Selasa, 06 Juli 2010

Artikel SOROTAN HUKUM di Koran Sinar Harapan

Sinar Harapan, Selasa, 02 Pebruari 2010 12:25

OLEH: WAGIMAN, S.FIL, SH, MH

Pada sebuah riset hukum, mengukur “efektivitas” sebuah undang-undang masuk dalam ranah sosio-legal research.

Namun, banyak keberatan peneliti hukum yang menilainya tak terkategori sebagai penelitian hukum. Alasannya, tidak karena objeknya sama (yaitu hukum) lantas serta-merta itu masuk dalam penelitian hukum. Mereka melihat “efektivitas” perunda­ngan hanyalah menempatkan hukum pada sebuah singgasana “gejala sosial” semata. Lebih eksplisitnya lagi menempatkan hukum dari “segi luarnya” saja (Peter:2005). Mengukur efektivitas sebuah undang-undang ada dalam wilayah perilaku individu atau masyarakat dalam “relasinya” dengan hukum. Model yang demikian menempatkan “hukum” sebagai subordinat dari faktor-faktor nonhukum sebagai ordinatnya.




Atas pijakan konsep demikian, teman-teman yang bergelut dalam format penelitian sosio-legal selalu mentesiskan sebuah dugaan sementara atau hipotesis seperti “Undang-Undang No 22/1999 efektif dalam menekan tingkat kecelakaan lalu lintas”. Untuk menguji dugaan sementara maka diperlukan data. Misalnya data kecelakaan dari Ditlantas Mabes Polri. Pengujiannya apabila terjadi angka penurunan tingkat kecelakaan dari sebelum adanya perubahan UU dan dengan sesudahnya untuk dikategorikan efektif. Data kecelakaan yang masih relatif tinggi sebagaimana disebut Indra Sentanun, yakni 51.726 kasus (2008) dan 57.726 (2009).


Apabila pada tahun-tahun berikutnya masih relatif sama atau (tidak terjadi penurunan secara signifikan) setelah lahirnya Undang-Undang No 22/1999, lantas apakah Undang-Undang No 22/2009 dapat dikatakan tidak efektif?


Pada penelitian hukum normatif, sorotan kajian fokus pada tataran atau singgasana “hukum sebagai sistem nilai atau norma sosial”. Pada ranah yang demikian yang dicari bukan efektif tidaknya suatu peraturan perundang-undangan. Namun yang ingin dijawab bersifat preskriptif, yakni apa yang seharusnya ada dalam UU No .22/2009. Dengan demikian, hadirnya Pasal 272 dalam UU tersebut misalnya, yang mengatur kewajiban bagi penyelenggara jalan terhadap perbaikan jalan yang rusak yang dapat meng­akibatkan kecelakaan dapat dipidana seyogianya disinkronkan dengan UU terkait.


Akibatnya, bisa dipahami ketika Wakil Menteri Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak layak dijerat sanksi pidana dengan merujuk pada RUU Pajak Kendaraan Bermotor yang hanya mengalokasikan 10 persen penerimaan pajak untuk jalan. Penilaiannya ada pada hakikat UU No 22/2009 yang memenuhi biaya pemeliharaan jalan.


Catatan lain dari analisis yuridis normatif atas UU itu terkait dengan Pasal 106 Ayat (1), yang mewajibkan pengendara menjalankan kendaraan dengan wajar dan penuh konsentrasi. Pada penjelasannya disebutkan mengemudikan kendaraan tidak dalam keadaan sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton TV/ video yang terpasang di kendaraan atau meminum minuman beralkohol atau menggunakan obat-obatan. Bukankah hal-hal tersebut sebagian sudah diatur dalam Pasal 492 KUHP?


Pola perumusan norma menjadi salah satu yang dicermati dalam penelitian yuridis normatif. Selayaknya, hal-hal yang sifatnya samar di­sarankan untuk diatur saja sebagai delik materiil. Dengan demikian, seseorang yang menggunakan telepon genggam dalam berkendara, baru dipidana jika telah terjadi akibat dari perbuatannya.

Penulis adalah peneliti pada Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI).
Tanggapan atas tulisan Arik Indra Sentanun berjudul “Efektifkah UU No 22/ 2009?” pada Selasa (26/1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar