Senin, 26 Juli 2010

Ketika Internet dan Media Berebut Merobek Privasi

Sumber:http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&hs=rpG&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&q=RUU+Permen+Konten+informasi&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=
(en) 17 Juni 2010 - 20:57 WIB

Hervin Saputra

Ariel, Luna, Cut Tari dibidik tuduhan amoral. Masalah privasi atau susila?

Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak dipercaya. Sekali lempar ke internet, seumur hidup privasi menjadi rawan. Perumpaan ini agaknya tepat bagi Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Sejak video hubungan seksual yang diduga diperankan Ariel - Luna Maya dan Ariel - Cut Tari muncul di internet pekan lalu, tiga selebritas itu menjadi “makanan empuk” media massa.

Belum habis masalah pokok, Ariel dituduh merusak kamera kontributor salah satu stasiun televisi swasta, saat menjalani pemeriksaan di Markas Besar Polri, 12 Juni lalu. Ariel mengatakan perusakan terjadi sebagai pertahanan diri karena wartawan mengerubunginya secara berlebihan.

Namun, dari sekian banyak hujatan, masalah moral dan susila menjadi bahasan utama. Tak pelak, seluruh peluru kini diarahkan ke Ariel, Luna, dan Cut Tari. Dalam video yang dianggap melanggar kesusilaan itu, ketiganya dituduh sebagai pelaku yang mesti meminta maaf kepada publik atas perbuatan mereka.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat meminta Ariel, Luna, dan Cut Tari mengakui perbuatan hubungan seksual yang dituduhkan kepada mereka. Alasannya, hampir seluruh ahli informasi dan teknologi menyatakan video tersebut asli.

"Ketiga artis itu mestinya bersikap gentle dan kooperatif menyelesaikan kasusnya yang kini ditangani Kepolisian. Banyak masalah yang harus diselesaikan. Selama ini mereka cuma omong. Coba buktikan kalau tidak bersalah," kata Tifatul.

Tifatul juga menganggap video itu melecehkan harkat martabat bangsa Indonesia. Ujung-ujungnya, Tifatul mengharap rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat peraturan menteri yang membatasi akses pornografi di internet. “Saat ini video-video porno itu sudah dicetak dalam bentuk VCD dan dijual bebas di pasaran,” ujar Tifatul di kantornya, Kamis (17/6).

Dari segi hukum, Ariel, Luna, dan Cut Tari juga kena bidikan pasal. Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Zainuri Lubis mengatakan, ketiga artis itu dapat dikenai pidana penjara 12 tahun. Menurut dia, mereka dijerat karena dianggap turut membuat video itu dan membiarkannya terpublikasi.

“Dia kena karena lalainya. Seorang dewasa harus sadar kalau perbuatannya diketahui publik bisa menjadi asusila. Dikenakan pasal UU Pornografi dengan ancaman 12 tahun dan UU ITE yang diancam 6 tahun,” kata Zainuri di Mabes Polri, Jumat pekan lalu.

Namun, mengapa pemberitaan mengenai pihak yang mengedarkan video itu tidak santer terdengar? Bukankah penyebar itu pelaku yang membawa video itu sampai ke publik? Andaikan si penyebar video itu bukan Ariel, Luna, atau Cut Tari, bukankah sebenarnya hak mereka atas privasi terlanggar karena ada yang sengaja menyiarkannya ke publik?

Pertanyaan seputar privasi itu kini bertempur melawan narasi moralitas yang menjadi gelombang utama dalam wacana masyarakat. Pendapat masyarakat pun terbelah.

Publik Figur
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Joseph “Stanley” Adi Prasetyo, menganggap negara tidak melanggar HAM mempidana Ariel, Luna, dan Cut Tari, atas video itu. Menurut dia, predikat publik figur yang melekat pada Ariel, Luna, dan Cut tari, menyebabkan video itu bukan pronografi biasa. Unsur publik figur akan mengundang masyarakat untuk mencari tahu isi video itu.

“Karena dia figur, dia dikenal. Benda itu bukan mewakili pornografi secara netral. Negara tidak melanggar HAM (mempidanakan Ariel Cs). Itu wilayah pidana,” kata Stanley.

Stanley beralasan, kebebasan HAM seseorang memang harus dijaga. Namun, dapat dibatasi jika mengganggu moralitas bangsa, ketertiban umum, kesatuan bangsa, dan esensi hak orang lain. Dalam kasus video Ariel, Luna, Cut Tari, dia menganggap mengganggu moralitas bangsa.

Memang, kata Stanley, para artis itu menjadi korban jika dilihat dari peredarannya. Namun, penyebaran itu tak mungkin terjadi jika video itu tidak ada. Jika kemungkinannya dicuri, dia menyalahkan Ariel, Luna, dan Cut Tari, karena tidak bisa menjaganya agar tidak sampai ke publik. “Dia dituduh bisa ikut serta melakukan kejahatan. Karena dia tidak bisa menjaga dan bertanggung jawab.”

Berbeda dari Stanley, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Patra M Zen, mengatakan Ariel, Luna, dan Cut Tari belum tentu bisa dipidanakan. Menurut dia, harus jelas pasal apa yang akan disangkakan kepada mereka. “Tidak relevan, perdebatan apakah bisa dipidana. Sidik dulu, pasal apa yang mau dicantumkan?”

Patra berpendapat, polisi seharusnya menyidik siapa yang menyebarkan dan apa motifnya. Kasus ini tidak bisa dilarikan ke pasal-pasal urusan pronografi dan kesusilaan. Sebab, kasus susila dan pornografi merupakan delik aduan. Pornografi menjadi kasus setelah ada yang melakukan pengaduan. “Karena ini susila, dasar teorinya delik aduan,” ujarnya.

Pengamat media, Veven Sp Wardhana, menganggap Ariel, Luna, dan Cut Tari sebagai saksi korban. Jika ada yang perlu disalahkan dalam kasus ini, Veven mengarahkan telunjuk pada media massa, terutama infotainment. “Infotainment yang eksploitatif,” katanya.

Sejauh ini, kata Veven, pemberitaan media dalam kasus Ariel, Luna, dan Cut Tari, hanya berkutat soal moral. Media massa sebagai penyebar video itu tidak dilihat sebagai agen yang turut memperluas peredarannya. Menurut dia, dalih informasi yang “ekslusif” hanya untuk bombasme dan komersialitas.

“Ekslusif itu menyangkut harkat dan martabat orang banyak. Apa yang menyangkut hajat orang banyak? Nggak ada? Mereka hanya melakukan hubungan intim. Dia tidak mempengaruhi kebijakan atau membuat banyak orang mendengar lagu Peterpan?” kata Veven

Sejalan dengan pandangan Veven, Ketua Bidang Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, Ezki Suyanto, menganggap pemberitaan video Ariel, Luna, Cut Tari membunuh karakter artis tersebut. “Ya, termasuk pelanggaran privasi. Yang jelas mereka punya hak untuk menjawab berita seputar mereka atau tidak. Ini bisa jadi character assassination,” ujar Ezki di kantor KPI, Rabu (9/6).

Privasi Rentan di Internet
Peneliti senior Information and Communication Technology Indonesia, Dony BU, berkisah tentang seorang mahasiswinya di Universitas Bina Nusantara.

Suatu hari si mahasiswi kaget karena teleponnya sering berdering. Sebagian besar penelepon menanyakan tarif untuk melakukan hubungan seksual. Si mahasiswi sempat bingung dan menangis. Setelah ditelusuri, akhirnya ditemukan sebuah blog dibuat oleh orang lain lengkap dengan foto, nomor telepon, dan data mahasiswi itu. Dalam blog itu si mahasiswi tampak menjual diri dengan mencantumkan tarifnya.

“Dia ini anak baik-baik, tetapi dia dilecehkan secara on-line. Dia ditelepon 24 jam untuk di-booking,” kata Dony.

Dony menuturkan kisah itu untuk menunjukkan betapa sulit menjaga privasi di internet. Informasi yang dianggap umum seperti foto, nomor telepon, dan alamat, yang dipublikasikan di jejaring sosial seperti Facebook bisa dicomot begitu saja oleh orang lain dan dapat merugikan pemilik data. “Jadi, data-data yang kita anggap lumrah itu bisa memukul balik kita,” ujarnya.

Dalam kasus video Ariel, Luna, dan Cut Tari, Dony menganggap internet sebagai biang yang menyebabkannya menjadi luas. Kemampuan teknis internet yang mereplikasi secara otomatis setiap data yang masuk, membuat video itu bisa menyusup ke setiap rumah.

“Apa pun bisa dimasukkan di internet. Ini secara otomatis sudah melanggar privasi yang bersangkutan. Kontennya sendiri sudah dianggap melanggar privasi. Ketika kontennya ditaruh di medium yang tepat, internet, sudah kayak jamur di musim hujan.”

Menurut Dony, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya paham cara memperlakukan privasi di internet. Selain karena penggunaan bahasa Inggris yang minim, program sosialiasi penggunaan internet secara sehat juga jarang di lakukan di Indonesia. “Di beberapa negara, mereka punya program dan kegiatan yang untuk meningkatkan awareness. Internet dikenalkan sejak dini. Di Singapura ada cyberwise.” (E4)

Laporan: Hervin Saputra / Ema Arifah
Foto: 1. Ilustrasi Bambang Prasethyo 2&3. Kurniawan Tri Yunanto

Teknologi yang Membebaskan Manusia? Teknologi Informasi-Komunikasi dan Pendidikan Tinggi

Ditulis dalam Uncategorized oleh Reza A.A Wattimena pada Juli 14, 2010
Technorati Tags: teknologi,informasi,komunikasi,pendidikan,filsafat,teori kritis
Sumber:http://rezaantonius.wordpress.com/
CB058865

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan Peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM) di universitas yang sama. Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pendidikan Sains dan Teknologi sebagai Wahana Penguatan Modal Sosial di Era Global 14 Juli 2010 Institut Teknologi Surabaya, Surabaya

Abstrak

Seperti semua hal di muka bumi ini, kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam dunia pendidikan mengundang pro dan kontra dari berbagai perspektif. Beberapa dampak positifnya adalah TIK dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien, TIK sebagai pemberdaya dosen dan siswa, dan TIK sebagai pengembang metode serta diseminasi hasil penelitian. Dampak positif tersebut rupanya tidak tanpa kritik. Beberapa kritik yang diajukan adalah semakin dangkalnya pemikiran dosen dan mahasiswa, akibat kemudahan akses yang mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas penelitian maupun produksi pengetahuan yang ada, dan kecenderungan guru dan siswa untuk menjadi konsumen informasi semata, tanpa ada keinginan ataupun kemampuan untuk mulai menjadi produsen informasi yang bermutu. Bagaimana pro dan kontra tersebut dapat disingkapi secara bijaksana? Di dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti secara mendalam berbagai perdebatan yang ada, serta mencoba mengajukan pandangan saya sendiri, bahwa teknologi informasi dan komunikasi, maupun semua bentuk teknologi lainnya, harus menempatkan manusia sebagai subyek. Hanya dengan begitu teknologi bisa membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, dan tidak menjadikan manusia sebagai obyek eksploitasi, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Untuk memberi pendasaran pada argumen itu, saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, Andrew Feenberg, dan Herbert Marcuse.

Kata Kunci: Teknologi Informasi dan Komunikasi, Pendidikan, Subyektivitas, Emansipasi.

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (selanjutnya TIK) adalah sesuatu yang menggembirakan. Namun perkembangan rupanya tidak lepas dari cacat yang melekat pada manusia, dan pada segala sesuatu yang keluar dari buah tangannya, terutama dalam soal pendidikan di perguruan tinggi. Cacat tersebut membuat saya tertarik untuk merefleksikan dampak multidimensional dari penggunaan TIK yang canggih di dalam proses pembelajaran maupun penelitian di perguruan tinggi. Pertanyaan yang akan coba dijawab di dalam makalah singkat ini adalah, bagaimana bentuk teknologi, dalam hal ini TIK, yang baik, yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, serta sungguh efektif memberdayakan bangsa di dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di perguruan tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menyoroti berbagai dampak yang muncul di dalam penerapan TIK di dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Uraian pada bagian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh R. Eko Indrajit (1). Berikutnya saya akan coba mengajukan cara pandang yang berbeda terhadap esensi dari TIK, dan teknologi pada umumnya, yakni teknologi yang membebaskan manusia, atau teknologi yang menempatkan manusia sebagai subyek. Uraian di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap pemikiran Andrew Feenberg dan Herbert Marcuse (2). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, refleksi kritis, dan upaya untuk membuka beberapa tema persoalan yang masih harus dipikirkan lebih jauh (3).

1.Dampak TIK bagi Proses Pembelajaran

Di dalam penelitiannya Indrajit membagi dua bentuk komunitas di dalam dunia akademik perguruan tinggi sekarang ini. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai komunitas imigran digital (digital immigrant), yang terdiri dari pada dosen dari generasi sebelumnya yang baru terbuka matanya pada perkembangan teknologi, dan komunitas naif digital (digital naïve), yang terdiri dari para mahasiswa yang sudah sejak kecil terbuka matanya serta pandai menggunakan fasilitas teknologi, terutama TIK.[1]

Bagi para imigran digital, demikian tulis Indrajit, teknologi melulu merupakan alat bantu di dalam proses pembelajaran. Namun bagi para naif digital, teknologi, terutama TIK, memiliki makna penting bagi pembentukan jati diri mereka sebagai pribadi, terutama di dalam pola pembentukan relasinya dengan orang lain. Teknologi merupakan “suatu medium dan salah satu arena utama tempat komunitas modern belajar, selain lingkungan klasik seperti rumah, sekolah..” (Indrajit, 2010, 96) Teknologi memiliki arti khusus yang dalam banyak hal memiliki peran seperti keluarga, yakni sebagai pembentuk jati diri para naif digital.

Generasi


Konsep Ruang


Konsep Jati Diri

Naif Digital (Mayoritas Mahasiswa)


Ruang Virtual sama dengan Keluarga dan Sekolah (Ruang Facebook, Twitter, Linkeldn, dsb) Ruang virtual memiliki makna yang penting bagi kehidupan pribadi.


Jati diri yang tidak tertanam pada ruang waktu fisik, melainkan pada ruang waktu virtual, atau yang disebut sebagai jati diri virtual (virtual self).

Imigran Digital (Mayoritas Dosen)


Ruang Virtual sebagai pembantu bagi ruang fisik. TIK hanya alat untuk mengabdi pada ruang fisik.


Jati diri tetap mengakar para komunitas real. Keberadaan komunitas virtual merupakan alat untuk memperkuat relasi di dalam komunitas real.

Tabel. 1.

Komunitas Dunia Akademik Perguruan Tinggi di era Perkembangan TIK

Alasan penerapan TIK di pola pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi ini sebenarnya sangat mulia. Sebagaimana dikutip oleh Indrajit, UNESCO telah menyatakan dengan tegas, bahwa fungsi TIK adalah untuk “memenuhi kebutuhan pendidikan yang sebelumnya belum dapat terpenuhi.” (Indrajit, 2010) Walaupun begitu tantangan tetap menanti. Ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi, sebagaimana diperjelas oleh Indrajit. Pertama, walaupun TIK sangat membantu proses pembelajaran, namun paradigma yang digunakan di dalam proses pengajaran masih belum tepat, yakni jarang sekali mengkaitkan teori dengan contoh nyata kehidupan, sehingga walaupun menggunakan media TIK yang canggih, namun proses pembelajaran tetap terasa kering dan abstrak.

Kedua, perkembangan TIK sebagai media pembelajaran tidak berjalan searah dengan perkembangan materi pengajaran yang diberikan. Akibatnya variasi materi dan metode pengajaran tidak tersampaikan dengan baik melalui perangkat TIK terkait. Ketiga, masih soal paradigma pendidikan, cara mengubah pola pembelajaran satu arah masih menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan, bahkan di institusi pendidikan yang telah menerapkan TIK sebagai media pembelajaran. Dengan kata lain penerapan TIK secanggih apapun tidak akan mengembangkan pola pengajaran, ketika dosen masih mendidik dengan pola satu arah. Dan keempat, kondisi geografis negara maupun daerah masihlah sangat beragam. Akibatnya distribusi penggunaan TIK juga tidak merata. Terjadi kesenjangan antara pusat dan pinggir, atau antara ibu kota dan daerah. (Indrajit, 2010)

No.


Tantangan Penerapan TIK di dalam Pendidikan Perguruan Tinggi

1.


Penerapan TIK tidak diikuti dengan pembelajaran yang berbasis pada konteks. Teori abstrak masih menjadi andalan. Belum ada analisis kasus. TIK menjadi tidak berguna.

2.


Materi pengajaran berkembang pesat, namun tidak diikuti dengan perkembangan TIK yang memadai.

3.


Pola pengajaran satu arah tetap menjadi halangan, walaupun TIK sudah diterapkan secara canggih.

4.


Kesenjangan distribusi penggunaan TIK, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau secara geografis.

Tabel. 2.

Tantangan Penerapan TIK di dunia Perguruan Tinggi

Indrajit merumuskan lima dampak positif dari TIK di dalam pengembangan proses pembelajaran di perguruan tinggi. (Indrajit, 2010, 97-98) Argumen yang akan saya jabarkan di bawah ini didapatkan dari perbandingan 200 institusi pendidikan tinggi di Indonesia melalui penelitian gabungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS dan APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika pada 2009. Hasil penelitian ini dijabarkan oleh Indrajit di dalam tulisan yang telah saya jelaskan sebelumnya. Saya mengolah data dari penjabaran Indrajit tersebut.

Pertama, TIK dapat membantu mahasiswa memvisualisasikan penjelasan dari dosennya, terutama tentang hal-hal yang abstrak, seperti sejarah tercipta alam semesta, pergerakan atom, ataupun situasi awal lahirnya filsafat Yunani Kuno. Di sisi lain para pengajar, dalam hal ini dosen, juga terbantu di dalam menyampaikan ide-ide yang memang pada dasarnya sulit untuk dijelaskan. Dalam hal ini proses pendidikan bisa sungguh efektif, karena bisa sungguh menciptakan perubahan cara berpikir yang mendasar, berkat bantuan dari TIK di dalam pengajaran.

Penggunaan TIK juga secara perlahan namun pasti akan mengubah gaya pengajaran dari yang sebelumnya berfokus pada dosen, kini berfokus pada masing-masing individu pembelajar. Indrajit memberikan ilustrasi begini, jika setiap mahasiswa membawa notebook, dan materi pengajaran dijabarkan di dalam sebuah file yang bisa dibaca oleh masing-masing siswa melalui notebooknya, maka fokus perhatian mereka, secara fisik, tidak lagi ke dosennya, melainkan ke notebook masing-masing.(Indrajit, 2010, 100) Walaupun masih pada tahap awal, ini sudah merupakan upaya untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang sebenarnya sangat menghambat.

Di samping kualitas pembelajaran, baik mahasiswa dan dosen, meningkat, TIK juga membuat proses belajar mengajar, menurut Indrajit, menjadi menyenangkan. Jika proses belajar sudah dianggap menyenangkan, maka siswa akan merasa ingin dan perlu untuk melakukan proses belajar yang berkelanjutan, bahkan ketika mereka sudah menyelesaikan pendidikan formal. “Fenomena life long learning”, demikian tulis Indrajit, “sudah mulai tertanam di dalam diri dosen (dan mahasiswa-reza) sebagai manusia pembelajar.” (Indrajit, 2010) TIK sangat diperlukan untuk membuat seluruh proses belajar menjadi menyenangkan, terutama dengan membuat kombinasi dan variasi dari materi pengajaran.

Kedua, menurut Indrajit TIK adalah sarana terbaik bagi dosen maupun mahasiswa untuk meningkatkan terus mutu informasi maupun analisisnya. Semua ini akan membawa pada proses pendidikan yang bermutu tinggi. Melalui TIK akses informasi bermutu tidak hanya dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat saja, tetapi bisa oleh seluruh masyarakat. Inilah yang disebut Indrajit sebagai kesetaraan di dalam hak untuk memperoleh informasi. Konsep KBK pun bisa terlaksana, yakni pembelajaran dengan berpijak pada berbagai sumber, dan peran dosen tidak lagi sebagai sumber kebenaran, melainkan sebagai fasilitator siswa untuk belajar. (Indrajit, 2010, 104)

Tiga, perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan. Oleh karena itu aset terpenting dari perguruan tinggi bukanlah uang, melainkan hasil penelitian, buku, jurnal ilmiah, diktat dosen, studi kasus, dan sebagainya yang terkait dengan proses pendidikan. Bahkan menurut Indrajit sumber pendapatan terbesar dari universitas-universitas besar bukanlah uang dari mahasiswa, seperti yang masih banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, melainkan dari hasil penjualan berbagai aset intelektual yang ada di dalamnya, termasuk penggunaan laboratorium, hasil penelitian, buku-buku, dan sebagainya. (Indrajit, 2010, 105) TIK bisa mengubah format kekayaan intelektual ini menjadi softcopy, yang kemudian disimpan dalam gudang data elektronik yang jauh lebih aman dan efektif. Inilah yang disebut Indrajit sebagai database warehouse.

No.


Jenis Data yang bisa disimpan di dalam Database Warehouse dalam bentuk Soft Copy (file data)

1.


Rekaman suara hasil wawancara atau kuliah dengan para pakar di bidangnya masing-masing, baik dari proses perkuliahan di kelas, ataupun seminar-seminar nasional maupun internasional.

2.


Link ataupun referensi akademik ke perpustakaan internasional yang biasanya diperoleh dari kerja sama ataupun kesepakatan dengan institusi luar kampus, baik nasional ataupun internasional.

3.


Foto, karya seni, ataupun rekayasa gambar yang telah dihasilkan melalui proses penelitian di universitas.

4.


Materi kuliah dalam bentuk diktat ataupun presentasi yang diselenggarakan oleh universitas

5.


Jurnal dan hasil penelitian para dosen maupun mahasiswa

6.


Skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa yang telah dihasilkan

7.


Buku para dosen dan mahasiswa yang dihasilkan melalui proses penelitian dan kuliah.

Tabel. 3.

Gudang Data Elektronik Universitas

(data diolah dari Indrajit, 2010, 106)

TIK dapat menjadi alat untuk menyimpan, mengumpulkan, mengelompokan, menyebarkan, menggandakan, serta merawat berbagai aset intelektual yang dimiliki oleh universitas. Dengan adanya teknologi server yang menjadi komputer utama, semua pihak di universitas, dan bahkan masyarakat secara umum, dapat mengakses data, tentu dengan membayar sejumlah uang tertentu untuk kepentingan operasional universitas. “Semakin banyak akses dan jumlah koleksi aset intelektual yang dimiliki sebuah kampus,” demikian Indrajit, “semakin kayalah dan bernilai perguruan tinggi tersebut.” (Indrajit, 2010, 107)

Empat, TIK jelas bisa meningkatkan kualitas penelitian para dosen dan mahasiswa. Setiap bentuk penelitian membutuhkan sumber daya yang sangat besar, seperti akses informasi, jurnal, buku, ataupun untuk menghubungi nara sumber secara langsung. Dengan adanya TIK menurut Indrajit, semua itu dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Harapannya kualitas penelitian bisa meningkat. Peneliti sekarang dengan juga bisa langsung mengirimkan naskahnya ke jurnal internasional, tanpa menunggu berbulan-bulan waktu pengiriman naskah, dan waktu pengabarannya. Ini tentu saja menghemat banyak waktu dan tenaga. Berbagai konferensi internasional untuk berbagai ilmu pun sekarang ini bisa diikuti tanpa harus ketinggalan berita.

Lima, secara teknis penggunaan TIK dapat merampingkan birokrasi manajemen pendidikan tinggi. Di era sekarang ini, menurut Indrajit, setiap universitas diminta untuk bekerja secara efektif dan efisien, sehingga mampu meningkatkan kualitas perguruan tinggi secara keseluruhan. Indrajit mencatat empat hal yang bisa dilakukan oleh TIK di dalam merampingkan birokrasi perguruan tinggi. Pertama, TIK dapat melakukan eliminasi terhadap semua proses yang membuat birokrasi menjadi panjang dan rumit. Kedua, semua proses birokrasi yang tadinya terpecah kini dapat terintegrasi dalam satu sistem jaringan. Ini akan menghemat waktu dan biaya operasional universitas. Tiga, proses yang sebelumnya dilakukan secara manual kini dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan TIK. Perhitungan nilai mahasiswa, penentuan calon penerima beasiswa, sampai pembayaran uang kuliah kini dapat dilakukan secara otomatis. Empat, TIK dapat melakukan simplifikasi terhadap semua proses operasional yang sebelumnya perlu melewati beberapa tempat, kini hanya cukup melewati satu tempat saja. Semua ini menjamin efisiensi dan efektivitas kerja di perguruan tinggi, yang bermuara pada peningkatan kualitas perguruan tinggi tersebut secara keseluruhan. (Indrajit, 2010, 124-125)

No.


Peran TIK di dalam Manajemen Operasional Universitas


Penjabaran

1.


Eliminasi


Memutus rantai birokasi yang terlalu gemuk dan tidak efisien.

2.


Integrasi


Menyatukan berbagai proses yang sebelumnya terpisah

3.


Automatisasi


Mempermudah pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan secara manual dan memakan waktu serta tenaga.

4.


Simplifikasi


Menyederhanakan berbagai proses operasional yang sebelumnya rumit dan tidak efisien.

Tabel. 4.

Peran TIK dalam Manajemen Operasional Universitas

Seperti segala sesuatu di dunia ini, penerapan TIK di dalam proses pendidikan di universitas memiliki beberapa kekurangan mendasar. Jika tidak dicermati dan ditanggapi secara tepat, kekurangan ini dapat menurunkan kualitas proses pendidikan yang telah berlangsung. Setidaknya ada lima efek negatif dari penerapan TIK dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, sebagaimana dicatat oleh Indrajit. (Indrajit, 2010, 129) Pertama, TIK membuat informasi dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini membuat peneliti, baik dosen ataupun mahasiswa, menjadi malas. Waktu berpikir dan menganalisis menjadi berkurang. Permenungan kritis dan mendalam menjadi sesuatu yang tidak lagi diperlukan. Padahal itu adalah kunci dari seluruh proses pendidikan. Kemampuan analisis dan berpikir kritis pun akan menurun.

Dua, Internet memang merupakan gudang informasi. Akan tetapi tidak semua informasi yang di dalamnya layak untuk dijadikan titik tolak penelitian. Banyak peneliti muda yang ingin cari mudah, lalu mengutip dari sumber-sumber yang tidak kredibel. Ini tentunya membuat kualitas penelitian menurun drastis. Keutamaan seorang peneliti dalam bentuk ketekunan, kesabaran, permenungan, berpikir kritis dan analitis, serta integritas lenyap di telan kemalasan berpikir.

Tiga, mentalitas para peneliti yang bergantung pada internet adalah mentalitas konsumen yang malas mencipta. Akibatnya dunia pendidikan Indonesia tidak produktif dalam berkarya, dan kalah jauh bersaing dengan universitas-universitas di luar negeri. Dengan mental semacam ini, tidak akan ada penemuan-penemuan baru keluar dari dunia pendidikan kita. Peneliti sebagai pemikir kini berubah menjadi para broker informasi yang kerjanya hanya mengambil dan memoles ulang hasil penelitian orang lain, tanpa ada sumbangan ide apapun. (Indrajit, 2010, 132)

Empat, para dosen tua biasanya takut dengan keterbukaan yang ditawarkan oleh TIK di dalam dunia pendidikan tinggi. Mereka tidak mau mempublikasikan hasil penelitian dan pemikiran, karena takut mendapat kritik dari masyarakat luas. Akibatnya penelitian dan pemikiran yang berharga dari para dosen tua tidak menjadi bagian dari masyarakat. Ini tentunya suatu kerugian besar bagi dunia pendidikan. Ketakutan berlebihan akan kritik membuat para peneliti senior menolak mempublikasikan karya mereka. Proses kemajuan dan perbaikan ke arah hidup bersama yang semakin berkualitas pun terhambat.

Lima, pada level manajemen operasional, penerapan TIK di universitas menuntut para pimpinan universitas menerapkan kontrol yang tinggi terhadap mutu, keterbukaan, dan tanggung jawab terhadap semua penelitian dan data yang dihasilkan perguruan tingginya. Kontrol tersebut membutuhkan pertimbangan yang bijak, dan bukan hanya asal sensor, atau asal memberikan kebebasan semata. Indrajit mengajukan pertanyaan tajam, apakah para pimpinan universitas sudah siap dengan ini? Melalui penelitian yang dilakukan, ia mengajukan kesimpulan sementara, bahwa karena berbagai alasan, dari alasan personal sampai alasan institusional, para pimpinan perguruan tinggi di Indonesia belum siap menerapkan prinsip kontrol yang bijaksana tersebut. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

No.


Dampak Positif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

1.


Membantu mahasiswa memvisualisasikan konsep-konsep abstrak di dalam proses pembelajaran.

2.


Mendapatkan Informasi dan analisis terbaru terkait dengan bidang penelitian tertentu.

3.


Mengolah aset penelitian dan pemikiran di universitas menjadi aset intelektual yang siap digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan pengembangan.

4.


Menghemat waktu dan tenaga dalam hal proses pengumpulan dan pengiriman informasi, terutama yang terkait dengan data-data yang bersifat internasional.

5.


Merampingkan birokrasi operasional perguruan tinggi, sehingga memudahkan semua pihak untuk menjalankan proses pendidikan.

Tabel. 5

Dampak Positif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

No.


Dampak Negatif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

1.


Kemudahan yang diberikan oleh TIK menjadikan para peneliti malas dan dangkal dalam mengolah maupun menganalisis data.

2.


Informasi dan data kualitas rendah yang beredar di internet membuat kualitas penelitian menurun

3.


Mengubah mentalitas peneliti sebagai pemikir menjadi konsumen ataupun broker informasi yang hanya mengolah tanpa memberikan sumbangan pemikiran apapun.

4.


Keterbukaan dan ketakterbatasan informasi mendorong ketakutan berlebihan akan kritik terhadap hasil penelitian. Banyak penelitian berharga sengaja tidak dipublikasikan, karena takut menuai kritik, dan mencoreng nama baik si peneliti.

5.


Belum siapnya para pimpinan universitas menerapkan kontrol yang bijaksana terhadap dampak keterbukaan TIK dalam bentuk tanggung jawab moral ataupun kualitas penelitian yang disebarkan.

Tabel. 6

Dampak Negatif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

Tabel di atas merupakan rangkuman dari berbagai perdebatan yang muncul tentang penerapan TIK di dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Bagaimana kita harus menyingkapinya secara tepat? Bagaimana kita memastikan bahwa TIK adalah teknologi yang membebaskan manusia, dan bukan menjadikannya sebagai alat untuk di eksploitasi? Jika dicermati lebih jauh, TIK memberikan sumbangan besar bagi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, ketika TIK mendorong manusia untuk menjadi subyek atas dunianya, termasuk atas teknologi yang digunakannya. Dan sebaliknya TIK akan memberi dampak negatif pada kehidupan manusia, ketika TIK menempatkan manusia sebagai obyek, sebagai benda, yang menjadi alat demi perkembangan TIK itu sendiri. Dengan demikian teknologi yang membebaskan manusia adalah teknologi yang menjadikan manusia sebagai subyek, dan bukan obyek atas teknologi itu sendiri. Saya akan jabarkan argumen ini pada bagian berikutnya.

2.Menuju Teknologi yang Membebaskan Manusia

Di dalam teori-teori sosial kritis, teknologi telah lama dituduh sebagai penyebab dari berbagai penyakit sosial, seperti totalitarianisme di tataran ide (fakta yang menjajah kreativitas), pencipta lapangan kerja yang tidak membutuhkan kreativitas, dan pencipta masyarakat konsumeris yang hedonis. Teknologi memudahkan hidup manusia, dan itu membuatnya menjadi manja. Kemanjaan adalah sumber dari banyak penyakit sosial di masyarakat sekarang ini. Teknologi membuat manusia menjadi miskin imajinasi. Ia dipenjara oleh teknikalitas yang kering seolah tanpa jiwa. Nilai-nilai kemanusiaan yang bermakna lenyap ditelan kalkulasi rasional teknis matematis. Apakah tuduhan tersebut benar? Bisakah teknologi dipandang ulang sebagai pemberdaya nilai-nilai kemanusiaan, dan bukan sebaliknya, pembunuh yang berdarah dingin dan rasional? Jawabannya BISA! Yang kita butuhkan sekarang ini adalah perubahan radikal di dalam cara kita memandang dan menggunakan teknologi, termasuk TIK di dalam pendidikan tinggi.[2]

Menurut Feenberg menurunnya kualitas kerja, pendidikan, dan pengrusakan lingkungan tidak terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan dari nilai-nilai otoriter yang tumbuh bersama dengan berkembanganya teknologi tersebut. Ia menulis, “I argue that the degradation of labor, education, and the environment is rooted not in technology per se but in the antidemocratic values that govern technological development.” (Feenberg, 2002, 3) Oleh karena itu semua bentuk perubahan cara berpikir di dalam memandang dan menerapkan teknologi perlu untuk melihat pola berpikir otoriter yang ikut tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi, termasuk TIK.

Banyak filsuf dan teoritikus sosial mengajukan solusi yang cukup absurd. Mereka menyarankan orang meninggalkan teknologi sama sekali. Hidup sederhana dan spiritual, begitu semboyannya. Walaupun terkesan absurd mereka memiliki satu ide penting, bahwa perkembangan teknologi memang telah banyak mengubah hidup manusia, namun korban yang dihasilkan juga sangat mengerikan, seperti yang dapat kita lihat pada pemanasan global, lumpur Sidoarjo, tumpahan minyak di Amerika Serikat, belum yang tak terlihat langsung oleh mata, seperti melemahnya mental manusia modern, pragmatisme dangkal yang menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil, dan eksperimen dengan menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan. (Feenberg, 2002, 3)

Dalam konteks pendidikan setiap bentuk teknologi, termasuk TIK, haruslah menjadi instrumen pembebasan, dan bukan penindasan yang membuat para pembelajar, baik dosen ataupun mahasiswa, menderita. Teknologi harus mengabdi pada cita-cita mendasar demokrasi, yakni memungkinkan setiap individu untuk memperoleh kebebasan personal secukupnya, dan berpartisipasi secara aktif di dalam berbagai aktvitas yang terkait dengan kepentingan publik. Inilah yang menurut Feenberg esensi dari manusia, yakni kebebasan dan partisipasi. Teknologi dalam segala bentuknya harus membantu manusia menggapai esensi tersebut.

Dewasa ini sebagaimana diamati oleh Feenberg, pilihan-pilihan yang dibuat manusia, sebagai konsekuensi dari kebebasan individu yang kian berkembang, dimediasi oleh teknologi. Maka orang yang sungguh bebas adalah orang yang melek pada kecanggihan teknologi, terutama TIK. “Apa yang disebut manusia”, demikian Feenberg, “sudah dan akan diputuskan dalam bentuk alat-alat kita tidak kurang dari tindakan para negarawan ataupun gerakan politik.” (Feenberg, 2002, 3) Dengan kata lain teknologi akan menjadi salah satu elemen utama pembentuk jati diri dan karakter manusia. Teknologi tidak pernah netral dan obyektif murni, melainkan selalu terkait dengan dampak dan kepentingan politis tertentu.

Sebaliknya juga dapat dikatakan, bagi mereka yang buta teknologi, pilihan menjadi sangat terbatas. Inilah karakter otoriter dari teknologi, bahwa dia bersikap diskriminatif kepada mereka yang tidak bisa mengaksesnya. Teknologi menjadi begitu rumit dan teknis, sehingga mengalienasikan penggunanya. Akibatnya manusia menjadi obyek dari teknologi. Teknologi menjadi simbol diskriminasi bagi mereka yang bodoh dan miskin. “Eksklusi mayoritas besar dari partisipasi (teknologi-Reza) di dalam keputusan ini,” demikian Feenberg, “sangat tidak demokratis.” (Feenberg, 2002) Dengan demikian perubahan pandangan mendasar tentang teknologi dan penggunaannya memerlukan kesadaran demokratis, yakni teknologi yang membebaskan manusia, yang memperlakukan dan memberdayakan manusia untuk mencapai taraf kesetaraan, yang menjadikan manusia sebagai subyek.

Feenberg juga menegaskan bahwa teknologi harus menganut sosialisme, yakni dipergunakan untuk pemberdayaan sebanyak mungkin rakyat, dan bukan hanya kalangan yang mampu saja. Tentu saja seperti juga disadari oleh Feenberg, kata sosialisme erat dikaitkan dengan komunisme dan marxisme. Padahal sosialisme tidak otomatis sama dengan kedua konsep itu. Sejak kejatuhan Russia dan banyak negara komunis, ide tentang sosialisme kehilangan daya tariknya di dunia. Walaupun begitu alih-alih dipandang sebagai kematian sosialisme, jatuhnya Russia dan negara komunis lainnya juga dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menelaah kembali sumber-sumber pembebasan yang ada di dalam teori-teori sosialisme maupun Marxisme, sebelum kedua teori itu ditafsirkan oleh Lenin, dan dijadikan pembenaran untuk diktator militer di Uni Soviet. Sumber pembebasan untuk memahami teknologi sebagai alat pembentuk dan pemberdaya subyektivitas manusia juga dapat kita tempa dari teori-teori sosialisme tersebut.

Pada dekade 1980-1990, Feenberg mencatat berkembangnya gerakan postmodernisme di dalam filsafat maupun ilmu-ilmu sosial. Gerakan ini hendak menantang semua klaim universal, dan menawarkan pembebasan partikular lokal dari penjajahan universalitas yang seringkali berperan sebagai selubung penindasan. Gerakan ini bermuara pada pesimisme atas perjuangan kelas, dan berkembangnya wacana tentang berakhirnya sejarah, yang sebenarnya merupakan simbol pesimisme terhadap segala bentuk perjuangan dan pembebasan. Tentu saja seperti yang juga dicatat oleh Feenberg, ide tentang akhir sejarah adalah sebuah ilusi. Bukan hanya itu konsep alienasi pun sudah tidak lagi relevan sebagai pisau analisis. Dan mungkin seperti yang menjadi argumen para filsuf postmodern, pembebasan tidak ditemukan lewat revolusi atau perjuangan kelas, melainkan dari ironi dan paradoks. Estetika dan seni menjadi senjata yang lebih ampuh daripada rasionalitas.

Feenberg mengutip pendapat Karl Mannheim tentang krisis sosial yang muncul bersama dengan lahir serta berkembangnya teknologi. Krisis tersebut mengambil bentuk lemahnya perdebatan di dalam ruang publik tentang masalah-masalah masyarakat. Perspektif sejarah tentang isu yang menjadi perdebatan tidak digali lebih jauh, sehingga argumen yang diajukan lebih di tataran praktis dangkal, daripada reflektif analitis. Perkembangan teknologi sejalan dengan berkembangnya mentalitas praktis dangkal tersebut. Di dalam cara berpikir ini, manusia tidak lebih dari sekedar benda. Manusia adalah obyek. Sementara teknologi adalah subyek. Manusia telah dijajah oleh sistem yang diciptakannya sendiri, yakni teknologi. (Feenberg, 2002, 4)

Manusia terjebak dalam dilema. Di satu sisi ia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Di sisi lain perkembangan teknologi mengikis mentalitas reflektif dan historis yang sebelumnya menjadi fondasi peradaban manusia.[3] Di dalam situasi dilema tersebut, muncul harapan-harapan mesianik-utopis tentang kedatangan penyelamat yang akan menyelesaikan semua masalah. Masalah intinya disini sebagaimana dicatat oleh Feinberg adalah, bagaimana kita bisa mengembalikan manusia sebagai subyek sejarah yang mengarahkan sejarah ke arah pembebasan, tanpa terjatuh pada harapan mesianik utopis tentang hadirnya seorang penyelamat yang akan menyelesaikan semua masalah? Mungkinkah ada suatu refleksi rasional yang realistik untuk mengubah cara kita memandang dan menerapkan teknologi di kehidupan? Feenberg mengajukan jawaban jelas, bahwa sosialisme harus kembali disuntikan ke dalam pemahaman dan penggunaan teknologi, sehingga manusia bisa dijadikan subyek sekaligus tujuan di dalam pengembangan teknologi, dan bukan sekedar alat, apalagi kelinci percobaan. (Feenberg, 2002, 5) Hanya dengan begini teknologi, terutama TIK, bisa mendukung proses demokrasi, dan menempatkan manusia sebagai setara, lepas dari ras, agama, ataupun kelas sosial ekonominya.

Feenberg juga menegaskan bahwa ada dua teori tentang teknologi yang dominan di dalam ilmu-ilmu sosial. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai teori instrumental. Di dalam teori ini, teknologi adalah alat pembantu pengembangan politik dan budaya masyarakat. Sementara teori kedua disebut sebagai teori substantif, yakni teknologi adalah suatu sistem otonom yang bisa digunakan untuk menggantikan sistem-sistem lainnya, seperti sistem budaya ataupun sistem agama. Kedua teori itu berat sebelah. Teori pertama tidak menyadari efek tidak langsung dari perkembangan teknologi. Efek tidak langsung tersebut adalah mentalitas praktis dangkal, otoriter, dan miskin refleksivitas. Sementara teori kedua mendewakan teknologi, dan merusak tatanan makna kultural yang sebelumnya telah ada.

Dalam konteks penerapan TIK di dalam dunia pendidikan, teori pertama ingin menegaskan, bahwa TIK adalah alat bantu pengembangan pendidikan. TIK mengabdi pada kepentingan pembebasan manusia melalui pendidikan. Namun bersama dengan berkembangnya TIK di dalam pendidikan, mentalitas lainnya juga ikut berkembang, yakni mentalitas malas menganalisis, mentalitas malas berpikir, mentalitas instan, mentalitas miskin refleksi, mentalitas otoriter di dalam kebodohan, dan mentalitas ketakutan berlebihan. Semuanya sudah saya jabarkan pada bab sebelumnya tulisan ini.

Sementara dari sudut pandang teori kedua, TIK dapat menggantikan esensi belajar itu sendiri. Pola berpikir kritis digantikan pola berpikir teknis khas tukang komputer. TIK adalah masa depan. Sementara pendidikan yang membebaskan adalah masa lalu. TIK dapat menggantikan sistem pendidikan seluruhnya. Manusia yang dihasilkan adalah para tukang memperbaiki dan memprogram komputer. Tidak lebih dan tidak kurang. Tentu saja kedua teori ini kurang tepat untuk mengembalikan peran teknologi, terutama TIK, sebagai sistem yang membebaskan manusia, yang menjadikan manusia sebagai subyek. Sebagai alternatif Feenberg mengajukan pemikirannya sendiri, yakni teori kritis tentang teknologi. (Feenberg, 2002, 13)

Di dalam teori ini, teknologi bukanlah sistem otonom yang netral dan bebas, melainkan dibatasi oleh moral dan kebutuhan politis masyarakat. Teori ini mengajak masyarakat untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk penindasan yang muncul bersama dengan berkembang dan penerapan teknologi, termasuk TIK. Teori ini menurut Feenberg hendak berperan menjadi jembatan antara dua pihak, yakni antara kelompok berpikir teknis praktis di satu sisi, dan para pemikir humanis reflektif di sisi lain. Tujuannya searah dengan teori kritis klasik, yakni menciptakan emansipasi masyarakat dari semua bentuk penindasan, baik yang kasat mata, ataupun yang tidak.[4]

Teori kritis klasik dirumuskan oleh Mazhab Frankfurt dan seorang pemikir Marxis, Georg Lukacs. Ada tiga konsep kunci, sebagaimana dicatat oleh Feenberg, yakni konsep totalitarisme pencerahan, satu dimensi, dan reifikasi. Ada satu pengandaian yang sama di belakang ketiga konsep itu, bahwa kontrol manusia atas alam dengan menggunakan teknologi diawali dengan dominasi terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Jalan keluar dari dominasi tersebut bukanlah estetika ataupun spiritualitas, seperti yang ditawarkan seni dan agama, melainkan pengembangan mentalitas dan institusi-institusi demokratis yang ada di masyarakat. Dalam arti ini teknologi pun juga harus mencerminkan mentalitas demokratis, yakni menempatkan manusia sebagai subyek yang setara dan rasional.[5]

Di sisi lain paham bahwa teknologi dan sains itu netral, lepas dari kepentingan politik ras, agama, ataupun golongan, haruslah diubah. Inilah yang kiranya ditekankan oleh Habermas di dalam bukunya yang berjudul Knowledge and Human Interest. Setiap bentuk pengetahuan yang menjadi dasar dari sains maupun teknologi selalu memiliki kepentingan yang inheren di dalamnya. Kepentingan tersebut tertanam di dalam kodrat pengetahuan manusia yang terdalam, maka tidak terhindarkan. Ilmu-ilmu alam memiliki kepentingan untuk mengkalkulasi dan mengontrol alam. Ilmu-ilmu sosial memiliki kepentingan untuk memahami realitas. Sementara ilmu-ilmu kritis, seperti filsafat dan teori kritis, bertujuan untuk membebaskan manusia dari kepercayaan-kepercayaan palsu. (Hardiman, 1988)

Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, roh dari teori kritis adalah pembebasan dari kepercayaan-kepercayaan palsu. Kepercayaan palsu itu mencakup pula ketergantungan manusia pada teknologi modern, seperti komputer, alat transportasi, serta pabrik, yang pada akhirnya membuat manusia tidak bebas. Teknologi haruslah ditempatkan kembali sebagai alat, dan bukan tujuan dari aktivitas manusia. Namun yang terjadi adalah teknologi kini mendefinisikan manusia. Pilihan-pilihan manusia seolah tanpa batas, namun sebenarnya dibatasi oleh teknologi tersebut. Pada akhirnya teknologi akan mengantarkan manusia menjadi mahluk konsumtivis, seperti yang telah dikatakan oleh Indrajit. Teknologi membuat manusia tumpul dalam hal berpikir dan bertindak. (Feenberg, 2002, 14)

Teknologi haruslah menempatkan manusia sebagai subyek, inilah kiranya yang ditekankan oleh teori kritis tentang teknologi, sebagaimana dirumuskan oleh Feenberg. Di dalam perjalanannya seperti sudah sedikit disinggung, teori kritis tergoda untuk jatuh ke dalam seni dan agama. Estetika dan iman banyak dianggap sebagai jalan keluar dari dominasi sosial yang terjadi. Iman dan seni dianggap sebagai jalan pembebasan. Menurut Feenberg pandangan semacam ini haruslah ditinggalkan. Orang tidak boleh melarikan diri ke dalam refleksi estetik seni dan spiritualitas agama, ketika tidak mampu menyelesaikan problematik politik yang mereka hadapi.

“Teori kritis”, demikian tulisnya, “tidak menjadi lemah di hadapan kemenangan teknollgi, juga tidak memanggil pembaharuan roh manusia dari ruang yang melampaui masyarakat seperti agama ataupun alam.” (Feenberg, 2002)

Perjuangan pembebasan dari dominasi teknologi yang menempatkan manusia dari obyek adalah perjuangan politik yang harus dilakukan di ranah politik dan sosial, bukan di ranah seni ataupun agama.

Di era sekarang ini, rasionalitas politik sudah begitu ditentukan oleh rasionalitas teknologis. Mulai dari pemilihan umum sampai penentuan ketua RT pun tidak bisa dilepaskan dari aspek teknologis dan cara berpikir yang mendasarinya. Dalam arti ini rasionalitas teknologis adalah cara berpikir yang melihat segala sesuau dengan kaca mata kontrol, efektivitas, dan efisiensi kerja. Politik bagaikan mesin pabrik yang bergerak secara otomatis dan mekanis. Tujuan politik bukan lagi mencari legitimasi dari rakyat, melainkan mencapai hasil dengan cara yang seefektif dan seefisien mungkin.

Dalam bahasa Mazhab Frankfurt, teknologi telah menjadi ideologi, yakni kepercayaan-kepercayaan palsu tentang cara memandang dan menata masyarakat.[6] Korban dari cara berpikir ini adalah manusia dengan kompleksitas kehidupannya yang melingkupi makna dan spiritualitas. Tanpa kedalaman makna manusia menjalani kehidupannya bagaikan mayat hidup. Mereka hampir sepenuhnya berubah menjadi mahluk konformis yang patuh dan tumpul. Di dalam masyarakat yang terdiri dari orang-orang semacam itu, segala sesuatu berjalan mekanis, bahkan hal-hal yang tidak bisa dibenarkan secara moral. Korupsi menjadi mekanis. Diskriminasi menjadi mekanis. Inilah yang kiranya ingin dibongkar oleh teori kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Feenberg.

“Teori kritis”, demikian tulis Feenberg, “menunjukkan bagaimana kode-kode teknologi ini secara tak terlihat mengendap menjadi nilai dan kepentingan di dalam aturan dan prosedur, alat-alat dan artifak yang membuat rutin pengejaran kekkuasaan dan keuntungan dari hegemoni yang dominan.” (Feenberg, 2002, 15)

Dengan demikian teknologi bukan hanya sekedari alat yang netral dan tanpa kepentingan. Teknologi berasal dari pergulatan peradaban, dan memberikan pengaruh besar di dalam dinamika peradaban manusia itu sendiri. Apa yang manusia ciptakan selalu kembali mempengaruhi manusia itu sendiri sebagai penciptanya. Teknologi bagi Feenberg adalah kumpulan kemungkinan dan kumpulan ambivalensi. Oleh karena itu menurutnya, kita perlu memandang teknologi sebagai arena pertarungan kepentingan dan kekuasaan. “Teknologi”, demikian Feenberg, “adalah arena pertarungan sosial.” (Feenberg, 2002) Hanya dengan begitu teknologi bisa dikembalikan pada tempatnya yang tepat, yakni sebagai pembebas manusia, sebagai instrumen yang menempatkan manusia sebagai subyek.

Teknologi adalah seni untuk mengontrol alam, guna mengabdi pada pemenuhan kebutuhan (terbatas) dan keinginan (tak terbatas) manusia. Di dalam masyarakat kapitalis, seperti Indonesia, kehadiran teknologi tidak dapat dihindari. Namun seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan teknologi tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir yang mendasarinya, yakni cara berpikir teknis, instrumental, dan menumpulkan daya kritis serta kreativitas manusia.

Teori kritis tentang teknologi yang dirumuskan oleh Andrew Feenberg ingin mengajak kita membayangkan dan menciptakan bentuk lain dari masyarakat dan peradaban manusia. Di dalam masyarakat semacam itu, teknologi terkait erat dengan pengembangan kultur masyarakat, dan bersifat adil di dalam penyebarannya. Teknologi harus mengabdi pada peningkatan kualitas kehidupan di segala bidang, dan bukan hanya bidang materi semata, apalagi hanya semata pengejaran kekuasaan demi memperoleh keuntungan jangka pendek dan sempit. Singkat kata teknologi yang menjadikan manusia sebagai subyek. Semua ini hanya dapat terwujud, jika kontrol demokratis juga diarahkan pada perkembangan dan penggunaan teknologi. Inilah esensi dari teori kritis tentang teknologi. (Feenberg, 2002, 35)

Banyak filsuf yang mengatakan, bahwa kehadiran TIK mendorong proses demokratisasi di berbagai bidang. Orang bisa mengakses informasi dan mengajukan pendapatnya di internet tanpa sensor. Namun fakta sebaliknya juga menentukan, teknologi, dengan mentalitas otoriter yang ikut berkembang bersamanya, termasuk TIK, justru malah memasung mentalitas demokratis. Pola berpikir kritis dan reflektif lenyap digantikan pola pikir teknis. Dengan demikian walaupun secara material proses demokratisasi berpotensi meningkat, terutama dengan kehadiran internet dan segala kemudahan aksesnya, namun mentalitas kritis dan reflektif, yang merupakan prasyarat utama di dalam demokrasi, justru lenyap digantikan rasionalitas teknologis yang kering dan efisien.

Yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menanggalkan jubah sakral dari penerapan teknologi, termasuk TIK, di dalam kehidupan. Teori kritis klasik memiliki konsep yang persis sekali menggambarkan intensi ini, yakni demitologisasi atau desakralisasi. Ciri mitologis dan sakral seolah TIK tidak bisa lagi digugat dan dipertanyakan haruslah dicopot, dan digantikan dengan kultur demokratis, di mana segala sesuatu bisa menjadi tema perdebatan untuk mengubah cara berpikir dan kebijakan yang ada. Teknologi tidak hanya mendorong demokratisasi, namun teknologi, dan TIK, sendiri pun harus menjadi obyek kajian kontrol demokratis dari manusia-manusia yang berdiri setara sebagai subyek yang bebas dan rasional.

3.Kesimpulan dan Tanggapan

TIK memiliki peran besar di dalam meningkatkan kualitas pendidikan perguruan tinggi, selama TIK ditempatkan dalam kontrol demokratis yang ketat dari masyarakat pada umumnya, dan para ahli. Artinya TIK perlu untuk menempatkan manusia sebagai subyek yang setara dan rasional, dan bukan obyek pasif yang hanya menjadi alat demi perkembangan teknologi itu sendiri. TIK adalah alat untuk mencapai pembebasan manusia dari kemiskinan dan kebodohan, dan bukan tujuan utama yang pada akhirnya justru menjadikan manusia sebagai alat yang miskin dan bodoh, serta bisa dieksploitasi. Inilah esensi dari teori kritis tentang teknologi yang bertujuan untuk membebaskan manusia.

Dewasa ini penerapan TIK di dalam pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya. Hal ini menjadi sakral, dan tidak bisa lagi dipertanyakan. TIK dan teknologi pada umumnya menjadi begitu rumit, dan justru memperbodoh mereka yang tidak memiliki sumber daya untuk mengaksesnya. Dengan kata lain TIK justru menjadikan manusia sebagai alat dan obyek untuk kepentingan pengembangan TIK itu sendiri. Teknologi demi teknologi itu sendiri, begitu semboyannya. Pendidikan pun menjadi ajang pelatihan tukang-tukang reparasi komputer dan programmer software. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk mengubahnya. Bisakah kita melakukan demitologisasi dan desakralisasi terhadap TIK secara khusus, dan teknologi pada umumnya? Mungkin pertanyaannya harus diubah, maukah kita? ***

Daftar Pustaka

Feenberg, Andrew, 2002, Transforming Technology, Oxford: Oxford University

Press.

Hardiman, F. Budi, 1988, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius.

Indrajit, R. Eko, 2010, “Peranan Strategis serta Tantangan Pemanfaatan TEknologi

Informasi dan Komunikasi bagi Perguruan TInggi di Indonesia”, dalam

Globalisasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi, APTIK, Jakarta.

Marcuse, Herbert, 2000, An Essay on Liberation, Boston: Beacon Press.

Wattimena, Reza A.A., 2008, Filsafat dan Sains, Jakarta: Grasindo.

—————————, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta:

Kanisius.

[1] Pada bagian ini saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, “Peranan Strategis serta Tantangan Pemanfaatan TEknologi Informasi dan Komunikasi bagi Perguruan TInggi di Indonesia”, dalam Globalisasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi, APTIK, Jakarta, 2010.

[2] Pada bagian ini saya mengacu pada pemikiran Andrew Feenberg, Transforming Technology, Oxford: Oxford University Press, 2002.

[3] Uraian lebih jauh dapat dilihat di Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Jakarta: Grasindo, 2008.

[4] Uraian tentang Teori Kritis klasik maupun kontemporer dapat dilihat di Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

[5] Lihat pemaparan yang sangat menarik dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius, 1988.

[6] Lihat pemaparan Marcuse dalam Marcuse, Herbert, 2000, An Essay on Liberation, Boston: Beacon Press.

Dipublikasikan juga di www.dapunta.com

Pemikiran Vs Nilai

Semua upaya penafsiran (pemikiran) sebebas apapun dia, tentu menggunakan metode, kaidah atau proses berpikir tertentu; kalau tidak demikian, itu bukan tafsir sebagai buah pikir melainkan lebih pantas disebut ngawur, nglantur atau nglindur. Kesimpulannya, tidak ada pemikiran yang bebas nilai, dia harus menggunakan kaidah berpikir tertentu agar diakui sebagai buah dari suatu proses berpikir (Sumber:abdul

Kamis, 22 Juli 2010

Filsafat adalah upaya berpikir melampaui batas-batas. Filsafat adalah cara berpikir yang melampaui hal-hal praktis (Slavoj Žižek)

Senin, 19 Juli 2010

Ilmu Hikmah

Sumber:http://ideastudies.com/article/ilmu-hikmah/
Tags: dpr, hikmah, kehidupan, nabi khidzir, refleksi, sosial
0diggsdigg

Oleh Wahyu Agung

Sejak lulus kuliah, lama saya—yang bertahun-tahun ikut membesarkan dan mengurus tetek bengek urusan keredaksian—tidak menulis untuk majalah kampus IDEA. Dari mulai menulis, editing, lay out bahkan sampai ikut mengurus percetakan dan distribusi majalah. Semua itu pernah saya jalani hanya bersama dua orang sahabat, Anis Mahmudah dan Sarmin. Maklum dulu kader sangat sedikit. Untung, Dekan dan Pembantu Dekan III waktu itu—Bapak Riddin Sofwan dan bapak Zainul Arifin—sangat giat mendukung dan terus menagih produk terbitan. Sungguh sebuah pengalaman menarik yang terus melekat di benak saya.
Saat hendak menulis kolom ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia punya hajat besar. Pansus dibentuk untuk mengusut Kasus Bailout Bank Century. Kasus ini sangat menarik dan menantang perhatian banyak orang di Republik ini. Semua media massa, baik cetak, audio maupun visual berlomba-lomba memberitakan. Banyak orang tak mau ketinggalan berita, berbondong-bondong duduk dengan hikmat mengikuti jalan cerita. Mahasiswa dari penjuru negeri dengan semangat menggelar demo, mendukung pengusutan kasus ini. Banyak ahli menganalisis, baik dalam wawancara televisi atau pun artikel koran. Saya merasa tidak mempunyai cukup keahlian untuk mengomentari kasus yang menurut banyak orang berkaitan dengan wakil pemimpin negeri ini.
Saya merasa sreg untuk melakukan refleksi atas gempa bumi di Chili. Yang menewaskan banyak penduduk tak berdaya. Sebelumnya, di negeri kita gempa juga melanda di Aceh, Yogyakarta dan Padang. Gempa adalah fenomena alam, yang menunjukkan tidak berdayanya manusia menghadapi gelombang dahsyat kematian. Gempa menyerang setiap orang, tidak memandang umur, status sosial, kekayaan atau kuasa. Gempa menunjukkan bahwa manusia bukan apa-apa, tidak berdaya dibandingkan kekuasaan Allah, pencipta segalanya. Gempa menjadi penanda bahwa semua manusia adalah sama. Tak ada alasan manusia untuk sombong, dengan membanggakan harta atau kuasa.
Peristiwa alam sudah selayaknya menjadi refleksi, sebagaimana perintah Allah untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Nya dengan memperhatikan alam semesta. Untuk itu, manusia harus mampu melakukan refleksi dengan mentransedenkan diri dalam menjalani hidup—rohani harus mengatasi jasmani. Refleksi menjadi jalan manusia untuk memahami makna hidup yang “sesungguhnya” atas kebenaran yang lebih utuh dan tidak parsial. Namun demikian, refleksi adalah persoalan yang sulit, yang tidak setiap orang memahaminya bahkan memunculkan ketidakpahaman.
Kesalahpahaman dalam refleksi malah menghantarkan pada kekecewaan yang mendalam. Sehingga hati semakin tertutup dari makna hidup. Refleksi yang salah atas gempa menjadikan Tuhan limpahan kesalahan, atas takdir yang telah ditetapkan-Nya, seraya berkata “Sungguh buruk nasib kami” atau “Tuhan kenapa engkau menghukum kami”. Refleksi yang salah terjadi karena buta hati, yang hanya memandang masalah dari satu sisi, dari perspektif diri, tanpa memperhatikan bagian kebenaran-kebenaran lain.
Refleksi adalah jalan menuju ilmu hikmah, ilmu yang dimiliki Nabi Khidzir. Banyak orang, termasuk kita tidak memahami ilmu ini, sebagaimana Nabi Musa tidak memahami tindakan Nabi Khidzir, seperti dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 60-82: bahwa Nabi Musa tidak memahami mengapa Nabi Khidzir merusak perahu yang ditumpangi keduanya, Khidzir membunuh anak kecil, memperbaiki bangunan di suatu kampung yang tidak ramah terhadap mereka. Ketidaktahuan Musa berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan kegelisahan dan keingintahuan, yang kemudian dijawab oleh Khidzir. Khidzir menjelaskan bahwa perahu yang rusak adalah milik orang miskin yang akan dirampas oleh penguasa yang lalim, Khidzir merusaknya dengan tujuan agar perahu terlihat jelek dan penguasa tidak tertarik merampas. Sedangkan anak kecil yang dibunuh, kelak akan menyesatkan kedua orang tuanya yang beriman. Dan bangunan yang diperbaiki, di dalamnya terdapat harta kekayaan milik anak yatim.
Kisah Musa dan Khidzir adalah pelajaran yang tidak habis-habisnya menjadi inspirasi, ada ilmu hikmah yang lebih tinggi dari pengetahuan eksakta yang selama ini menjadi andalan kita manusia modern. Cara berpikir kita saat ini; seperti Musa yang menyalahkan atas perbuatan Khidzir yang merusak kapal, membunuh anak kecil dan memperbaiki bangunan orang yang tidak ramah; adalah logika aristoteles yang kaku, bila tidak benar berarti salah. Kebenaran yang kita ciptakan adalah kebenaran dalam bingkai dualisme yang mengakar kuat dalam epistemologi dengan term-term benar vs salah, dosa vs pahala, surga vs neraka.
Jika masih sulit memahami, setidak-tidaknya refleksi menjadikan kita tidak perlu terlalu kaku menatap peristiwa sehari-hari dengan perhitungan matematis, memandang salah benar bagai dua sisi mata koin yang berbeda. Pasti ada hikmah yang bisa diambil dari segala peristiwa hidup ini. Menurut saya, refleksi sangat terbuka untuk berbagai peristiwa kehidupan manusia. Dari mulai peristiwa kecil saat bersantai, bekerja atau peristiwa besar seperti bencana.
Refleksi akan membuka manusia untuk memahami misteri yang luar biasa, dengan mempersoalkan kehidupan. Refleksi akan mengantarkan pada paradoks bahwa manusia bersifat jasmani dan rohani, individual dan sosial, hidup dan mati; dua sifat yang menurut logika bertentangan. Keparadoksalan manusia tidaklah bersifat konflik melainkan saling melengkapi. Sisi jasmani untuk persoalan teknis dan kerja fisik, sedangkan sisi rohani menjadi penentu arah hidup.
Setiap orang dengan dua sisinya, jasmani dan rohani, sudah selayaknya berlomba-lomba menggelar amalan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya. Nilai guna amalan manusia sesungguhnya tidak terletak kuantitas melainkan kualitas, seberapa besar manfaatnya yang merentang waktu dan menembus batas antar generasi. Kegagalan dan keberhasilan manusia tidak diukur dari saat ini, tetapi dalam jangka panjang, yang menjangka dan menjangkau masa depan, sebagaimana amalan Nabi Khidzir lebih tinggi dibanding Nabi Musa karena jangkauan manfaat yang lebih luas. Refleksi yang benar atas bencana alam mengantarkan pemahaman yang benar akan makna hidup, bahwa semua tidak ada orang bisa melawan kematian, semua orang akan mati tanpa memandang status sosial, kuasa dan kekayaan.
Saya pikir refleksi adalah jalan menuju ilmu hikmah, dalam format kecil. Refleksi mengantarkan kita pada pemahaman atas keutuhan kebenaran, pemahaman diri, agar tidak jatuh dalam sifat sombong, lupa diri, meremehkan orang lain, terlampau kagum dan hingga takabur atau terlampau sedih hingga meratap-ratap kematian orang yang kita cinta dan kasihi. Bukankah pertemuan antara Musa dan Khidzir diatur oleh Allah, untuk menunjukkan kepada Musa yang sebelumnya mengaku sebagai orang terpandai, bahwa ada orang yang lebih pandai darinya? Kisah Musa dan Khidzir menunjukkan bahwa ilmu Allah sangatlah luas, tidak sepantasnya kita berbangga diri dan sombong. Pada setiap peristiwa, baik kegembiraan mau pun bencana selalu ada rahasia, pelajaran yang menjadi hikmah untuk manusia. Tergantung dengan apa dan bagaimana kita menggunakan kacamata pandang itu.[zk]

Wahyu Agung, mantan Pemimpin Redaksi LPM IDEA dan penulis buku tutorial Komputer dan Internet

Menimbang Mentalitas

Friday, June 11, 2010 7:22 - 0 Comments
Sumber:http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6470231934603928729

Mentalitas! itulah sebuah kata kunci yang membedakan antara bangsa bisa berjaya dan bangsa yang tetap berkekurangan. Semangat Heppy Trenggono dalam mendeskripsikan kejayaan bangsa-bangsa maju begitu menggebu-nggebu. Aura untuk memotivasi bangsa ini sangat terasa. Hal tersebut tampak pada bab pertama pada buku ini yang berjudul ”Belajar Dari Bangsa Lain”. Cara penyampaian Heppy Trenggono, bagi saya, sungguh menggugah mentalitas pembaca.

Plagiasi dan Kemalasan Global

Friday, June 11, 2010 3:44 - 0 Comments
Sumber:http://ideastudies.com/category/riset/
“Menurut L. Wiliardjo, mengutip pernyataan dalam karya orang lain sah-sah saja. Itu bukan penjiplakan, tetapi wujud penghargaan atas pandangan yang terkandung dalam pernyataan itu. Karya ilmiah bahkan dinilai, antara lain, berdasarkan seberapa banyak dan seringnya sebagian atau bagian-bagian tertentu dari karya itu dikutip. Makin banyak karya baru yang diilhami baru berarti gagasan itu semakin membenih…,” ulasnya, “Jadi silakan mengutip atau memaki karya orang lain hanya saja jangan mengklaim sebagai karya Anda sendiri (plagiasi-red). Itulah tata krama akademik. Kejujuran,” terangnya. (Kompas, 1 Maret 2010)

Ketidakpastian Dan Budaya Paternalistik

Sumber:http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/6372

Ketidakpastian itu sangat tidak mengenakkan. Bahkan dalam taraf tertentu
ketidakpastian bisa menjelma menjadi sesuatu yang menyiksa, menyakitkan.
Tidaklah mengherankan jika orang berlumba-lumba menggapai "sesuatu" yang bisa
dijadikan pegangan kepastian. Kepastian tidak bisa dipisahkan dengan harapan.
Kepastian menjanjikan harapan, juga harapan adalah pintu atau jalan menuju
kepastian. Jenis dan tingkat harapan serta kepastian pun bermacam-macam.
Tergantung apa dan bagaimana latar belakang seseorang.

Pengumuman lowongan pekerjaan adalah harapan kepastian pekerjaan bagi
pengangguran. Seorang yang keluar dari gang adalah harapan bagi tukang ojek.
Jika isyarat dari orang itu menunjukkan tanda dia akan menggunakan jasanya, maka
harapan si tukang ojek bertambah besar. Apalagi jika transaksi serta jasa
pelayanan sudah dimulai, itu berarti kepastian mendapat selembar-dua lembar
ribuan. Kepastian di tingkat inipun kemudian menjelma menjadi harapan lagi
menuju tingkat kepastian yang lebih tinggi. Misalnya, kepastian mampu membayar
setoran atau kepastian lancarnya nafkah bagi keluarganya. Bagi orang yang sudah
bekerja tetap (formal), harapan akan kepastian mendapat gaji yang cukup akan
memberinya motivasi kerja yang luar biasa, meskipun -mungkin- harus bekerja
melebihi jam normal. Seorang suami adalah harapan kepastian bagi seorang
perempuan, begitu juga sebaliknya. Orang tua adalah harapan dan kepastian bagi
anak-anaknya, begitu pula sebaliknya terutama waktu sang anak sudah tumbuh
dewasa.

Harapan akan kepastian bukan hanya monopoli individu, namun juga pada sekelompok
orang. Tiap kelompok itu biasanya berbasis pada satu persamaan. Bisa persamaan
nasib, persamaan profesi, suku, pola hidup, ideologi, agama, aliran agama,
gender dan masih banyak lagi.

Harapan dan kepastian baik dalam skala individu maupun kelompok, adalah sesuatu
yang wajar, alamiah dan tidak bisa disalahkan. Begitupun dengan usaha-usaha tiap
individu atau kelompok dalam memperoleh harapan dan kepastian. Yang perlu
diwaspadai adalah munculnya pola pikir serta budaya paternalistik yang selalu
menyertai "pertarungan" (perhatikan tanda kutip) dalam memperoleh harapan dan
kepastian itu. Dalam taraf tertentu pola pikir serta budaya paternalistik bisa
dimaklumi, namun hal ini juga potensial memunculkan permusuhan dan kekacauan.
Budaya paternalistik dalam istilah Jawa dikenal dengan "sapa sira sapa ingsun"
(siapa kamu siapa saya). Pola pikir serta budaya seperti ini biasanya menganggap
orang atau kelompok diluar kelompoknya sebagai "the others", yang berarti juga
adalah saingan bahkan lebih parah lagi diidentikkan sebagai musuh jika "the
others" itu sudah dianggap sebagai ancaman terhadap harapan dan kepastian bagi
kelompoknya. Bahayanya -tentu saja- hal seperti itu akan dilanjutkan dengan
upaya "membunuh" kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman itu.

Bagi seorang politikus, jika pola pikir dan budayanya paternalistik, maka
menyerang dengan segala cara politikus di luar kelompoknya menjadi hal yang
wajar. Jika kelompok itu kelompok agama atau aliran agama, maka menyerang dan
menjelekkan agama atau aliran agama lain merupakan menu favorit. Jika dia
seorang ideolog atau penganut ideologi tertentu, maka menyerang ideologi dan
penganut ideologi lain bisa merupakan kewajiban. Tentu saja, dalam tingkat
tertentu saling serang seperti ini tidak mungkin ditiadakan, dan tidak perlu
ditiadakan jika masing-masing kelompok berpegang pada etika universal yang
disepakati bersama. Namun sangat disayangkan jika saling serang itu sudah
mengabaikan etika, antara lain sudah mulai berbau fitnah, atau memberikan
gambaran buruk secara ekstrem terhadap "lawan"nya yang bisa dikategorikan
sebagai upaya pembunuhan karakter.

"Ngelamun !" bentak Dini yang tiba-tiba muncul.

"Uuuhh si sableng lagi. Nggangguin orang aja!"

"Salah sendiri siang-siang ngelamun di tempat terbuka. Kalau nggak mau diganggu,
sono ngelamun di kolong tempat tidur. Aman!"

"Wealah dasar bocah sableng ! Eh, apaan tuh, jeruk ya ? minta atu donk .." kata
Paijo yang melihat Dini membawa plastik berisi jeruk.

"Nggak ussyaah ya !"

"Ooo .. udah mentel pelit lagi ! dimintain satu aja nggak boleh."

"Biarin .. wek !" sahut Dini. "Mmm .. ya .. ya .. biar nggak ngambek, nih aku
kasih atu. Tapi ada syaratnya.."

"Dasar sableng ! syarat apaan ?"

"Rasain lu, kena batunya. Orang sableng ketemu orang sableng .. hi.. hi..," kata
Dini cengar-cengir. "Syaratnya, kasih tahu dulu, tadi ngelamunin apa ?"

"Ooo itu. Aku nggak ngelamun. Masak nggak bisa mbedain ngelamun sama merenung."

"Ah, sama aja !"

"Jelas beda donk !"

"Bedanya dimana ?" tanya Dini dengan gaya sablengnya.

"Bedanya kalau ngelamun itu angan-angan yang nglambrang nggak karuan. Kalau
merenung itu otak bekerja buat mikir."

"Ah, bisa aja ! emang mikir apaan sih ?" tanya Dini.

"Aku lagi mikir budaya paternalistik yang subur di tengah masyarakat kita."

"Uuuh, kayak gitu dipikirin. Pikirin tuh, gimana caranya biar dapat kerjaan yang
bisa jadi jaminan masa depan. Pikiran juga tuh, gimana caranya aku bisa segera
punya kakak ipar .. hi .. hi .."

"Lho, apa salah mikirin hal kayak gitu ?" tanya Paijo.

"Salah sih nggak, cuman kurang kerjaan mikirin sesuatu yang di luar jangkauan !"
jawab Dini.

"Terserah gimana kamu nganggepnya. Bagiku sih itu termasuk mikirin masa depan
juga. Bukankah dampak negatif dari budaya paternalistik itu balik ke kita-kita
juga."

"Kok bisa ?!" tanya Dini.

"Jelas dong. Emang kita nggak repot kalau di tengah jalan lagi ada tawuran anak
sekolah. Emang nggak pusing kalau nasib menentukan kita berada di tengah
kelompok preman yang berantem ? Belum lagi kalo lihat berita tu, tawuran antar
kampung sampe antar suku segala ?"

"Ooo.. begitchu.. lantas apa hubungannya sama budaya paternalistik ?" tanya Dini
lagi.

"Sikap paternalistik kan identik dengan solidaritas yang ngawur. Nggak peduli
temen itu benar atau salah, yang penting dia dari kelompokku, ya harus dibelain.
Masalah pribadi antar dua oknum kelompok bisa melebar ke pertikaian antar
kelompok."

"Yaa .. itu mah sudah jamak. Emang kita bisa apa ?" komentar Dini.

"Syukur-syukur kita bisa ikut mencegah, berupaya melempar opini bahwa budaya
seperti itu nggak sehat. Lha wong di balik perbedaan-perbedaan antar kelompok
itu kan masih banyak persamaan yang lebih universal, kok mau-maunya ngotot
menghuni kotak kelompok yang sempit dan sumpek. Toh, waktu dilahirkan semua bayi
kondisi dan kebutuhannya sama."

"Kayak gitu kan susah. Bisa dianggap keminter lagi," kata Dini.

"Kalau belum bisa, minimal kita nggak nambah-nambahin jumlah orang yang terjebak
dalam budaya seperti itu. Dan itu bisa dimulai dari diri kita sendiri, keluarga,
temen dan seterusnya yang masih dalam jangkauan kita."

"Lalu ?"

"Lalu ? .... aku capek. Mana sini jeruknya .. "

[Tasawuf] Jangan lupa syariat.......?

[Tasawuf] Jangan lupa syariat.......?
Diunduh dari: http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com/msg00763.html

Coba kalau di tasawuf Islam, ayat Qur`an dan Hadits dihilangkan, syariat tidak
dipakai,

Apakah ini baru merupakan hipotesis, atau sudah penilaian final yang tak
diubah lagi? Kalau masih hipotesis, kita masih bisa bersama-sama mengujinya,
tapi kalau sudah final, ya silakan saja meyakini kesimpulan anda. Saya tidak
melihatnya demikian.

Jangan masalah pencarian kitab suci donk yang dibandingkan, saya ngerti kok
rekan-rekan tasawuf di milis ini tidak sedang cari kitab suci ke barat. Dan
saya juga yakin kok disini tidak ada siluman Kerbau dan siluman Babi seperti
di film tersebut.

Tasawuf itu mencari 'kitab suci', mas! Kitab suci yang tidak bisa dibaca
dengan panca-indera.
Rasanya kok tokoh-tokoh siluman itu ada di antara kita. Saya sendiri memiliki
karakter buruk seperti kera itu: gemar berantem dan mau menang sendiri.

Saya berusaha mengingat:
"Tidaklah mereka beragama melainkan dengan persangkaan belaka"
"Kalau tidak engkau beri petunjuk niscaya aku termasuk ke dalam golongan yang
sesat"

apa itu petunjuk?
untuk apa?

Mungkin apa itu kitab suci itu sendiri kita belum memahaminya? kalau ada yang
memahaminya tolong dijelaskan.
dituliskan juga "beriman kepada kitab yang tewlah diturunkan sebelumnya"
mari kita renungkan apa itu kitab yang diturunkan sebelumnya?
apa makna beriman? apa hanya bisa dikatakan: kitab X bukan dari tuhan, kitab Y
sudah banyak dirubah orang. kalau memang iya bagaimana kita yakin dengan
pertanggungjawabanya. atau hanya mengikuti
itu kata si anu,
itu terdapat dalam kitab anu,
atau itu hanya persangkaan kita saja?
sesuatu yang sangat tepat untuk kita renungkan sambil berharap petunjuk-Nya!
Bagaimana itu yakin bahwa benar petunjuk-Nya? Jangan-jangan cuma persangkaan
kita belaka???


Nah, inilah yang saya maksud. Harus ilmiah !! Apakah kita dapat
meng-ilmiah-kan / me-logika-kan / me- metodologi-kan semua ajaran Alloh.
Bukankah ajaran Alloh itu bila kita tulis dengan seluruh air laut di bumi
ini sebagai tintanya masih kurang. Apakah mursyid dalam tasawuf itu sudah
terjamin bahwa pengetahuannya sudah melebihi atau sama dengan ajaran Alloh,
sehingga dapat meng-ilmiah-kan semua ajaran Alloh??

Sebagai contoh ekstrim ayat Alif lam mim, kan tidak ada yang tahu artinya
kecuali Alloh.

Dalam tasawuf, Allah diyakini tidak lebih jauh dari urat leher kita sendiri,
namun kita sendiri jauh dari-Nya. Kalau kita mendekat kepadanya, sebegitu
dekat hingga derajat tertentu, kita akan ditulari ilmunya: setitik di antara
lautan itu cukuplah sudah bagi kita.
Metodologi yang kita sebut-sebut itu mengacu pada bagaimana cara kita
mendekatkan diri hingga memperoleh setetes ilmu itu. Jadi bukan ilmu Allah
sendiri yang diilmiahkan, tetapi prosedurnya. Fakta ilmu apapun, termasuk ilmu
Allah, selama diperoleh melalui suatu metodologi yang jelas, ia disebut
ilmiah.

Kita memang berawal dari otak yang terdapat dikepala kita, itu bekal awal
semuanya dapat. apa terus berhenti di situ. merasa cukup?
kemana sih kitab itu diturunkan?
di otak?
logika?
ilmiah? apakah sudah yakin benar?
"tidakkah kamu memikirkannya?"
apakah selama ini kita sudah mikir? apakah benar cara kita mikir? atau hanya
ikut persangkaan belaka!!! sebenarnya dengan apa sih 'mikir' itu?
seyogyanya mari kita buka kitab lagi
kalau 'ilmu' itu menetes, kemana akan menetes?
apakah ilmu itu?
tidakkah selama ini kita mengebiri makan ilmu itu sendiri?
supaya p[as dengan akal kita?
"tanpa petunjuknya niscaya aku sesat"
sudahkah kita siapkan wadahnya, atau kita terlalu tinggi dengan logika kita
sehingga tidak ada ceruk untuk menampung tetesan ilmu!!
Siapa bilang Alif, laam, miim, tidak ada yang tahu artinya???
Benar, tidak ada yang tahu?
atau karena terlalu tinggi ilmiah kita sehingga tak ada tempat untuk menampung
tetesan ilmu!!!


Bukankah kita sebagai muslim diperintah supaya beriman. Apa
beriman itu, iman ialah percaya. Bagaimana kepercayaan itu, kepercayaan itu
dalam arti kita harus percaya TITIK, THAT`S ALL, FINISH. Tidak peduli ilmu
kita sudah mencapainya atau tidak, kita harus percaya. Memang dengan dapat
mengetahui asal-usul, sebab, arti, makna dan sebagainya itu dapat membuat
kita lebih khusuk. Nah, apakah keterangan-keterangan itu sudah sesuai dengan
apa yang dimaksud Alloh?? Bukankah lebih aman keterangan-keterangan itu
dicari dari Nabi Muhammad melalui hadits, dimana Nabi menerima keterangan
langsung dari Alloh melalui Malaikat Jibril.

Ya, lebih aman begitu bagi orang yang tidak menguasai metodologi tasawuf dan
tidak berminat menjalankannya. Tetapi Allah menciptakan manusia selalu
berpasangan: lelaki-perempuan, tampan-memble, tinggi-pendek, dermawan-pelit,
dll, termasuk yang anti dan pro tasawuf. Bayangkan kalau lelaki dan perempuan
itu selalu saling mengenyahkan dan merasa benar sendiri - bukankah runyam
dunia ini. Begitu pula yang anti dan pro tasawuf, biarlah berjalan
sendiri-sendiri menurut sunnatullah. Saling mengingatkan dengan cara yang haq;
itulah mungkin yang terbaik.

Dalam pandangan saya, tasawuf tidak akan merusak iman, tetapi justru akan
mempertebal iman. Iman itu adalah percaya meskipun tidak melihat. Nah, kalau
kita mula-mula meyakini melalui iman bahwa ada api yang panas, lalu kita
mendekat ke api itu dan merasakan bagaimana jari kita dijilat api - maka hal
ini sama sekali tidak merusak iman itu. Sebaliknya, pemahaman kita tentang api
menjadi semakin luas, tidak hanya sebatas apa yang diceritakan orang.
Demikianlah gambaran tasawuf. Neraka dan sorga bukan lagi gambaran dalam
angan-angan, tetapi benar-benar dirasakan.

SIAPA BILANG iman itu percaya!!! dan titik!!!! terus beres!!!
SIAPA YANG BILANG???
"katakanlah kamu belum beriman tetapi kami telah tunduk!, karena iman itu
belum masuk ke dalam dadamu"
apa itu iman?,
apa itu dada?,
bagaimana iman akan masuk?
tidak kah kita mau mencarinya?
mungkin kita perlu membersihkan dada kita, MEMBERSIHKAN, bukan ingin
membersihkan dada atau tahu tentang kebersihan dada atau membaca tentang
kebersihan dada ataungobrol tentang membersihkan dada atau menulis tentang
membersihkan dada atau merasa membersihkan dada apa saja sebatas sekali lagi
prasangka membersihkan dada tetapi bener-bener MEMBERSIHKAN dada? dengan
harapan kalau-kalau dada kita akan dijadikan-Nya seceruk wadah sehingga
bisalah kiranya tetesan ilmu itu bersemayam pada tempatnya.



Mungkin anda menjawab, Lho silsilah tasawuf langsung berhubungan dengan
Nabi. Jadi apa yang diajarkan sesuai dengan Nabi. Namun rekan-rekan disini
masih belum jawab tentang silsilah thareqot dimana ditengah-tengahnya
sanadnya terputus, dimana antara guru yang satu dengan muridnya, terpisah
kehidupannya. Terus dijawab tersambung melalui roh. Apakah ini ilmiah??

Tidak semua aliran tasawuf mengandalkan silsilah itu. Aliran saya sendiri
termasuk tidak bertali silsilah dengan Nabi. Kuncinya sebenarnya terletak pada
metodologi yang dipakai oleh tiap aliran. Apakah metode yang diterapkan telah
terbukti membuahkan hasil dengan baik tanpa efek samping.

APA SIH SILSILAH itu? kalau dalam ajaran memang tertulis demikian, apasih
makna yang sebenarnya? sekali lagi kawan, tidak cukup dengan logika.
"sesungguhnya kitab ini diturunkan ke dalam dada orang yang diberi ilmu"
sekali lagi apa sih maksud silsilah? apa nggak ada pengertian lain?

Lho saya khan bukan orang tasawuf, jadi saya tidak bisa donk nulis kajian
Tasawuf.

Saya pernah mengingatkan seorang rekan. Tasawuf itu ibarat jalan raya. Okelah
kalau anda berminat untuk ikut arus. Tapi kalau anda hanya berdiri di pinggir
jalan, nonton kelakuan orang lewat, nguping apa yang mereka bicarakan, ini
bisa berbahaya. Sebaiknya anda pulang ke rumah. Ikuti ajaran guru agama anda.
Ini lebih aman.

Siapa sih yang membikin organisasi tasawuf, sehingga bisa dikatakan saya bukan
tasawuf? atau saya ini orang tasawuf?
apasih tasawuf itu?
mari kita renungkan kembali apa sih tasawuf, apa sih ayariat itu?

Nah, anda sendiri yang jawab. CUKUP. Jadi syariat yang benar sudah
segalanya. Yang tidak cukup ialah yang belum mempelajari Qur`an dan Hadits
secara benar. Bila pelajari benar, muslim sudah tahu puasa bukan hanya tidak
makan minum, zakat harus iklas dan sebagainya Bagaimana iklas itu, nabi
menjawab dalam haditsnya, dll.
Cara sholat khusyu` di hadits juga ada..

syariat sudah cukup!!, cukup untuk apa? sudah puas? sudah paham betul?
nanti nyesal lho?
atau bisa kita mulai dengan mencari dalam kitab jawaban dari:
agama itu apa? bagaimana beragama?
islam itu apa? siapa yang islam? bagaimana ber-islam?
iman itu apa? siapa yang beriman? bagaimana beriman? untuk apaiman itu? apa
selanjutnya setelah iman?

Ya, benar. Masalahnya, kita perlu jujur: kita sudah bisa apa belum dalam
khusyu, ikhlas, ridha dll. sesudah sekian lama?

setelah itu mungkin kita tanyakan
apa itu ikhlas? siapa mereka? bagaimana mereka?
apalagi tentang ridha!

Ya Allah sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara ini,
ampunilah hamba dengan segala kebodohan hamba
janganlah Kau biarkan hamba mengajari dan mengatur diri hamba sendiri
bimbinglah hamba yaa Allah,
tetapi hamba pun tidak yakin apakah hamba siap Engkau bimbing.
Ampunilah hamba yaa Allah
tunjukilah hamba, karena tanpa petunjuk-Mu niscaya hamba masuk ke dalam kaum
yang sesat.
ampunilah hamba yaa Allah,
karena ini mungkin hanya rampokan hamba terhadap munajat kepada-Mu,
mungkin hanya ocehan hamba, hanya pikiran hamba, obsesi hamba, atau hanya
prasangka hamba semata,
tunjukilah hamba jalan kepada-Mu yaa Allah dan berilah hamba kemampuan untuk
mengikuti petunjuk-Mu.
amin

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jumat, 16 Juli 2010

Logika (1), Pengantar dan Materi Pembahasan

11 Januari 2009
Diunduh dari: http://www.belajar-filsafat.com/2009/01/logika-1.html

Selamat bertemu kembali dengan saya di tahun 2009 ini. Mohon maaf kalau sempat absen karena saya sakit dan juga sedang sibuk-sibuknya dengan urusan di kampus. ;-) Kali ini saya akan melanjutkan kembali blog Belajar Filsafat ini dengan posting baru. Selamat membaca!

*****

Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian filsafat, Logika menjadi cabang yang sebaiknya Anda pelajari pertama kali. Walaupun begitu, orang yang mempelajari Logika seringkali mengalami hambatan. Ini terutama dikarenakan mereka sudah punya pikiran yang kurang baik mengenai Logika. Ada yang mengatakan sukar, hanya main-main saja, ataupun tidak diperlukan karena merasa "saya sudah pandai".

Padahal, kalau dikatakan sulit, Logika itu kan dipikirkan dan dibuat oleh manusia. Kita yang sesama manusia ini harusnya bisa juga dong belajar Logika. Main-main? Iya juga sih. Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga Logika yang cukup, seorang Lewis Carroll (1832-1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in Wonderland (Alice di Negeri yang Indah). Begitupun dengan ungkapan "tidak perlu", ini harus dihilangkan baik-baik dari pikiran Anda. Sebab, kalau Anda memang benar-benar pandai, Anda tidak akan kuliah sampai S3 dong. (Hehe...)

Bukan apa-apa, mempelajari Logika sebenarnya akan memberikan manfaat yang besar kalau kita bisa memahaminya dengan baik. Salah satunya akan membuat kita tidak salah paham dalam menilai pendapat seseorang hingga harus terjadi pertengkaran. Perang sekalipun akan dapat kita hindari kalau kita mampu berpikir logis. Kecuali kita bersikap egois dan hanya berpikir "mau menang sendiri".

Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin ada pertanyaan seperti ini: Apa sih yang dikaji dalam Logika sampai kita harus mempelajarinya?

Ini adalah pertanyaan yang bagus dan cukup tepat untuk kita bahas. Pada cabang Logika, kita akan mempelajari tiga materi yang pokok, yaitu: (1) sejarah dan perkembangan pemikiran logika beserta aliran-alirannya, (2) persoalan istilah beserta pengolahannya, dan (3) persoalan pernyataan beserta pengolahannya. Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar dari tiga materi pokok yang telah disebutkan.

Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada orang yang mencibir. Mungkin begini komentarnya: "Materi yang begitu kok dibela-belain harus dipelajari. Itu kan pelajaran bahasa Indonesia. Dari SD pun dah saya pelajari. Kenapa harus dipelajari lagi? Buang-buang waktu aja. Kirain mempelajari apa."

Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang dipelajari Logika memang sudah diajarkan dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak mengajarkan pada kita untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun pernyataan dengan pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja memiliki beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang mendefinisikannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah "ya" dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, istilah "ya" dapat berarti:

(1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
(2) wahai; contoh: Ya tuanku!
(3) ... bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
(4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku?
(5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!

Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa alternatif yang cukup luas untuk pengertian istilah "ya". Walaupun demikian, saya dapat saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah "ya". Misalnya, dalam kalimat:

(6) "Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?"

Di dalam kalimat ini, istilah "ya" mengandung pengertian 'persetujuan yang bersyarat'. Artinya, istilah "ya" pada kalimat (6) berbeda pengertiannya dengan kalimat (1) yang saya kutipkan di atas karena persetujuannya tidak langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan "ya".

Memahami uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak bahwa apa yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah "ya" dari segi bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah "ya" yang mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk pengertian istilah "ya" dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah "ya" dalam bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif ('bukan')? Padahal, dalam bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah "yes" yang mengandung istilah negatif.

Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan muncul kalau kita tidak menggunakan Logika sebagai dasar penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita memahami suatu istilah dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan kalau kita dibiasakan untuk berpikir dengan beragam pandangan. Sehingga, pikiran kita tidak hanya tertuju pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa terjatuh pada pikiran yang sempit. Apa yang ditulis dalam sebuah kamus dalam pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan patokan dasar, walaupun dapat dijadikan acuan resmi untuk satu istilah.

Demikian, kita sudah melihat sedikit saja bagaimana Logika dipakai untuk memahami suatu istilah. Mungkin akan lebih baik lagi bagi kita dalam memahaminya bila kita juga lihat bagaimana Logika dipakai untuk menelaah pernyataan. Di posting yang berikut, insyaallah saya akan membahasnya lebih jauh. Jangan lupa komentar, kritik, dan sarannya. ;-)

Diposkan oleh 4im pada jam 15:19

Kategori Arsip: Cabang Filsafat, Logika

LOGIKA BENGKOK

Oleh: H. Umar Hapsoro Ishak
Diunduh dari: http://umarhapsoro.blogdetik.com/index.php/archives/57

Setahu saya, … logika dalam bahasa Yunani “Logike Episteme” (latin-Logica Scientia), adalah ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu yang dimaksud disini adalah mengacu pada potensi rasional manusia untuk mengetahui kecakapan yang mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan dalam tindakan.

Para pemikir setelah Aristoteles memasukkan logika sebagai cabang filsafat praktis. Alasannya, logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika digunakan untuk melakukan pembuktian.

Logika menunjukkan, … mana-mana bentuk inferensi yang berlaku, dan mana yang tidak. Secara tradisional, … logika dipelajari sebagai cabang filsafat, dan juga sebagai cabang matematika. Katanya, … prinsip-prinsip dasar matematika modern (kalkulus dan komputer) adalah simbol-simbol, himpunan, dan juga relasi yang dasarnya dibangun dari organon.

Logika sebagai ilmu yang bebas nilai, … ia lahir dan dibangun untuk membongkar mitos-mitos, dan meluruskan kesalahan bernalar (fikir) suatu masyarakat. Namun, … dalam perkembangannya belakangan ini, … seringkali digunakan untuk mencapai tujuan tertentu (tidak digunakan untuk menyingkap suatu kebenaran|) misalnya, … dalam suatu peristiwa atau kejadian yang tidak mengenakan (dirinya), atau gagalnya seseorang meraih suatu impian ataupun ambisi pribadi. Tehnik ini sering digunakan sebagai cara (jalan) untuk mengumbar kekecewaan atau menggoalkan suatu tujuan melalui ucapan (lisan) maupun tulisan-tulisan yang sarat dengan “Logika Bengkok” (menjungkirbalikkan fakta dan realita).

Sayangnya, … kaum awam (seperti saya ini) seringkali tidak sadar bahwa logika bengkok itu menyesatkan. Kesesatan logika seperti ini pada awalanya (dahulu) menjadi perhatian Aristoteles, yang kemudian merumuskan kajian logis-filosofis dalam karyanya yang dikenal dengan “Organon”.

Seperti misalnya, … kesalahan-kesalahan bernalar ala kaum sofis yang dikeritik Aristoteles yang tertuang dalam De Sophisticis Elenchis (Sophistic Refutations), yang kala itu menggunakan nalar untuk memanipulasi dengan mengatasnamakan rakyat, atau suatu perjuangan tertentu. Ambil contoh, … slogan-slogan atau tulisan-tulisan yang bertuliskan kata-kata “Menegakkan Keadilan” yang telah dimuati kepentingan pribadi atau golongan.

Sekilas, … dan bagi kaum awam, De Sophistics Elenchis memang tampak lurus dari segi akal budi. Namun, … jika dicermati, terdapat ketidak-sahihan, terutama kaitannya dengan tahapan dan cara-cara menarik simpulan atau konklusi. Bahwa sebuah simpulan baru, haruslah ditarik dari dua premis yang benar dan sahih, dengan syarat-syarat tertentu. Dan sebuah simpulan baru dianggap valid, manakala antara isi pernyataan dan cara mendapatkan simpulan itu urut dan benar secara rasio.

Teknik yang memang dipelajari dalam ilmu retorika klasik dan modern. Yang paling kerap digunakan ialah argumen yang menyerang pribadi tertentu, yang penting jatuh, argumen menjadi tidak penting. Ini namanya argumentum ad hominem.

Kesesatan nalar lain ialah argumentum ad populum, argumen yang mengatasnamakan rakyat. Seakan-akan demi, dan atas nama rakyat, sebuah perjuangan menegakan keadilan dibangun sedemikian rupa, padahal sesungguhnya kepentingan dirinyalah yang dikedepankan.

Yang juga menarik adalah, adanya seseorang menggunakan popularitas atau otoritas. Mereka mengumpulkan otoritas (bisa agama, popularitas ataupun otoritas), yang seakan-akan jika ia yang bicara atau membuat tulisan, maka dianggap benar. Jika ini dilakukan, kesesatan nalar yang terjadi adalah argumentum ad auctoritatem (argumen yang mengandalkan popularitas/agama atau otoritas). Yang keliru di sini ialah, apa yang dikatakannya dianggap benar mutlak, tanpa dikritisi lagi.

Ada pula yang menggunakan argumentum ad baculum, yakni menakut-nakuti. Formulasinya, “Jika ingin bangsa dan negara ini tidak hancur, dukunglah perjuangan saya!”

Jadi, apa yang menjadi jaminan kebenaran mutlak ?, … jika argumen yang dibangun menggunakan otoritas (argumentum ad auctoritatem)? Semua itu mitos dan kebenaran semu alias logika bengkok yang masih perlu diperiksa kebenarannya melalui jalan logika.

Gimana caranya, … ?

Yang gampang-gampang dulu aja ya ….

Perhatikan dan jangan pakai emosi membaca tulisan-tulisan yang biasanya menyerang seseorang atau kelompok tertentu, dan baca komen-komen yang masuk perlahan-lahan, … cari second opinion via keyword-nya mas Google … dst

Ok, selamat mencoba.

Salam,

H. Umar Hapsoro Ishak

TEORI LOGIKA

Sumber:http://dana160.student.umm.ac.id/2010/02/06/teori-logika/
02.06. 2010Dunduh: 17 Juli 2010

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur[1].

Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Logika sebagai ilmu pengetahuan

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Logika sebagai cabang filsafat

Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.

Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran
Dasar-dasar Logika

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari logika formal.

Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang disebut logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.

Contoh argumen deduktif:

1. Setiap mamalia punya sebuah jantung
2. Semua kuda adalah mamalia
3. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Penalaran induktif—kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Contoh argumen induktif:

1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5. …
6. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif Induktif
Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar, tapi tak pasti benar.
Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis. Kesimpulan memuat informasi yang tak ada, bahkan secara implisit, dalam premis.
Sejarah Logika
Masa Yunani Kuno

Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.

Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.

Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.

Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

* Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
* Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
* Air jugalah uap
* Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.

Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:

1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan
3. Analytica Posteriora tentang pembuktian.
4. Analytica Priora tentang Silogisme.
5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Pada 370 SM – 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika.

Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM – 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M – 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.

Porohyus (232 – 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles.

Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya.

Johanes Damascenus (674 – 749) menerbitkan Fons Scienteae.
Abad pertengahan dan logika modern [2]

Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.

Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.

Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:

* Petrus Hispanus (1210 – 1278)
* Roger Bacon (1214-1292)
* Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
* William Ocham (1295 – 1349)

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 – 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding

Francis Bacon (1561 – 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum.

J.S. Mills (1806 – 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic

Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:

* Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
* George Boole (1815-1864)
* John Venn (1834-1923)
* Gottlob Frege (1848 – 1925)

Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce’s Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs)

Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 – 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 – 1970).

Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Logika sebagai matematika murni

Logika masuk kedalam kategori matematika murni karena matematika adalah logika yang tersistematisasi. Matematika adalah pendekatan logika kepada metode ilmu ukur yang menggunakan tanda-tanda atau simbol-simbol matematik (logika simbolik). Logika tersistematisasi dikenalkan oleh dua orang dokter medis, Galenus (130-201 M) dan Sextus Empiricus (sekitar 200 M) yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.

Puncak logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 – 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 – 1970).
Kegunaan logika

1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
2. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
4. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
5. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta kesesatan.
6. Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
7. Terhindar dari klenik , gugon-tuhon ( bahasa Jawa )
8. Apabila sudah mampu berpikir rasional,kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.

Macam-macam logika
Logika alamiah

Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
Logika ilmiah

Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.

Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.