Senin, 26 Juli 2010

Ketika Internet dan Media Berebut Merobek Privasi

Sumber:http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&hs=rpG&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&q=RUU+Permen+Konten+informasi&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=
(en) 17 Juni 2010 - 20:57 WIB

Hervin Saputra

Ariel, Luna, Cut Tari dibidik tuduhan amoral. Masalah privasi atau susila?

Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak dipercaya. Sekali lempar ke internet, seumur hidup privasi menjadi rawan. Perumpaan ini agaknya tepat bagi Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Sejak video hubungan seksual yang diduga diperankan Ariel - Luna Maya dan Ariel - Cut Tari muncul di internet pekan lalu, tiga selebritas itu menjadi “makanan empuk” media massa.

Belum habis masalah pokok, Ariel dituduh merusak kamera kontributor salah satu stasiun televisi swasta, saat menjalani pemeriksaan di Markas Besar Polri, 12 Juni lalu. Ariel mengatakan perusakan terjadi sebagai pertahanan diri karena wartawan mengerubunginya secara berlebihan.

Namun, dari sekian banyak hujatan, masalah moral dan susila menjadi bahasan utama. Tak pelak, seluruh peluru kini diarahkan ke Ariel, Luna, dan Cut Tari. Dalam video yang dianggap melanggar kesusilaan itu, ketiganya dituduh sebagai pelaku yang mesti meminta maaf kepada publik atas perbuatan mereka.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat meminta Ariel, Luna, dan Cut Tari mengakui perbuatan hubungan seksual yang dituduhkan kepada mereka. Alasannya, hampir seluruh ahli informasi dan teknologi menyatakan video tersebut asli.

"Ketiga artis itu mestinya bersikap gentle dan kooperatif menyelesaikan kasusnya yang kini ditangani Kepolisian. Banyak masalah yang harus diselesaikan. Selama ini mereka cuma omong. Coba buktikan kalau tidak bersalah," kata Tifatul.

Tifatul juga menganggap video itu melecehkan harkat martabat bangsa Indonesia. Ujung-ujungnya, Tifatul mengharap rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat peraturan menteri yang membatasi akses pornografi di internet. “Saat ini video-video porno itu sudah dicetak dalam bentuk VCD dan dijual bebas di pasaran,” ujar Tifatul di kantornya, Kamis (17/6).

Dari segi hukum, Ariel, Luna, dan Cut Tari juga kena bidikan pasal. Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Zainuri Lubis mengatakan, ketiga artis itu dapat dikenai pidana penjara 12 tahun. Menurut dia, mereka dijerat karena dianggap turut membuat video itu dan membiarkannya terpublikasi.

“Dia kena karena lalainya. Seorang dewasa harus sadar kalau perbuatannya diketahui publik bisa menjadi asusila. Dikenakan pasal UU Pornografi dengan ancaman 12 tahun dan UU ITE yang diancam 6 tahun,” kata Zainuri di Mabes Polri, Jumat pekan lalu.

Namun, mengapa pemberitaan mengenai pihak yang mengedarkan video itu tidak santer terdengar? Bukankah penyebar itu pelaku yang membawa video itu sampai ke publik? Andaikan si penyebar video itu bukan Ariel, Luna, atau Cut Tari, bukankah sebenarnya hak mereka atas privasi terlanggar karena ada yang sengaja menyiarkannya ke publik?

Pertanyaan seputar privasi itu kini bertempur melawan narasi moralitas yang menjadi gelombang utama dalam wacana masyarakat. Pendapat masyarakat pun terbelah.

Publik Figur
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Joseph “Stanley” Adi Prasetyo, menganggap negara tidak melanggar HAM mempidana Ariel, Luna, dan Cut Tari, atas video itu. Menurut dia, predikat publik figur yang melekat pada Ariel, Luna, dan Cut tari, menyebabkan video itu bukan pronografi biasa. Unsur publik figur akan mengundang masyarakat untuk mencari tahu isi video itu.

“Karena dia figur, dia dikenal. Benda itu bukan mewakili pornografi secara netral. Negara tidak melanggar HAM (mempidanakan Ariel Cs). Itu wilayah pidana,” kata Stanley.

Stanley beralasan, kebebasan HAM seseorang memang harus dijaga. Namun, dapat dibatasi jika mengganggu moralitas bangsa, ketertiban umum, kesatuan bangsa, dan esensi hak orang lain. Dalam kasus video Ariel, Luna, Cut Tari, dia menganggap mengganggu moralitas bangsa.

Memang, kata Stanley, para artis itu menjadi korban jika dilihat dari peredarannya. Namun, penyebaran itu tak mungkin terjadi jika video itu tidak ada. Jika kemungkinannya dicuri, dia menyalahkan Ariel, Luna, dan Cut Tari, karena tidak bisa menjaganya agar tidak sampai ke publik. “Dia dituduh bisa ikut serta melakukan kejahatan. Karena dia tidak bisa menjaga dan bertanggung jawab.”

Berbeda dari Stanley, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Patra M Zen, mengatakan Ariel, Luna, dan Cut Tari belum tentu bisa dipidanakan. Menurut dia, harus jelas pasal apa yang akan disangkakan kepada mereka. “Tidak relevan, perdebatan apakah bisa dipidana. Sidik dulu, pasal apa yang mau dicantumkan?”

Patra berpendapat, polisi seharusnya menyidik siapa yang menyebarkan dan apa motifnya. Kasus ini tidak bisa dilarikan ke pasal-pasal urusan pronografi dan kesusilaan. Sebab, kasus susila dan pornografi merupakan delik aduan. Pornografi menjadi kasus setelah ada yang melakukan pengaduan. “Karena ini susila, dasar teorinya delik aduan,” ujarnya.

Pengamat media, Veven Sp Wardhana, menganggap Ariel, Luna, dan Cut Tari sebagai saksi korban. Jika ada yang perlu disalahkan dalam kasus ini, Veven mengarahkan telunjuk pada media massa, terutama infotainment. “Infotainment yang eksploitatif,” katanya.

Sejauh ini, kata Veven, pemberitaan media dalam kasus Ariel, Luna, dan Cut Tari, hanya berkutat soal moral. Media massa sebagai penyebar video itu tidak dilihat sebagai agen yang turut memperluas peredarannya. Menurut dia, dalih informasi yang “ekslusif” hanya untuk bombasme dan komersialitas.

“Ekslusif itu menyangkut harkat dan martabat orang banyak. Apa yang menyangkut hajat orang banyak? Nggak ada? Mereka hanya melakukan hubungan intim. Dia tidak mempengaruhi kebijakan atau membuat banyak orang mendengar lagu Peterpan?” kata Veven

Sejalan dengan pandangan Veven, Ketua Bidang Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, Ezki Suyanto, menganggap pemberitaan video Ariel, Luna, Cut Tari membunuh karakter artis tersebut. “Ya, termasuk pelanggaran privasi. Yang jelas mereka punya hak untuk menjawab berita seputar mereka atau tidak. Ini bisa jadi character assassination,” ujar Ezki di kantor KPI, Rabu (9/6).

Privasi Rentan di Internet
Peneliti senior Information and Communication Technology Indonesia, Dony BU, berkisah tentang seorang mahasiswinya di Universitas Bina Nusantara.

Suatu hari si mahasiswi kaget karena teleponnya sering berdering. Sebagian besar penelepon menanyakan tarif untuk melakukan hubungan seksual. Si mahasiswi sempat bingung dan menangis. Setelah ditelusuri, akhirnya ditemukan sebuah blog dibuat oleh orang lain lengkap dengan foto, nomor telepon, dan data mahasiswi itu. Dalam blog itu si mahasiswi tampak menjual diri dengan mencantumkan tarifnya.

“Dia ini anak baik-baik, tetapi dia dilecehkan secara on-line. Dia ditelepon 24 jam untuk di-booking,” kata Dony.

Dony menuturkan kisah itu untuk menunjukkan betapa sulit menjaga privasi di internet. Informasi yang dianggap umum seperti foto, nomor telepon, dan alamat, yang dipublikasikan di jejaring sosial seperti Facebook bisa dicomot begitu saja oleh orang lain dan dapat merugikan pemilik data. “Jadi, data-data yang kita anggap lumrah itu bisa memukul balik kita,” ujarnya.

Dalam kasus video Ariel, Luna, dan Cut Tari, Dony menganggap internet sebagai biang yang menyebabkannya menjadi luas. Kemampuan teknis internet yang mereplikasi secara otomatis setiap data yang masuk, membuat video itu bisa menyusup ke setiap rumah.

“Apa pun bisa dimasukkan di internet. Ini secara otomatis sudah melanggar privasi yang bersangkutan. Kontennya sendiri sudah dianggap melanggar privasi. Ketika kontennya ditaruh di medium yang tepat, internet, sudah kayak jamur di musim hujan.”

Menurut Dony, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya paham cara memperlakukan privasi di internet. Selain karena penggunaan bahasa Inggris yang minim, program sosialiasi penggunaan internet secara sehat juga jarang di lakukan di Indonesia. “Di beberapa negara, mereka punya program dan kegiatan yang untuk meningkatkan awareness. Internet dikenalkan sejak dini. Di Singapura ada cyberwise.” (E4)

Laporan: Hervin Saputra / Ema Arifah
Foto: 1. Ilustrasi Bambang Prasethyo 2&3. Kurniawan Tri Yunanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar