menatakan bahwa dalam
kasus seperti ini orang tersebut mempunyai kewajiban (under a duty) untuk menyerahkan uangnya.
Menurut Hart yang tepat adalah bahwa dalam situasi ini orang tersebut terpaksa – dan bukan
mempunyai kewajiban atau beeada
di bawah kewajiban – untuk
menyerahkan uangnya. Tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being
obliged atau being
forced) adalah dua
hal yang sangat berbeda.
Kritik lain dari Hart juga adalah
bahwa konsep hokum yang dikemukakan oleh Austin ini sifatnya terlalu sederhana
dan tidak mampu menjelaskan realitas zaman modern. Dalam sistem
liberal-demokratis (adanya parlemen) apakah model pemerintahannya sama dengan sovereign?
Karena dari teori Austin ini terlihat jelas bahwa pembuat hokum atau sovereign ini berada di luar hokum. Hal
ini tidak cocok untuk zaman sekarang.
B. Konsep
Hukum dalam Perspektif Hart
Bertolak dari kritiknya atas
teori hokum Austin di atas, Hart membangun teorinya dengan mengasalkan
validitas hukum pada sistem hukum itu sendiri. Teori hukum Hart ini dituangkan
dalam bukunya, The Concept of Law (1972). Dalam bukunya ini Hart
membangun sistem hokum yang memungkinkan tertentu dapt dipertanggungjawabkan
secara hokum pula. Kerena itu, Hart berpendapat bahwa hokum pertama-tama harus
dipahami sebagai sistem peraturan. Dalam kaitan dengan ini Hart membedakan
peraturan menjadi dua macam yakni peraturan primer dan peraturan sekunder.
1. Peraturan
Primer
Hart menilai bahwa dalam dunia
non-legal atau dunia yang belum mengenal hokum terdapat berbagai patologi
sosial. Hal ini mengingatkan kita akan apa yang oleh Thomas Hobbes menyebutnya
sebagai homo homini lupus. Hobbes mengatakan bahwa homo
homini lupus tersebut
merupakan state of nature masyarakat manusia dan yang pada
akhirnya mendorong mereka untuk membentuk Negara sebagai bentuk kontrak sosial.
Secara umum, masyarakat prahukum
hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas
masyarakat. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakan prahukum inilah
yang oleh Hart disebutnya sebagai “peraturan primer” atau tepatnya “peraturan
kewajiban primer.” Peraturan primer ini kurang lebih sama dengan sopan santun
atau etiket. Hart menyebutnya demikian karena peraturan ini berfungsi sebagai
prinsip pokok yang menjadi panduan perilaku manusia.
Lebih lanjut Hart menjelaskan
bahwa peraturan primer tersebut hanya bisa efektif mengatur tatatertib sosial
apabila: a) membuat pembatasan terhadap kekerasan, pencurian dan penipuan; b)
mendapat dukungan mayorita; dan c) masyarakatnya relatif memiliki keterikatan
primordial (misalnya ikatan darah, perasaan dan keyakinan). Akan tetapi,
meskipun peraturan primer telah memenuhi syarat-syarat tersebut, peraturan
primer belum tentu berlaku efektif seperti halnya hokum. Alasannya, peraturan
primer bukanlah sistem hukum, melainkan sejumlah standar umum yang terpisah
satu sama lain. Problem ini menjadi semakin serius terutama dalam masyarakat
modern yang memang pluralistik dan kompleks. Meskipun berfungsi sebagai truktur
sosial, peraturan primer memiliki beberapa kelemahan mendasar, yakni:
· Dalam
peraturan primer tidak ada lembaga atau otoritas resmi yang berfungsi melakukan
penilaian dan menyelesaikan konflik. Akibatnya terjadi ketidakpastian dalam
pelaksanaan peraturan primer.
· Peraturan
primer bersifat statis. Bila terjadi perubahan, maka perubahan itu berjalan
begitu lamban sehingga tidak cukup responsit terhadap perkembangan masyarakat.
Karena dalam skemanya, masih dibutuhkan proses dimana peraturan itu harus
menjadi kebiasaan terlebih dahulu sebelum diterima dan diakui sebagai kewajiban
yang harus dipenuhi. Bahkan kadangkala peraturan primer ini bersifat statis
dalam arti radikal dan sulit sekali untuk dirubah.
· Kelemahan
selanjutnya adalah inefisiensi dalam penegakan peraturan primer. Dapat saja
terjadi perdebatan berkepanjangan apakah terjadi pelanggaran atau tidakl
terhadap peraturan tertentu tanpa adanya penyelesaian yang jelas karena
peraturan primer tidak memiliki otoritas penentu terakhir.
2. Peraturan
Sekunder
Berdasarkan kelemahan-kelemahan
peraturan primer di atas, maka menurut Hart, jalan keluar untuk mengatasi
kelemahan tersebut adalah harus ada peraturan sekunder. Dengan demikian
peraturan sekunder pada intinya berfungsi mengatur lebih lanjut peraturan
primer. Peraturan sekunder sendiri menjelaskan cara dimana peraturan primer
secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga
ditentukan secara pasti.
Hart membedakan lagi preraturan
sekunder ini menjadi tiga bagian lagi yakni: peraturan pengakuan, peraturan
perubahan dan peraturan penilaian dan penyelesaian konflik. Pertama, peraturan pangakuan adalah
peraturan yang berfungsi mengatasi problem ketidakpastian peraturan primer.
Peraturan pengakuan menetapkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh peraturan
agar dapat disebut peraturan bagi kelompok atau masyarakat, dan karenanya
menwajibkan mewajibkan masyarakat untuk mengakui dan mendukungnya. Pengakuan
oleh masyarakat memungkinkan adanya dukungan luas berupa tekanan sosial.
Dalam sistem hukum yang lebih
maju peraturan pengakuan menjadi lebih kompleks. Dan dalam level yang lebih
kompleks, peraturan tidak diidentifikasi berdasarkan teks atau daftar,
melainkan dengan merujuk apda sejumlah ciri umum yang harus dimiliki peraturan
primer supaya disebut hukum. Misalnya, peraturan primer disebut hukum karena
fakta bahwa diberlakukan secara khusus, atau karena sudah menjadi praktek umum
dalam jangka waktu lama, atau
karena keterkaitannya dengan keputusan (yurisprudensi). Jadi, peraturan
pengakuan dalam masyarakat modern dapat sangat kompleks dan berfariasi
dibandingkan dengan penerimaan secara sederhana melalui teks yang resmi atau
otoritatif.
Pada level sederhana, peraturan
pengakuan memang hanya cukup mengacu pada daftar peraturan resmi. Meskipun sederhana,
yang paling penting aalah bahwa perturan pengakuan itu memuat banyak elemen
yang khas hukum. Dengan itu peraturan pengakuan, meskipun dalam bentuk
sederhana, memperkenalkan hukum sebagai sistem karena hukum sekarang tidak lagi
merupakan bagian yang lepas dan terpisah satu sama lain, melainkan sebagai satu
kesatuan sistematis. Dengan merujuk pada daftar resmi yang memberi status hukum
pada peraturan. Di sinilah cikal bakal gagasan tentang validitas hukum.
Kedua, peraturan perubahan yaitu peraturan yang
berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan sifat status peraturan
primer. Ini merupakan mekanisme otoritatif untuk memberlakukan dan membatalkan
atau mengubah hukum. Peraturan sekunder dalam bentuknya yang sederhana memberi
kekuasaan pada individu atau badan untuk memperkenalkan peraturan primer baru
sebagai standar perilaku kehidupan kelompok dan menyingkirkan peraturan yang
lama. Pada tahap ini kita bertemu dengan gagasan tentang perlunya badan
legislatif. Meskipun berbeda peratuan pengakuan dan peraturan perubahan erat
terkait satu sama lain, karena eksistensi yang satu mengandaikan eksistensi
yang lain.
Peraturan perubahan secara
niscaya merujuk pada lembaga legislasi sebagai cirri pengenal peraturan,
meskipun tidak harus seluruhnya merujuk pada detail prosedur dalam proses
legislasi. Dalam kasus di mana legislasi menjadi satu-satunya sumber hukum,
peraturan pengakuan akan menunjuk pada fakta pemberlakuan peraturan oleh badan
legislatif sebagai kriterium validitas peraturan.
Ketiga, peraturan penilaian dan penyelesaian konflik.
Peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem inefisiensi dalam
peraturan primer. Hadirnya pengadilan merupakan jalan untuk mengatasi kebuntuan
berkaitan dengan kontroversi yang terjadi dalam peraturan primer. Di sini
peraturan sekunder berfungsi memberi kekuasaan kepada orang atau lembaga untuk
menilai dan menetapkan apakah peraturan telah dilanggar atau tidak; apakah
peraturan dipahami secara tepat atau tidak. Inilah bentuk minimal dari perturan
penilaian.
3. Kritik
Atas Konsep Hukum Hart
Kritik yang ingin saya kemukakan
atas konsep hukum Hart ini adalah kritik yang dikemukakan oleh Joseph Raz. Raz
mengajukan dua keberatan atas konsep hukum Hart ini demikian: pertama, apa yang disebut peraturan pengakuan (recognition rules)lebih
baik dipahami sebagai fakta daripada sekedar perturan. Maksudnya, yang penting
adalah fakta bahwa ada sumber tertentu yang diambil menjadi sumber hukum.
Dengan kata lain, peraturan saja tidak mencukupi. Yanh terpenting adalah
pengakuan factual bahwa hukum berlaku. Selain itu, yang seharusnya dirubah
bukan saja pertauran primer, tetapi juga peraturan pengakuan out sendiri. Itu
berarti peraturan yang mengatur peraturan primer juga harus terbuka untuk
dirubah apabila dipandang perlu. Dengan kata lain, apabila Hart memandang
peraturan primer cebderung statis dan karenanya membutuhkan peraturan agar
dapat membuatnya lebih dinamis, maka prinsip yang sama juga harus berlaku bagi
poeraturan sekunder sehingga lebih responsive terhadap tunutan manusia.
Kedua, analisis Hart menurut Raz terlalu sederhana.
Padahal ada banyak peraturan yang sifatnya bukan memaksa melainkan memberi
peluang. Dalam hal penguasa, hukum pada kenyataannya bahkan menciptakan
sejumlah pengecualian bagi pejabat Negara. Dengan demikian, tidak semua hukum
masuk dalam kategori hukum primer (beruapa paksaan kewajiban bagi warga negara)
atau kategori perturan sekunder. Kompleksitas ini haraus diperhatikan dalam
membangun hukum sebagai sistem.
Keberatan umum terhadap teori
Hart adalah bahwa teori ini terlalu formal. Hart terlalu memperhatikan dimensi
formal sehingga mengabaikan isi atau substansi hukum. Padahal isi atau
substansi hukum sangat penting khususnya jika dikaitkan dengan kepentingan
manusia sebagai tujuan hukum. Hukum tidak dibangun untuk hukum itu sendiri
tetapi untuk melayani kepentingan manusia. Dalam arti ini substansi hukum
menjadi factor yang sangat menetukan tingkat kontiribusi hukum bagi manusia.
C. Catatan
Kritis
Dari kedua macam teori yang
dikemukakan oleh kedua tokoh ini, kiranya menjadi jelas bagi saya bawha setiap
hukum yang diciptakan adalah hanya untuk melayani kepentingan manusia. Hukum
berfungsi untuk mengantar manusia pada suatu bentuk kehidupan yang lebih
nyaman. Karena permasalahan dasarnya bukan terletak pada berapa banyak hukum
yang diciptakan tetapi apakah hukum itu benar-benar tepat sasar dan dapat
mensejaterakan manusia.
Austin mengemukakan teori
hukumnya dengan terlalu menekankan segi komando sampai-sampai melupakan apakah
seseorang melaksanakan hukum berdasarkan kebebasan yang ada dalam dirinya atau
hanya karena takut dihukum bila tidak mentaati sebuah peraturan. Jika hukum
hanya dilihat sebagai sebuah perintah dari penguasa dan pelanggarannya akan
dikenakan sanksi, maka menurut saya kita hanya akan menghasilkan orang-orang
yang munafik dan tidak dewasa. Orang akan menjalankan aturan bila dikontrol.
Bila tidak maka peraturan itu tidak akan berfungsi sama sekali. Berdasarkan
pertimbangan ini, saya sendiri agak keberatan untuk menerima pendekatan hukum yang
dikemukakan oleh Austin ini.
Sedangkan, berkaitan dengan
konsep hukum yang dikemukakan oleh Hart, bagi saya sudah sangat baik, karena
Hart lebih meneliti unsure formal dari hukum itu. Akan tatapi, hampir sama
dengan Raz, saya berpendapat bahwa Hart terlalu terfokus pada unsur formal atau
tidaknya sebuah hukum sehingga hukum itu dapat memiliki dasar pijak yang kuat.
Sistem hukum lebih menjadi tekanan oleh Hart sampai-samapai masalah dasar
apakah hukum itu dapat bersifat
membebaskan manusia itu sebenarnya kurang tersentuh. Hart melupakan bahwa
meskipun sistem hukum itu sudah paten dan teratur
toh belum menjamin apakah setiap subjek pelaku hukum menjalankan hukum itu
dengan rasa penuh bebas dan tanggung jawab atau tidak.
Maka, menurut saya, perhatian
dalam hukum saat ini harus menjalankan fungsinya secara tepat yakni sebagai
alat control bukan sebagai hakim agung dengan rentetan sanksi bagi orang yang
melanggarnya. Contohnya, dalam konteks Indonesia, ketik seorang Polantas sedang
bertugas untuk menjalankan tugasnya mengamankan lalulintas, bagi saya, yang
benar adalah berdiri tepat pada lampu merah untuk memperingatkan para
pengenderai kendaraan agar tidak berjalan terus saat tanda berhenti (lampu
merah). Bukan Polantas berdiri setelah tanda lampu merah untuk ‘menangkap’
setiap pengendera kendaraan yang melintas saat masih belangsung tanda berehenti
atau lampu merah. Dengan demikian yang ingin dicapai di sini adalah
membangkitkan kesadaran terus menerus bagi para pengendera bukan menunggu
mereka samapai melanggar dulu, dihukum barulah timbul kesadaran. Semoga semakin
hari hukum di Indonesia semakin baik dan semakin dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, M.
Hum, 1999, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hart, H. L. A, 1994, The
Concept of Law, New York: Oxford University Press Inc.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar