Senin, 19 Juli 2010

Ilmu Hikmah

Sumber:http://ideastudies.com/article/ilmu-hikmah/
Tags: dpr, hikmah, kehidupan, nabi khidzir, refleksi, sosial
0diggsdigg

Oleh Wahyu Agung

Sejak lulus kuliah, lama saya—yang bertahun-tahun ikut membesarkan dan mengurus tetek bengek urusan keredaksian—tidak menulis untuk majalah kampus IDEA. Dari mulai menulis, editing, lay out bahkan sampai ikut mengurus percetakan dan distribusi majalah. Semua itu pernah saya jalani hanya bersama dua orang sahabat, Anis Mahmudah dan Sarmin. Maklum dulu kader sangat sedikit. Untung, Dekan dan Pembantu Dekan III waktu itu—Bapak Riddin Sofwan dan bapak Zainul Arifin—sangat giat mendukung dan terus menagih produk terbitan. Sungguh sebuah pengalaman menarik yang terus melekat di benak saya.
Saat hendak menulis kolom ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia punya hajat besar. Pansus dibentuk untuk mengusut Kasus Bailout Bank Century. Kasus ini sangat menarik dan menantang perhatian banyak orang di Republik ini. Semua media massa, baik cetak, audio maupun visual berlomba-lomba memberitakan. Banyak orang tak mau ketinggalan berita, berbondong-bondong duduk dengan hikmat mengikuti jalan cerita. Mahasiswa dari penjuru negeri dengan semangat menggelar demo, mendukung pengusutan kasus ini. Banyak ahli menganalisis, baik dalam wawancara televisi atau pun artikel koran. Saya merasa tidak mempunyai cukup keahlian untuk mengomentari kasus yang menurut banyak orang berkaitan dengan wakil pemimpin negeri ini.
Saya merasa sreg untuk melakukan refleksi atas gempa bumi di Chili. Yang menewaskan banyak penduduk tak berdaya. Sebelumnya, di negeri kita gempa juga melanda di Aceh, Yogyakarta dan Padang. Gempa adalah fenomena alam, yang menunjukkan tidak berdayanya manusia menghadapi gelombang dahsyat kematian. Gempa menyerang setiap orang, tidak memandang umur, status sosial, kekayaan atau kuasa. Gempa menunjukkan bahwa manusia bukan apa-apa, tidak berdaya dibandingkan kekuasaan Allah, pencipta segalanya. Gempa menjadi penanda bahwa semua manusia adalah sama. Tak ada alasan manusia untuk sombong, dengan membanggakan harta atau kuasa.
Peristiwa alam sudah selayaknya menjadi refleksi, sebagaimana perintah Allah untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Nya dengan memperhatikan alam semesta. Untuk itu, manusia harus mampu melakukan refleksi dengan mentransedenkan diri dalam menjalani hidup—rohani harus mengatasi jasmani. Refleksi menjadi jalan manusia untuk memahami makna hidup yang “sesungguhnya” atas kebenaran yang lebih utuh dan tidak parsial. Namun demikian, refleksi adalah persoalan yang sulit, yang tidak setiap orang memahaminya bahkan memunculkan ketidakpahaman.
Kesalahpahaman dalam refleksi malah menghantarkan pada kekecewaan yang mendalam. Sehingga hati semakin tertutup dari makna hidup. Refleksi yang salah atas gempa menjadikan Tuhan limpahan kesalahan, atas takdir yang telah ditetapkan-Nya, seraya berkata “Sungguh buruk nasib kami” atau “Tuhan kenapa engkau menghukum kami”. Refleksi yang salah terjadi karena buta hati, yang hanya memandang masalah dari satu sisi, dari perspektif diri, tanpa memperhatikan bagian kebenaran-kebenaran lain.
Refleksi adalah jalan menuju ilmu hikmah, ilmu yang dimiliki Nabi Khidzir. Banyak orang, termasuk kita tidak memahami ilmu ini, sebagaimana Nabi Musa tidak memahami tindakan Nabi Khidzir, seperti dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 60-82: bahwa Nabi Musa tidak memahami mengapa Nabi Khidzir merusak perahu yang ditumpangi keduanya, Khidzir membunuh anak kecil, memperbaiki bangunan di suatu kampung yang tidak ramah terhadap mereka. Ketidaktahuan Musa berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan kegelisahan dan keingintahuan, yang kemudian dijawab oleh Khidzir. Khidzir menjelaskan bahwa perahu yang rusak adalah milik orang miskin yang akan dirampas oleh penguasa yang lalim, Khidzir merusaknya dengan tujuan agar perahu terlihat jelek dan penguasa tidak tertarik merampas. Sedangkan anak kecil yang dibunuh, kelak akan menyesatkan kedua orang tuanya yang beriman. Dan bangunan yang diperbaiki, di dalamnya terdapat harta kekayaan milik anak yatim.
Kisah Musa dan Khidzir adalah pelajaran yang tidak habis-habisnya menjadi inspirasi, ada ilmu hikmah yang lebih tinggi dari pengetahuan eksakta yang selama ini menjadi andalan kita manusia modern. Cara berpikir kita saat ini; seperti Musa yang menyalahkan atas perbuatan Khidzir yang merusak kapal, membunuh anak kecil dan memperbaiki bangunan orang yang tidak ramah; adalah logika aristoteles yang kaku, bila tidak benar berarti salah. Kebenaran yang kita ciptakan adalah kebenaran dalam bingkai dualisme yang mengakar kuat dalam epistemologi dengan term-term benar vs salah, dosa vs pahala, surga vs neraka.
Jika masih sulit memahami, setidak-tidaknya refleksi menjadikan kita tidak perlu terlalu kaku menatap peristiwa sehari-hari dengan perhitungan matematis, memandang salah benar bagai dua sisi mata koin yang berbeda. Pasti ada hikmah yang bisa diambil dari segala peristiwa hidup ini. Menurut saya, refleksi sangat terbuka untuk berbagai peristiwa kehidupan manusia. Dari mulai peristiwa kecil saat bersantai, bekerja atau peristiwa besar seperti bencana.
Refleksi akan membuka manusia untuk memahami misteri yang luar biasa, dengan mempersoalkan kehidupan. Refleksi akan mengantarkan pada paradoks bahwa manusia bersifat jasmani dan rohani, individual dan sosial, hidup dan mati; dua sifat yang menurut logika bertentangan. Keparadoksalan manusia tidaklah bersifat konflik melainkan saling melengkapi. Sisi jasmani untuk persoalan teknis dan kerja fisik, sedangkan sisi rohani menjadi penentu arah hidup.
Setiap orang dengan dua sisinya, jasmani dan rohani, sudah selayaknya berlomba-lomba menggelar amalan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya. Nilai guna amalan manusia sesungguhnya tidak terletak kuantitas melainkan kualitas, seberapa besar manfaatnya yang merentang waktu dan menembus batas antar generasi. Kegagalan dan keberhasilan manusia tidak diukur dari saat ini, tetapi dalam jangka panjang, yang menjangka dan menjangkau masa depan, sebagaimana amalan Nabi Khidzir lebih tinggi dibanding Nabi Musa karena jangkauan manfaat yang lebih luas. Refleksi yang benar atas bencana alam mengantarkan pemahaman yang benar akan makna hidup, bahwa semua tidak ada orang bisa melawan kematian, semua orang akan mati tanpa memandang status sosial, kuasa dan kekayaan.
Saya pikir refleksi adalah jalan menuju ilmu hikmah, dalam format kecil. Refleksi mengantarkan kita pada pemahaman atas keutuhan kebenaran, pemahaman diri, agar tidak jatuh dalam sifat sombong, lupa diri, meremehkan orang lain, terlampau kagum dan hingga takabur atau terlampau sedih hingga meratap-ratap kematian orang yang kita cinta dan kasihi. Bukankah pertemuan antara Musa dan Khidzir diatur oleh Allah, untuk menunjukkan kepada Musa yang sebelumnya mengaku sebagai orang terpandai, bahwa ada orang yang lebih pandai darinya? Kisah Musa dan Khidzir menunjukkan bahwa ilmu Allah sangatlah luas, tidak sepantasnya kita berbangga diri dan sombong. Pada setiap peristiwa, baik kegembiraan mau pun bencana selalu ada rahasia, pelajaran yang menjadi hikmah untuk manusia. Tergantung dengan apa dan bagaimana kita menggunakan kacamata pandang itu.[zk]

Wahyu Agung, mantan Pemimpin Redaksi LPM IDEA dan penulis buku tutorial Komputer dan Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar