Selasa, 06 Juli 2010

Artikel SOROTAN HUKUM di Koran Sinar Harapan

Agama Dan/Tanpa Negara

Sinar Harapan (15/2) membuat repotase perihal eksistensi atau peran negara kaitannya dengan kebebasan beragama. Akan lebih menarik apabila liputan tersebut merujuk juga pandangan Frans Winarta, yang selama ini dianggap peduli dengan isu-isu diskriminasi. Satu artikel Frans pada Buku Suara Rakyat: Hukum Tertinggi (2009:146) diberi judul (laiknya sebuah penegasan) bahwa ‘agama tidak memerlukan pengakuan negara’. Guna mengukuhkan pendapatnya tersebut Frans menukil pendapat Bung Hatta bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan. Namun, jika menilik kontesknya, pernyataan Hatta waktu itu tercetus saat Konstituante memperdebatkan apakah Indonesia akan berdasarkan syariat Islam atau Pancasila. Pendapat Hatta tersebut kemudian oleh beberapa pihak dimaknai sebagai ide/ gagasan negara sekuler.

Pemaknaan ‘Kebebasan Beragama’

‘Kebebasan beragama’ dalam perspektif HAM dikategorikan bersifat mutlak, dan oleh karenanya hak tersebut bersifat tidak dapat dikurangi. Rujukan ‘kebebasan beragama’ pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 harusah selalu didasarkan/ pendasarannya pada sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kemudian dasar itu pada Pasal 29 diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal tersebut hendak menegaskan sekaligus menempatkan posisi negara bahwa ‘keputusan beragama’ dan ‘beribadah’ merupakan ‘persoalan individu’. Oleh karenanya negara tidak perlu mengatur (menafsir) mana ajaran agama yang harus atau tidak harus dilakukan atau dipilih warga negara.

Makna tersuratnya negara tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama sekaligus negara juga tidak berhak untuk menentukan mana agama resmi dan resmi. Demikian pula tataran implementasi haruslan mengejawantahkan makna tersurat demikian. Negara tidak memiliki otoritas untuk mengklaim kebenaran agama berdasarkan kelompok mayoritas. Apa tugas/ porsi dari negara dalam konteks kebebasan beragama tersebut? Merujuk pada pikiran Frans, negara hanya sampai/ cukup sebatas menjamin dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya. Apabila ‘kebebasan beragama’ dikategorikan bersifat ‘hak mutlak’ dan oleh karenanya tidak dapat dikurangi, formulasi tersebut haruslah dibedakan dengan ‘hak mengekspresikan agama’ yang dikategorikan sebagai ‘hak bertindak’. Hak terakhir ini dapat dibatasi melalui sebuah undang-undang.

Negara Sebagai ‘Penafsir’

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1965 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”. Jika mencermati bagian penjelasan undang-undang tersebut tidak ditemukan penjelasan apa yang dimaksud dengan kata-kata melakukan penafsiran dan menyerupai.

Penafsiran tidak akan lepas dari ‘subjektivitas’ dari si penafsir. Apakah yang berhak menafsir tersebut ‘negara’ atau ‘otoritas mayoritas’? Demikian pula pertanyaan muncul, siapa pihak yang berhak menentukan sebuah tafsir atau kegiatan suatu aliran kepercayaan ‘menyimpang’? negara atau tokoh agama? Sesungguhnya negara tidak dapat menentukan hal itu karena negara tidak mempunyai otoritas keagamaan. Kalau alasan negara hal tersebut dilakukan dalam kerangka menjaga dan melindungi kesucian agama tentunya tidak sejalan dengan amanat Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945 yang eksplisit menyebutkan “Setiap orang atas kebebasannya menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya”. Tokoh agama juga tidak dapat karena tidak ada otoritas tunggal di dalam sebuah agama yang dapat menentukan sesat atau tidaknya suatu agama/ kepercayaan.

Pro-Kontra Uji Materi UU No.1/1965

Beberapa keberatan atas masih diberlakuknnya UU No.1/1965 tekait pada aspek relevansi atau kontekstualitasnya. Memang benar jika menilik aspek historisnya, latar belakang dibuatnya UU No.1/1965 dikarenakan suasana politik dan keamanan waktu itu dengan hadirnya gerakan DI/ TII yang berlatar belakang nuansa agama. Pada masa itu aliran-aliran di luar agama ‘resmi’ yang disebut dalam undang-undang tersebut bermunculan dan tumbuh marak dan dianggap Pemeritah sebagai sesuatu yang membehayakan bagi agama-agama resmi. Kondisi semacam itu dalam pandangan Pemerintah sekaligus dipandang akan mengancan persatuan dan kesatuan. Alasan tersebut secara eksplisitter surat dalam konsideran undang-undang tersebut.

Seorang pemikir kristen liberal, Ionanes Rakhmat (2010) menganalisis setidaknya lima alas an dalam perspektif historis urgensi keluarnya UU No.1/1965, yaitu mencegah penafsiran alternative yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama resmi, mencegah kegiatan keagamaan alternatif dalam bentuk ritual seremonial dan organisional yang menyimpang dari yang biasa dilakukan oleh umat beragama resmi, mencegah penodaan atau penghinaan terhadap agama-agama resmi, serta mencegah permusuhan terhadap agama-agama resmi tersebut. Setidaknya konteks situasi dan kondisi pada tahun dikeluarkannya undang-undang tersebut untuk beberapa hal masih terasa kotekstual di kekinian.

Namun, eksistensi undang-undang tersebut saat ini yang paling dominan justru bukan dijadikan sarana pencegahan dan perlindungan agama lagi. Untuk beberapa kasus, undang-undang tersebut dijadikan instrumen hukum pembenaran bagi perilaku penghinaan oleh satu agama terhadap agama lain. Bahkan temukan pula kasus-kasus kelompok mayoritas suatu paham dalam agama menghakimi atas suatu paham minoritas dalam agama yang sama. Undang-undang tersebut juga untuk beberapa kasus dipakai sebagai alat mendeskriditkan kelompok agama yang tidak sepaham dengan pendapatnya.

Wagiman, S.Fil., S.H., M.H.

Penulis adalah Peneliti pada Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar