Kamis, 08 Juli 2010

LOGIKA FUZZY

Logika Fuzzy: Membongkar Prinsip ‘Tidak Ada Jalan Tengah’





Disampaikan Pada Penyelenggaraan Seminar
Hubungan Sejarah dan Kebudayaan Indonesia-Iran.


Oleh: Wagiman


Topik: Filsafat













Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI)
2010
Logika Fuzzy: Membongkar Prinsip ‘Tidak Ada Jalan Tengah’
Oleh: Wagiman

Abstrak

Filsafat berjantung pada logika. Logika ditempatkan atau didudukan sebagai instrumen/ alat. Diantara cabang-cabang filsafat lainnya, logika menempati posisi sebagai pisau analisa. Artikel ini hendak membahas pergeseran dari logika tradisional ke logika modern berikut implikasi-implikasi yang mengikutinya sebagai konsekuensinya. Secara garis besar logika terbagi dalam dua pembabakan besar yaitu logika tradisional dan logika modern.
Pada logika tradisional terdapat tiga prinsip berpikir. Pertama, ‘prinsip indentitatis’. Prinsip tersebut berbunyi ‘sesuatu itu adalah sesuatu itu’ atau ‘sesuatu itu adalah dirinya sendiri’ atau ‘A = A’. ‘A’ adalah merupakan variabel yang dapat diisi oleh sembarang konstanta. Kedua, ‘prinsip non kontradiksi’ berbunyi ‘sesuatu itu adalah sesuatu itu (berarti aksioma pertama atau prinsip identitatis), dan tidak akan pernah sama dengan selain sesuatu (‘A = Non A’). Ketiga, prinsip ‘Tidak Ada Jalan Tengah atau Kemungkinan Ketiga. Prinsip ketiga bunyi hukumnya adalah ‘sesuatu itu adalah sesuatu itu’ (berarti aksioma pertama atau prinsip identitatis), serta tidak akan pernah sama dengan selain sesuatu (berarti prinsip non kontradiksi, dan tidak ada jalan tengah atau kemungkinan ketiga’. Prinsip ketiga ini tidak memberikan pilihan selain hitam atau putih. Artinya tidak ada tempat bagi campuran keduanya.
Logikawan asal Iran, Lorfi A. Zadeh mendombrak pemikiran konvensional tersebut. Ia berhasil pengembangkan ‘logika samar’ (fuzzy logic). Fondasi dari digagasnya logika ini didasarkan pada adanya pemikiran bahwa sistem analisis logika tradisionil terlalu eksak serta sulit untuk berkontribusi pada dunia riil yang kadang lebih kaya. Dengan logika model ini bangunan tiga aksioma atau prinsip-prinsip logis yang digagas dan diajarkan bertahun-tahun menemui keruntuhan sekaligus kebutuannya. Iran, sebagai tempat dimana Zadeh dilahirkan dan dibesarkan diakui sebagai oase bersemainya filsuf-filsuf tersohor. Negara ini juga menjadi penerus dinamika pemikiran-pemikiran filsafat dalam dunia Islam.

Kata Kunci: Logika, Logika Fuzzy, Prinsip/ aksioma logis, Identitatis, Non-kontradiksi, tidak ada jalan tengah/ kemungkinan ketiga.

Logika Fuzzy: Membongkar Prinsip ‘Tidak Ada Jalan Tengah’

Nilai kebenaran bukan bersifat ‘tegas’, 0 dan 1 saja.
Tetapi dapat berada diantaranya (Lorfi A. Zadeh).

A. Pendahuluan
Filsafat merupakan bidang pengetahuan rasional hadir lebih awal, jauh sebelum ilmu-ilmu empirik berkembang. Filsafat bersendikan pada metafisika dan logika. Diantara cabang-cabang filsafat lainnya, logika lebih menempati posisi sebagai pisau analisa. Ketika menyebut logika sebagai alat analisa, hal ini tidak terlepas dari buah pikir/ karya untuk kumpulan tulisan Aristoteles yang diberi titel organon yang berarti alat atau instrumen. Dikatakan alat karena untuk sampai pada validitas pengetahuan harus melalui suatu jalan atau proses tahapan-tahapan yang ada dalam logika. Hal demikian harus dilakukan apabila ingin terdapat suatu jaminan dari rambu-rambu ilmiah yang selama ini selalu dipertahankan oleh ilmuwan. Sikap ilmiah hanya mungkin dibangun apabila proses pembentuknya tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah. Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam logika.
Logika menurut Aristoteles adalah ilmu untuk membuat penyimpulan yang tepat. Menurutnya logika merupakan batu fondasi yang penting bagi semua jenis pengetahuan. Filsafat sendiri merupakan suatu disiplin intelektual berupa usaha manusia yang terimplementasi dalam wujud kebudayaan. Yang direfleksikan merupakan segala sesuatu yang ada (realitas). Realitas pada awalnya dilihat oleh manusia sebagai sesuatu yang khaos. Pada tataran perkembangannya secara perlahan mengalami pergeseran dari sesuatu yang kacau (khaos) menuju ke kosmos. Proses pergeseran dan tahapan-tahapan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran logika. Untuk hal terakhir ini kadang filsafat diidentikan dengan logika.
Secara garis besar studi logika terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu logika formal dan logika informal. Logika formal berbentuk ketentuan-ketentuan abstrak dan teori penalaran logis yang di kemudian hari para logici mengembangkan logika. Logika formal diperlukan untuk memahami prinsip-prinsip fundamental ketika mempraktekan logika informal. Logika formal dibagi dua kajian yaitu deduktif dan induktif. Dua hal penting pada penalaran deduktif yaitu logika tradisional (sering disebut dengan logika silogistik kategoris) dan logika simbolik (sering disebut pula dengan logika proposional). Fondasi logika tradisional dipresentasikan pada silogisme, sedangkan logika simbolik disajikan dalam format yang lebih sederhana dan dipresentasikan sebagai logika matematis. Logika simbolik dikemudian hari berkembang menjadi cabang kajian yang begitu pesat.
Pasca Aristoteles ada sebuah kesadaran bahwa logika bukan ilmu yang mandul. Logika terus berkembang seiring kebutuhan manusia. Dengan demikian logika tidak berhenti sampai dengan logika tradisionil yang digagas dan dikembangkan oleh Aristoteles semata. Ia berkembang seiring dengan gagasan-gagasan yang dikerjakan oleh Leibniz. Pemikiran Leibniz berawal dari tradisi Filsafat Stoa yang kemudian memunculkan genre baru yang kemudian lebih dikenal sebagai cikal bakal lahirnya logika modern. Untuk yang terakhir ini lazim disebut dengan logika simbolik. Terdapat pula istilah ‘logistik’. Istilah terakhir ini sering pula disebut logika matematik atau logika simbolik. Logika ini lebih formal sifatnya daripada logika Aristoteles. Perbedaannya dengan logika klasik pada proses membuat konklusinya yang didasarkan atas premis yang terbatas dan tertentu. Premisnya itupun sendiri sudah melepaskan diri dari kenyataan. Model logika seperti ini kadang tidak secara sepintas tidak dipahami, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.
Salah satu pembaharu logika dipelopori oleh Lorfi A. Zadeh. Ia lahir dan besar di Iran. Iran dikenal tidak hanya memiliki tanah subur, tetapi juga negara yang subut bagi berkembangnya pemikiran filsafati. Filsafat di Iran mampu hidup, tumbuh dan bertahan sampai sekarang. Dalam perspektif sejarah Iran dikenal sebagai wilayah tempat filsuf- filsuf lahir. Salah satunya adalah Zadeh.

B. Logika Tradisional dan Prima Prinsipia
Logika merupakan alat sekaligus metode yang dikreasikan guna menginpeksi ketepatan penalaran. Disamping ia dapat mengkaji asas penalaran yang benar sehingga dapat ditarik kesimpulan yang valid. Pada logika tradisional dikenal prima prinsipia yang mencakup tiga prinsip. Ketiga prinsip tersebut dikembangkan oleh Aristoteles. Menyebut logika tradisional identik dengan logika yang dikembangkan Aristoteles. Pada logika Aristoteles khususnya pada aksioma ketiga tentang ‘Prinsip Tidak Ada Jalan Tengah atau Kemungkinan Ketiga/ The Law of of Excluded Middle’. Aksioma ketiga ini tidak dapat dilepaskan dari dua aksioma sebelumnya. Dua aksioma tersebut yaitu, ‘Prinsip identitatis/ Law of Identity’ dan ‘Prinsip non kontradiksi/ The Law of Contradiction’.
Pertanyaan penting dari prinsip di atas, apa maksudnya penyataan tersebut?. Untuk mendapatkan penjelasannya cara yang paling mudah dengan membuat deskripsi berikut ini, kalau ‘Hari ini hujan adalah Hari ini hujan’, berdasarkan prinsip identitatis. Maka berdasarkan prinsip non kontradiksi akan menjadi, ‘Hari ini hujan, dan sampai kapanpun tidak akan pernah sama dengan hari ini tidak hujan’. Katakanlah adalah “Benar (B)” Hari ini hujan, maka pastilah ‘Tidak benar atau Salah (S), orang yang mengatakan Hari ini tidak hujan.
Aksioma ketiga yaitu ‘Prinsip Tidak Ada Jalan Tengah atau Kemungkinan Ketiga/ The Law of of Excluded Middle’. Bunyi hukumnya, A thing must either be or not be (A is either B or not-B) atau A is either B or not-B atau Any statement is either true or false (this means that there can be no third or middle judgment as ‘A is B and not-B’. Aksioma ketiga bunyi hukumnya adalah ‘sesuatu itu adalah sesuatu itu’ (berarti aksioma pertama atau prinsip identitatis), serta tidak akan pernah sama dengan selain sesuatu (berarti prinsip non kontradiksi, dan tidak ada jalan tengah atau kemungkinan ketiga’. ‘A /= Non A’. ‘A’ adalah merupakan variabel yang bisa diisi oleh sembarang konstanta. Non A adalah merupakan konstanta selain ‘A’ atau berada dalam cakupan ‘B’ sampai dengan ‘Z’. Jalan tengah adalah antara ‘A’ dan ‘B’ yaitu ‘Setengah A dan setengah B’ atau kemungkinan ketiga. Apa yang dimaksud dengan kemungkinan ketiga? Jika kemungkinan pertama adalah ‘hari ini hujan’ benar, maka pernyataan ‘hari ini tidak hujan’ pasti salah. Tidak ada kemungkinan ketiga (artinya kemungkinan yang lain, pastilah hanya dua kemungkinan, yaitu ‘hujan’ atau ‘tidak hujan’.
Turunan dari prinsip ketiga tersebut misalnya dapat berbunyi ‘Aku adalah Aku’ atau ‘Aku adalah diriku sendiri dan sampai kapanpun tidak akan pernah sama dengan selain (non) Aku dan tidak ada jalan tengah (setengah aku dan setengah orang lain’. Pertanyaan penting dari prinsip di atas, apa maksudnya penyataan tersebut? Untuk mendapatkan penjelasannya cara yang paling mudah dengan membuat suatu deskripsi berikut ini, kalau ‘Hari ini hujan adalah Hari ini hujan’ berdasarkan aksioma identitatis. Maka berdasarkan aksioma non kontradiksi akan menjadi “Hari ini hujan, dan sampai kapanpun tidak akan pernah sama dengan Hari ini tidak hujan”. Katakanlah adalah ‘Benar (B)’ Hari ini hujan, maka pastilah ‘Salah (S)’ orang yang mengatakan hari ini tidak hujan. Berdasarkan prinsip ketiga harus ditambah lagi tidak ada kemungkinan ketiga (setengah hujan dan setengah tidak hujan). Sekalipun gerimis kecil maka kita tetap harus menyebutnya sebagai hujan. Sekalipun mendung dan sangat gelap sebelum menjatuhkan titk-titik air tetaplah kita akan mengatakan tidak hujan.

C. Kontribusi Lorfi A. Zadeh pada Logika Tradisional
Logika fuzzy sering disebut juga ‘logika kabur’ atau ‘logika samar’. Oleh beberapa pihak diklaim sebagai logika basi yang terlahir kembali. Mengapa? Ia hadir dan eksis sesungguhnya sejak seseorang sadar. Formulasi keilmuan dari logika fuzzy yang bersifat ilmiah baru dirintis oleh Lorfi A. Zadeh mulai tahun 1965. Konsep dari logika ini dapat dirujuk berdasarkan tata tingkah dan aktivitas individu. Menurutnya perilaku manusia dalam aktivitas kehidupannnya seperti, memberi hadiah kepada orang/ pihak lain dengan harapan orang tersebut akan memberi manfaat kepadanya kelak. Seseorang akan marah kepada orang lain yang dipandangnya akan merugikannya. Dua hal tersebut di atas tidak bisa menjawab/ diukur dengan pasti, tapi itulah konsep logika fuzzy.
Pada logika tradisional proposisi senantiasa diekspresikan dalam format binary benar atau tidak benar (salah), dan tidak member tempat pada pilihan ketiga atau jalan tengah antara keduanya. Pada logika fuzzy memungkinkan memberi nilai diantara benar dan salah. Dengan demikian pilihan menjadi tidak hanya hitam atau putih tetapi juga ada tempat bagi abu-abu. Hal tersebut berhubungan dengan set fuzzy yang digagaskan Lotfi Zadeh. Contoh yang sering dipakai oleh mereka yang ingin menjelaskan yang abu-abu itu ada di antara hitam dan putih dengan menggunakan variabel umur manusia menjadi tiga kategori yaitu muda (kurang dari 35 tahun), paruhbaya (di atas 35 sampai 55 tahun), dan tua (di atas 55 tahun). Mereka berusia 40 tahun dikategorikan kategori muda (dengan nilai fuzzy sebesar 0.25). Pada saat yang sama orang tersebut dapat dikategorikan paruhbaya (dengan nilai fuzzy sebesar 0.5).
Logikawan Iran Lorfi A. Zadeh terkenal dengan pengembangan ‘logika samar’ (fuzzy logic). Ia mengungkapkan secara terbuka bahwa sistem analisis matematik tradisional terlalu eksak dan sulit untuk berperan banyak dalam masalah dunia nyata yang seringkali lebih kompleks.
Logika fuzzy merupakan ilmu yang mempelajari tingkat kebenaran suatu objek dalam suatu himpunan semesta pembicaraan. Ia memiliki batas jelas serta memiliki derajat keanggotaan yang berjenjang yakni pada nilai nol sampai satu. Langkah-langkah penerapan logika fuzzy yaitu fusifikasi, evaluasi kaidah, dan defusifikasi. Sistem pengendalian fuzzy yang dirancang mempunyai dua masukan dan satu keluaran dengan menggunakan kaidah jika-maka dengan operator ‘dan’ pada kedua masukan. Penerapan logika fuzzy selalu identik dengan pengendalian fuzzy. Penerapan keduanya masuk dalam klasifikasi fuzzy. Istilah fuzzy sendiri bermakna ‘kabur’ dan identik dengan teori himpunan fuzzy, topologi fuzzy dalam logika keputusan.



















Daftar Pustaka
Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Martien Sommer, 1982, Logika, Alumni, Bandung.

Wagiman, Pengantar Studi Logika: Mempelajari, Memahami, dan Mempraktekannya, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.

Darmadi, Hubungan Ilmu dan Filsafat, artikel dimuat pada Jurnal Hukum Pro Justitia FH Unpar, No.3, Tahun ke-VII.

C.A. Peursen, 1984, Orientasi di Alam Filsafat, Diterjemahkan Dick Hartoko, Gramedia, Jakarta.

www.lawandlogic/oxfordjurnal.

Logika Fuzzy:Teknologi Berbasis Perasaan, http://mitsuke.multiply.com/journal/item/8.

1 komentar: