Senin, 26 Juli 2010

Teknologi yang Membebaskan Manusia? Teknologi Informasi-Komunikasi dan Pendidikan Tinggi

Ditulis dalam Uncategorized oleh Reza A.A Wattimena pada Juli 14, 2010
Technorati Tags: teknologi,informasi,komunikasi,pendidikan,filsafat,teori kritis
Sumber:http://rezaantonius.wordpress.com/
CB058865

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan Peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM) di universitas yang sama. Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pendidikan Sains dan Teknologi sebagai Wahana Penguatan Modal Sosial di Era Global 14 Juli 2010 Institut Teknologi Surabaya, Surabaya

Abstrak

Seperti semua hal di muka bumi ini, kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam dunia pendidikan mengundang pro dan kontra dari berbagai perspektif. Beberapa dampak positifnya adalah TIK dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien, TIK sebagai pemberdaya dosen dan siswa, dan TIK sebagai pengembang metode serta diseminasi hasil penelitian. Dampak positif tersebut rupanya tidak tanpa kritik. Beberapa kritik yang diajukan adalah semakin dangkalnya pemikiran dosen dan mahasiswa, akibat kemudahan akses yang mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas penelitian maupun produksi pengetahuan yang ada, dan kecenderungan guru dan siswa untuk menjadi konsumen informasi semata, tanpa ada keinginan ataupun kemampuan untuk mulai menjadi produsen informasi yang bermutu. Bagaimana pro dan kontra tersebut dapat disingkapi secara bijaksana? Di dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti secara mendalam berbagai perdebatan yang ada, serta mencoba mengajukan pandangan saya sendiri, bahwa teknologi informasi dan komunikasi, maupun semua bentuk teknologi lainnya, harus menempatkan manusia sebagai subyek. Hanya dengan begitu teknologi bisa membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, dan tidak menjadikan manusia sebagai obyek eksploitasi, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Untuk memberi pendasaran pada argumen itu, saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, Andrew Feenberg, dan Herbert Marcuse.

Kata Kunci: Teknologi Informasi dan Komunikasi, Pendidikan, Subyektivitas, Emansipasi.

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (selanjutnya TIK) adalah sesuatu yang menggembirakan. Namun perkembangan rupanya tidak lepas dari cacat yang melekat pada manusia, dan pada segala sesuatu yang keluar dari buah tangannya, terutama dalam soal pendidikan di perguruan tinggi. Cacat tersebut membuat saya tertarik untuk merefleksikan dampak multidimensional dari penggunaan TIK yang canggih di dalam proses pembelajaran maupun penelitian di perguruan tinggi. Pertanyaan yang akan coba dijawab di dalam makalah singkat ini adalah, bagaimana bentuk teknologi, dalam hal ini TIK, yang baik, yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, serta sungguh efektif memberdayakan bangsa di dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di perguruan tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menyoroti berbagai dampak yang muncul di dalam penerapan TIK di dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Uraian pada bagian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh R. Eko Indrajit (1). Berikutnya saya akan coba mengajukan cara pandang yang berbeda terhadap esensi dari TIK, dan teknologi pada umumnya, yakni teknologi yang membebaskan manusia, atau teknologi yang menempatkan manusia sebagai subyek. Uraian di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap pemikiran Andrew Feenberg dan Herbert Marcuse (2). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, refleksi kritis, dan upaya untuk membuka beberapa tema persoalan yang masih harus dipikirkan lebih jauh (3).

1.Dampak TIK bagi Proses Pembelajaran

Di dalam penelitiannya Indrajit membagi dua bentuk komunitas di dalam dunia akademik perguruan tinggi sekarang ini. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai komunitas imigran digital (digital immigrant), yang terdiri dari pada dosen dari generasi sebelumnya yang baru terbuka matanya pada perkembangan teknologi, dan komunitas naif digital (digital naïve), yang terdiri dari para mahasiswa yang sudah sejak kecil terbuka matanya serta pandai menggunakan fasilitas teknologi, terutama TIK.[1]

Bagi para imigran digital, demikian tulis Indrajit, teknologi melulu merupakan alat bantu di dalam proses pembelajaran. Namun bagi para naif digital, teknologi, terutama TIK, memiliki makna penting bagi pembentukan jati diri mereka sebagai pribadi, terutama di dalam pola pembentukan relasinya dengan orang lain. Teknologi merupakan “suatu medium dan salah satu arena utama tempat komunitas modern belajar, selain lingkungan klasik seperti rumah, sekolah..” (Indrajit, 2010, 96) Teknologi memiliki arti khusus yang dalam banyak hal memiliki peran seperti keluarga, yakni sebagai pembentuk jati diri para naif digital.

Generasi


Konsep Ruang


Konsep Jati Diri

Naif Digital (Mayoritas Mahasiswa)


Ruang Virtual sama dengan Keluarga dan Sekolah (Ruang Facebook, Twitter, Linkeldn, dsb) Ruang virtual memiliki makna yang penting bagi kehidupan pribadi.


Jati diri yang tidak tertanam pada ruang waktu fisik, melainkan pada ruang waktu virtual, atau yang disebut sebagai jati diri virtual (virtual self).

Imigran Digital (Mayoritas Dosen)


Ruang Virtual sebagai pembantu bagi ruang fisik. TIK hanya alat untuk mengabdi pada ruang fisik.


Jati diri tetap mengakar para komunitas real. Keberadaan komunitas virtual merupakan alat untuk memperkuat relasi di dalam komunitas real.

Tabel. 1.

Komunitas Dunia Akademik Perguruan Tinggi di era Perkembangan TIK

Alasan penerapan TIK di pola pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi ini sebenarnya sangat mulia. Sebagaimana dikutip oleh Indrajit, UNESCO telah menyatakan dengan tegas, bahwa fungsi TIK adalah untuk “memenuhi kebutuhan pendidikan yang sebelumnya belum dapat terpenuhi.” (Indrajit, 2010) Walaupun begitu tantangan tetap menanti. Ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi, sebagaimana diperjelas oleh Indrajit. Pertama, walaupun TIK sangat membantu proses pembelajaran, namun paradigma yang digunakan di dalam proses pengajaran masih belum tepat, yakni jarang sekali mengkaitkan teori dengan contoh nyata kehidupan, sehingga walaupun menggunakan media TIK yang canggih, namun proses pembelajaran tetap terasa kering dan abstrak.

Kedua, perkembangan TIK sebagai media pembelajaran tidak berjalan searah dengan perkembangan materi pengajaran yang diberikan. Akibatnya variasi materi dan metode pengajaran tidak tersampaikan dengan baik melalui perangkat TIK terkait. Ketiga, masih soal paradigma pendidikan, cara mengubah pola pembelajaran satu arah masih menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan, bahkan di institusi pendidikan yang telah menerapkan TIK sebagai media pembelajaran. Dengan kata lain penerapan TIK secanggih apapun tidak akan mengembangkan pola pengajaran, ketika dosen masih mendidik dengan pola satu arah. Dan keempat, kondisi geografis negara maupun daerah masihlah sangat beragam. Akibatnya distribusi penggunaan TIK juga tidak merata. Terjadi kesenjangan antara pusat dan pinggir, atau antara ibu kota dan daerah. (Indrajit, 2010)

No.


Tantangan Penerapan TIK di dalam Pendidikan Perguruan Tinggi

1.


Penerapan TIK tidak diikuti dengan pembelajaran yang berbasis pada konteks. Teori abstrak masih menjadi andalan. Belum ada analisis kasus. TIK menjadi tidak berguna.

2.


Materi pengajaran berkembang pesat, namun tidak diikuti dengan perkembangan TIK yang memadai.

3.


Pola pengajaran satu arah tetap menjadi halangan, walaupun TIK sudah diterapkan secara canggih.

4.


Kesenjangan distribusi penggunaan TIK, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau secara geografis.

Tabel. 2.

Tantangan Penerapan TIK di dunia Perguruan Tinggi

Indrajit merumuskan lima dampak positif dari TIK di dalam pengembangan proses pembelajaran di perguruan tinggi. (Indrajit, 2010, 97-98) Argumen yang akan saya jabarkan di bawah ini didapatkan dari perbandingan 200 institusi pendidikan tinggi di Indonesia melalui penelitian gabungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS dan APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika pada 2009. Hasil penelitian ini dijabarkan oleh Indrajit di dalam tulisan yang telah saya jelaskan sebelumnya. Saya mengolah data dari penjabaran Indrajit tersebut.

Pertama, TIK dapat membantu mahasiswa memvisualisasikan penjelasan dari dosennya, terutama tentang hal-hal yang abstrak, seperti sejarah tercipta alam semesta, pergerakan atom, ataupun situasi awal lahirnya filsafat Yunani Kuno. Di sisi lain para pengajar, dalam hal ini dosen, juga terbantu di dalam menyampaikan ide-ide yang memang pada dasarnya sulit untuk dijelaskan. Dalam hal ini proses pendidikan bisa sungguh efektif, karena bisa sungguh menciptakan perubahan cara berpikir yang mendasar, berkat bantuan dari TIK di dalam pengajaran.

Penggunaan TIK juga secara perlahan namun pasti akan mengubah gaya pengajaran dari yang sebelumnya berfokus pada dosen, kini berfokus pada masing-masing individu pembelajar. Indrajit memberikan ilustrasi begini, jika setiap mahasiswa membawa notebook, dan materi pengajaran dijabarkan di dalam sebuah file yang bisa dibaca oleh masing-masing siswa melalui notebooknya, maka fokus perhatian mereka, secara fisik, tidak lagi ke dosennya, melainkan ke notebook masing-masing.(Indrajit, 2010, 100) Walaupun masih pada tahap awal, ini sudah merupakan upaya untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang sebenarnya sangat menghambat.

Di samping kualitas pembelajaran, baik mahasiswa dan dosen, meningkat, TIK juga membuat proses belajar mengajar, menurut Indrajit, menjadi menyenangkan. Jika proses belajar sudah dianggap menyenangkan, maka siswa akan merasa ingin dan perlu untuk melakukan proses belajar yang berkelanjutan, bahkan ketika mereka sudah menyelesaikan pendidikan formal. “Fenomena life long learning”, demikian tulis Indrajit, “sudah mulai tertanam di dalam diri dosen (dan mahasiswa-reza) sebagai manusia pembelajar.” (Indrajit, 2010) TIK sangat diperlukan untuk membuat seluruh proses belajar menjadi menyenangkan, terutama dengan membuat kombinasi dan variasi dari materi pengajaran.

Kedua, menurut Indrajit TIK adalah sarana terbaik bagi dosen maupun mahasiswa untuk meningkatkan terus mutu informasi maupun analisisnya. Semua ini akan membawa pada proses pendidikan yang bermutu tinggi. Melalui TIK akses informasi bermutu tidak hanya dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat saja, tetapi bisa oleh seluruh masyarakat. Inilah yang disebut Indrajit sebagai kesetaraan di dalam hak untuk memperoleh informasi. Konsep KBK pun bisa terlaksana, yakni pembelajaran dengan berpijak pada berbagai sumber, dan peran dosen tidak lagi sebagai sumber kebenaran, melainkan sebagai fasilitator siswa untuk belajar. (Indrajit, 2010, 104)

Tiga, perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan. Oleh karena itu aset terpenting dari perguruan tinggi bukanlah uang, melainkan hasil penelitian, buku, jurnal ilmiah, diktat dosen, studi kasus, dan sebagainya yang terkait dengan proses pendidikan. Bahkan menurut Indrajit sumber pendapatan terbesar dari universitas-universitas besar bukanlah uang dari mahasiswa, seperti yang masih banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, melainkan dari hasil penjualan berbagai aset intelektual yang ada di dalamnya, termasuk penggunaan laboratorium, hasil penelitian, buku-buku, dan sebagainya. (Indrajit, 2010, 105) TIK bisa mengubah format kekayaan intelektual ini menjadi softcopy, yang kemudian disimpan dalam gudang data elektronik yang jauh lebih aman dan efektif. Inilah yang disebut Indrajit sebagai database warehouse.

No.


Jenis Data yang bisa disimpan di dalam Database Warehouse dalam bentuk Soft Copy (file data)

1.


Rekaman suara hasil wawancara atau kuliah dengan para pakar di bidangnya masing-masing, baik dari proses perkuliahan di kelas, ataupun seminar-seminar nasional maupun internasional.

2.


Link ataupun referensi akademik ke perpustakaan internasional yang biasanya diperoleh dari kerja sama ataupun kesepakatan dengan institusi luar kampus, baik nasional ataupun internasional.

3.


Foto, karya seni, ataupun rekayasa gambar yang telah dihasilkan melalui proses penelitian di universitas.

4.


Materi kuliah dalam bentuk diktat ataupun presentasi yang diselenggarakan oleh universitas

5.


Jurnal dan hasil penelitian para dosen maupun mahasiswa

6.


Skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa yang telah dihasilkan

7.


Buku para dosen dan mahasiswa yang dihasilkan melalui proses penelitian dan kuliah.

Tabel. 3.

Gudang Data Elektronik Universitas

(data diolah dari Indrajit, 2010, 106)

TIK dapat menjadi alat untuk menyimpan, mengumpulkan, mengelompokan, menyebarkan, menggandakan, serta merawat berbagai aset intelektual yang dimiliki oleh universitas. Dengan adanya teknologi server yang menjadi komputer utama, semua pihak di universitas, dan bahkan masyarakat secara umum, dapat mengakses data, tentu dengan membayar sejumlah uang tertentu untuk kepentingan operasional universitas. “Semakin banyak akses dan jumlah koleksi aset intelektual yang dimiliki sebuah kampus,” demikian Indrajit, “semakin kayalah dan bernilai perguruan tinggi tersebut.” (Indrajit, 2010, 107)

Empat, TIK jelas bisa meningkatkan kualitas penelitian para dosen dan mahasiswa. Setiap bentuk penelitian membutuhkan sumber daya yang sangat besar, seperti akses informasi, jurnal, buku, ataupun untuk menghubungi nara sumber secara langsung. Dengan adanya TIK menurut Indrajit, semua itu dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Harapannya kualitas penelitian bisa meningkat. Peneliti sekarang dengan juga bisa langsung mengirimkan naskahnya ke jurnal internasional, tanpa menunggu berbulan-bulan waktu pengiriman naskah, dan waktu pengabarannya. Ini tentu saja menghemat banyak waktu dan tenaga. Berbagai konferensi internasional untuk berbagai ilmu pun sekarang ini bisa diikuti tanpa harus ketinggalan berita.

Lima, secara teknis penggunaan TIK dapat merampingkan birokrasi manajemen pendidikan tinggi. Di era sekarang ini, menurut Indrajit, setiap universitas diminta untuk bekerja secara efektif dan efisien, sehingga mampu meningkatkan kualitas perguruan tinggi secara keseluruhan. Indrajit mencatat empat hal yang bisa dilakukan oleh TIK di dalam merampingkan birokrasi perguruan tinggi. Pertama, TIK dapat melakukan eliminasi terhadap semua proses yang membuat birokrasi menjadi panjang dan rumit. Kedua, semua proses birokrasi yang tadinya terpecah kini dapat terintegrasi dalam satu sistem jaringan. Ini akan menghemat waktu dan biaya operasional universitas. Tiga, proses yang sebelumnya dilakukan secara manual kini dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan TIK. Perhitungan nilai mahasiswa, penentuan calon penerima beasiswa, sampai pembayaran uang kuliah kini dapat dilakukan secara otomatis. Empat, TIK dapat melakukan simplifikasi terhadap semua proses operasional yang sebelumnya perlu melewati beberapa tempat, kini hanya cukup melewati satu tempat saja. Semua ini menjamin efisiensi dan efektivitas kerja di perguruan tinggi, yang bermuara pada peningkatan kualitas perguruan tinggi tersebut secara keseluruhan. (Indrajit, 2010, 124-125)

No.


Peran TIK di dalam Manajemen Operasional Universitas


Penjabaran

1.


Eliminasi


Memutus rantai birokasi yang terlalu gemuk dan tidak efisien.

2.


Integrasi


Menyatukan berbagai proses yang sebelumnya terpisah

3.


Automatisasi


Mempermudah pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan secara manual dan memakan waktu serta tenaga.

4.


Simplifikasi


Menyederhanakan berbagai proses operasional yang sebelumnya rumit dan tidak efisien.

Tabel. 4.

Peran TIK dalam Manajemen Operasional Universitas

Seperti segala sesuatu di dunia ini, penerapan TIK di dalam proses pendidikan di universitas memiliki beberapa kekurangan mendasar. Jika tidak dicermati dan ditanggapi secara tepat, kekurangan ini dapat menurunkan kualitas proses pendidikan yang telah berlangsung. Setidaknya ada lima efek negatif dari penerapan TIK dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, sebagaimana dicatat oleh Indrajit. (Indrajit, 2010, 129) Pertama, TIK membuat informasi dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini membuat peneliti, baik dosen ataupun mahasiswa, menjadi malas. Waktu berpikir dan menganalisis menjadi berkurang. Permenungan kritis dan mendalam menjadi sesuatu yang tidak lagi diperlukan. Padahal itu adalah kunci dari seluruh proses pendidikan. Kemampuan analisis dan berpikir kritis pun akan menurun.

Dua, Internet memang merupakan gudang informasi. Akan tetapi tidak semua informasi yang di dalamnya layak untuk dijadikan titik tolak penelitian. Banyak peneliti muda yang ingin cari mudah, lalu mengutip dari sumber-sumber yang tidak kredibel. Ini tentunya membuat kualitas penelitian menurun drastis. Keutamaan seorang peneliti dalam bentuk ketekunan, kesabaran, permenungan, berpikir kritis dan analitis, serta integritas lenyap di telan kemalasan berpikir.

Tiga, mentalitas para peneliti yang bergantung pada internet adalah mentalitas konsumen yang malas mencipta. Akibatnya dunia pendidikan Indonesia tidak produktif dalam berkarya, dan kalah jauh bersaing dengan universitas-universitas di luar negeri. Dengan mental semacam ini, tidak akan ada penemuan-penemuan baru keluar dari dunia pendidikan kita. Peneliti sebagai pemikir kini berubah menjadi para broker informasi yang kerjanya hanya mengambil dan memoles ulang hasil penelitian orang lain, tanpa ada sumbangan ide apapun. (Indrajit, 2010, 132)

Empat, para dosen tua biasanya takut dengan keterbukaan yang ditawarkan oleh TIK di dalam dunia pendidikan tinggi. Mereka tidak mau mempublikasikan hasil penelitian dan pemikiran, karena takut mendapat kritik dari masyarakat luas. Akibatnya penelitian dan pemikiran yang berharga dari para dosen tua tidak menjadi bagian dari masyarakat. Ini tentunya suatu kerugian besar bagi dunia pendidikan. Ketakutan berlebihan akan kritik membuat para peneliti senior menolak mempublikasikan karya mereka. Proses kemajuan dan perbaikan ke arah hidup bersama yang semakin berkualitas pun terhambat.

Lima, pada level manajemen operasional, penerapan TIK di universitas menuntut para pimpinan universitas menerapkan kontrol yang tinggi terhadap mutu, keterbukaan, dan tanggung jawab terhadap semua penelitian dan data yang dihasilkan perguruan tingginya. Kontrol tersebut membutuhkan pertimbangan yang bijak, dan bukan hanya asal sensor, atau asal memberikan kebebasan semata. Indrajit mengajukan pertanyaan tajam, apakah para pimpinan universitas sudah siap dengan ini? Melalui penelitian yang dilakukan, ia mengajukan kesimpulan sementara, bahwa karena berbagai alasan, dari alasan personal sampai alasan institusional, para pimpinan perguruan tinggi di Indonesia belum siap menerapkan prinsip kontrol yang bijaksana tersebut. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

No.


Dampak Positif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

1.


Membantu mahasiswa memvisualisasikan konsep-konsep abstrak di dalam proses pembelajaran.

2.


Mendapatkan Informasi dan analisis terbaru terkait dengan bidang penelitian tertentu.

3.


Mengolah aset penelitian dan pemikiran di universitas menjadi aset intelektual yang siap digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan pengembangan.

4.


Menghemat waktu dan tenaga dalam hal proses pengumpulan dan pengiriman informasi, terutama yang terkait dengan data-data yang bersifat internasional.

5.


Merampingkan birokrasi operasional perguruan tinggi, sehingga memudahkan semua pihak untuk menjalankan proses pendidikan.

Tabel. 5

Dampak Positif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

No.


Dampak Negatif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

1.


Kemudahan yang diberikan oleh TIK menjadikan para peneliti malas dan dangkal dalam mengolah maupun menganalisis data.

2.


Informasi dan data kualitas rendah yang beredar di internet membuat kualitas penelitian menurun

3.


Mengubah mentalitas peneliti sebagai pemikir menjadi konsumen ataupun broker informasi yang hanya mengolah tanpa memberikan sumbangan pemikiran apapun.

4.


Keterbukaan dan ketakterbatasan informasi mendorong ketakutan berlebihan akan kritik terhadap hasil penelitian. Banyak penelitian berharga sengaja tidak dipublikasikan, karena takut menuai kritik, dan mencoreng nama baik si peneliti.

5.


Belum siapnya para pimpinan universitas menerapkan kontrol yang bijaksana terhadap dampak keterbukaan TIK dalam bentuk tanggung jawab moral ataupun kualitas penelitian yang disebarkan.

Tabel. 6

Dampak Negatif Penggunaan TIK di dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

Tabel di atas merupakan rangkuman dari berbagai perdebatan yang muncul tentang penerapan TIK di dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Bagaimana kita harus menyingkapinya secara tepat? Bagaimana kita memastikan bahwa TIK adalah teknologi yang membebaskan manusia, dan bukan menjadikannya sebagai alat untuk di eksploitasi? Jika dicermati lebih jauh, TIK memberikan sumbangan besar bagi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, ketika TIK mendorong manusia untuk menjadi subyek atas dunianya, termasuk atas teknologi yang digunakannya. Dan sebaliknya TIK akan memberi dampak negatif pada kehidupan manusia, ketika TIK menempatkan manusia sebagai obyek, sebagai benda, yang menjadi alat demi perkembangan TIK itu sendiri. Dengan demikian teknologi yang membebaskan manusia adalah teknologi yang menjadikan manusia sebagai subyek, dan bukan obyek atas teknologi itu sendiri. Saya akan jabarkan argumen ini pada bagian berikutnya.

2.Menuju Teknologi yang Membebaskan Manusia

Di dalam teori-teori sosial kritis, teknologi telah lama dituduh sebagai penyebab dari berbagai penyakit sosial, seperti totalitarianisme di tataran ide (fakta yang menjajah kreativitas), pencipta lapangan kerja yang tidak membutuhkan kreativitas, dan pencipta masyarakat konsumeris yang hedonis. Teknologi memudahkan hidup manusia, dan itu membuatnya menjadi manja. Kemanjaan adalah sumber dari banyak penyakit sosial di masyarakat sekarang ini. Teknologi membuat manusia menjadi miskin imajinasi. Ia dipenjara oleh teknikalitas yang kering seolah tanpa jiwa. Nilai-nilai kemanusiaan yang bermakna lenyap ditelan kalkulasi rasional teknis matematis. Apakah tuduhan tersebut benar? Bisakah teknologi dipandang ulang sebagai pemberdaya nilai-nilai kemanusiaan, dan bukan sebaliknya, pembunuh yang berdarah dingin dan rasional? Jawabannya BISA! Yang kita butuhkan sekarang ini adalah perubahan radikal di dalam cara kita memandang dan menggunakan teknologi, termasuk TIK di dalam pendidikan tinggi.[2]

Menurut Feenberg menurunnya kualitas kerja, pendidikan, dan pengrusakan lingkungan tidak terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan dari nilai-nilai otoriter yang tumbuh bersama dengan berkembanganya teknologi tersebut. Ia menulis, “I argue that the degradation of labor, education, and the environment is rooted not in technology per se but in the antidemocratic values that govern technological development.” (Feenberg, 2002, 3) Oleh karena itu semua bentuk perubahan cara berpikir di dalam memandang dan menerapkan teknologi perlu untuk melihat pola berpikir otoriter yang ikut tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi, termasuk TIK.

Banyak filsuf dan teoritikus sosial mengajukan solusi yang cukup absurd. Mereka menyarankan orang meninggalkan teknologi sama sekali. Hidup sederhana dan spiritual, begitu semboyannya. Walaupun terkesan absurd mereka memiliki satu ide penting, bahwa perkembangan teknologi memang telah banyak mengubah hidup manusia, namun korban yang dihasilkan juga sangat mengerikan, seperti yang dapat kita lihat pada pemanasan global, lumpur Sidoarjo, tumpahan minyak di Amerika Serikat, belum yang tak terlihat langsung oleh mata, seperti melemahnya mental manusia modern, pragmatisme dangkal yang menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil, dan eksperimen dengan menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan. (Feenberg, 2002, 3)

Dalam konteks pendidikan setiap bentuk teknologi, termasuk TIK, haruslah menjadi instrumen pembebasan, dan bukan penindasan yang membuat para pembelajar, baik dosen ataupun mahasiswa, menderita. Teknologi harus mengabdi pada cita-cita mendasar demokrasi, yakni memungkinkan setiap individu untuk memperoleh kebebasan personal secukupnya, dan berpartisipasi secara aktif di dalam berbagai aktvitas yang terkait dengan kepentingan publik. Inilah yang menurut Feenberg esensi dari manusia, yakni kebebasan dan partisipasi. Teknologi dalam segala bentuknya harus membantu manusia menggapai esensi tersebut.

Dewasa ini sebagaimana diamati oleh Feenberg, pilihan-pilihan yang dibuat manusia, sebagai konsekuensi dari kebebasan individu yang kian berkembang, dimediasi oleh teknologi. Maka orang yang sungguh bebas adalah orang yang melek pada kecanggihan teknologi, terutama TIK. “Apa yang disebut manusia”, demikian Feenberg, “sudah dan akan diputuskan dalam bentuk alat-alat kita tidak kurang dari tindakan para negarawan ataupun gerakan politik.” (Feenberg, 2002, 3) Dengan kata lain teknologi akan menjadi salah satu elemen utama pembentuk jati diri dan karakter manusia. Teknologi tidak pernah netral dan obyektif murni, melainkan selalu terkait dengan dampak dan kepentingan politis tertentu.

Sebaliknya juga dapat dikatakan, bagi mereka yang buta teknologi, pilihan menjadi sangat terbatas. Inilah karakter otoriter dari teknologi, bahwa dia bersikap diskriminatif kepada mereka yang tidak bisa mengaksesnya. Teknologi menjadi begitu rumit dan teknis, sehingga mengalienasikan penggunanya. Akibatnya manusia menjadi obyek dari teknologi. Teknologi menjadi simbol diskriminasi bagi mereka yang bodoh dan miskin. “Eksklusi mayoritas besar dari partisipasi (teknologi-Reza) di dalam keputusan ini,” demikian Feenberg, “sangat tidak demokratis.” (Feenberg, 2002) Dengan demikian perubahan pandangan mendasar tentang teknologi dan penggunaannya memerlukan kesadaran demokratis, yakni teknologi yang membebaskan manusia, yang memperlakukan dan memberdayakan manusia untuk mencapai taraf kesetaraan, yang menjadikan manusia sebagai subyek.

Feenberg juga menegaskan bahwa teknologi harus menganut sosialisme, yakni dipergunakan untuk pemberdayaan sebanyak mungkin rakyat, dan bukan hanya kalangan yang mampu saja. Tentu saja seperti juga disadari oleh Feenberg, kata sosialisme erat dikaitkan dengan komunisme dan marxisme. Padahal sosialisme tidak otomatis sama dengan kedua konsep itu. Sejak kejatuhan Russia dan banyak negara komunis, ide tentang sosialisme kehilangan daya tariknya di dunia. Walaupun begitu alih-alih dipandang sebagai kematian sosialisme, jatuhnya Russia dan negara komunis lainnya juga dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menelaah kembali sumber-sumber pembebasan yang ada di dalam teori-teori sosialisme maupun Marxisme, sebelum kedua teori itu ditafsirkan oleh Lenin, dan dijadikan pembenaran untuk diktator militer di Uni Soviet. Sumber pembebasan untuk memahami teknologi sebagai alat pembentuk dan pemberdaya subyektivitas manusia juga dapat kita tempa dari teori-teori sosialisme tersebut.

Pada dekade 1980-1990, Feenberg mencatat berkembangnya gerakan postmodernisme di dalam filsafat maupun ilmu-ilmu sosial. Gerakan ini hendak menantang semua klaim universal, dan menawarkan pembebasan partikular lokal dari penjajahan universalitas yang seringkali berperan sebagai selubung penindasan. Gerakan ini bermuara pada pesimisme atas perjuangan kelas, dan berkembangnya wacana tentang berakhirnya sejarah, yang sebenarnya merupakan simbol pesimisme terhadap segala bentuk perjuangan dan pembebasan. Tentu saja seperti yang juga dicatat oleh Feenberg, ide tentang akhir sejarah adalah sebuah ilusi. Bukan hanya itu konsep alienasi pun sudah tidak lagi relevan sebagai pisau analisis. Dan mungkin seperti yang menjadi argumen para filsuf postmodern, pembebasan tidak ditemukan lewat revolusi atau perjuangan kelas, melainkan dari ironi dan paradoks. Estetika dan seni menjadi senjata yang lebih ampuh daripada rasionalitas.

Feenberg mengutip pendapat Karl Mannheim tentang krisis sosial yang muncul bersama dengan lahir serta berkembangnya teknologi. Krisis tersebut mengambil bentuk lemahnya perdebatan di dalam ruang publik tentang masalah-masalah masyarakat. Perspektif sejarah tentang isu yang menjadi perdebatan tidak digali lebih jauh, sehingga argumen yang diajukan lebih di tataran praktis dangkal, daripada reflektif analitis. Perkembangan teknologi sejalan dengan berkembangnya mentalitas praktis dangkal tersebut. Di dalam cara berpikir ini, manusia tidak lebih dari sekedar benda. Manusia adalah obyek. Sementara teknologi adalah subyek. Manusia telah dijajah oleh sistem yang diciptakannya sendiri, yakni teknologi. (Feenberg, 2002, 4)

Manusia terjebak dalam dilema. Di satu sisi ia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Di sisi lain perkembangan teknologi mengikis mentalitas reflektif dan historis yang sebelumnya menjadi fondasi peradaban manusia.[3] Di dalam situasi dilema tersebut, muncul harapan-harapan mesianik-utopis tentang kedatangan penyelamat yang akan menyelesaikan semua masalah. Masalah intinya disini sebagaimana dicatat oleh Feinberg adalah, bagaimana kita bisa mengembalikan manusia sebagai subyek sejarah yang mengarahkan sejarah ke arah pembebasan, tanpa terjatuh pada harapan mesianik utopis tentang hadirnya seorang penyelamat yang akan menyelesaikan semua masalah? Mungkinkah ada suatu refleksi rasional yang realistik untuk mengubah cara kita memandang dan menerapkan teknologi di kehidupan? Feenberg mengajukan jawaban jelas, bahwa sosialisme harus kembali disuntikan ke dalam pemahaman dan penggunaan teknologi, sehingga manusia bisa dijadikan subyek sekaligus tujuan di dalam pengembangan teknologi, dan bukan sekedar alat, apalagi kelinci percobaan. (Feenberg, 2002, 5) Hanya dengan begini teknologi, terutama TIK, bisa mendukung proses demokrasi, dan menempatkan manusia sebagai setara, lepas dari ras, agama, ataupun kelas sosial ekonominya.

Feenberg juga menegaskan bahwa ada dua teori tentang teknologi yang dominan di dalam ilmu-ilmu sosial. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai teori instrumental. Di dalam teori ini, teknologi adalah alat pembantu pengembangan politik dan budaya masyarakat. Sementara teori kedua disebut sebagai teori substantif, yakni teknologi adalah suatu sistem otonom yang bisa digunakan untuk menggantikan sistem-sistem lainnya, seperti sistem budaya ataupun sistem agama. Kedua teori itu berat sebelah. Teori pertama tidak menyadari efek tidak langsung dari perkembangan teknologi. Efek tidak langsung tersebut adalah mentalitas praktis dangkal, otoriter, dan miskin refleksivitas. Sementara teori kedua mendewakan teknologi, dan merusak tatanan makna kultural yang sebelumnya telah ada.

Dalam konteks penerapan TIK di dalam dunia pendidikan, teori pertama ingin menegaskan, bahwa TIK adalah alat bantu pengembangan pendidikan. TIK mengabdi pada kepentingan pembebasan manusia melalui pendidikan. Namun bersama dengan berkembangnya TIK di dalam pendidikan, mentalitas lainnya juga ikut berkembang, yakni mentalitas malas menganalisis, mentalitas malas berpikir, mentalitas instan, mentalitas miskin refleksi, mentalitas otoriter di dalam kebodohan, dan mentalitas ketakutan berlebihan. Semuanya sudah saya jabarkan pada bab sebelumnya tulisan ini.

Sementara dari sudut pandang teori kedua, TIK dapat menggantikan esensi belajar itu sendiri. Pola berpikir kritis digantikan pola berpikir teknis khas tukang komputer. TIK adalah masa depan. Sementara pendidikan yang membebaskan adalah masa lalu. TIK dapat menggantikan sistem pendidikan seluruhnya. Manusia yang dihasilkan adalah para tukang memperbaiki dan memprogram komputer. Tidak lebih dan tidak kurang. Tentu saja kedua teori ini kurang tepat untuk mengembalikan peran teknologi, terutama TIK, sebagai sistem yang membebaskan manusia, yang menjadikan manusia sebagai subyek. Sebagai alternatif Feenberg mengajukan pemikirannya sendiri, yakni teori kritis tentang teknologi. (Feenberg, 2002, 13)

Di dalam teori ini, teknologi bukanlah sistem otonom yang netral dan bebas, melainkan dibatasi oleh moral dan kebutuhan politis masyarakat. Teori ini mengajak masyarakat untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk penindasan yang muncul bersama dengan berkembang dan penerapan teknologi, termasuk TIK. Teori ini menurut Feenberg hendak berperan menjadi jembatan antara dua pihak, yakni antara kelompok berpikir teknis praktis di satu sisi, dan para pemikir humanis reflektif di sisi lain. Tujuannya searah dengan teori kritis klasik, yakni menciptakan emansipasi masyarakat dari semua bentuk penindasan, baik yang kasat mata, ataupun yang tidak.[4]

Teori kritis klasik dirumuskan oleh Mazhab Frankfurt dan seorang pemikir Marxis, Georg Lukacs. Ada tiga konsep kunci, sebagaimana dicatat oleh Feenberg, yakni konsep totalitarisme pencerahan, satu dimensi, dan reifikasi. Ada satu pengandaian yang sama di belakang ketiga konsep itu, bahwa kontrol manusia atas alam dengan menggunakan teknologi diawali dengan dominasi terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Jalan keluar dari dominasi tersebut bukanlah estetika ataupun spiritualitas, seperti yang ditawarkan seni dan agama, melainkan pengembangan mentalitas dan institusi-institusi demokratis yang ada di masyarakat. Dalam arti ini teknologi pun juga harus mencerminkan mentalitas demokratis, yakni menempatkan manusia sebagai subyek yang setara dan rasional.[5]

Di sisi lain paham bahwa teknologi dan sains itu netral, lepas dari kepentingan politik ras, agama, ataupun golongan, haruslah diubah. Inilah yang kiranya ditekankan oleh Habermas di dalam bukunya yang berjudul Knowledge and Human Interest. Setiap bentuk pengetahuan yang menjadi dasar dari sains maupun teknologi selalu memiliki kepentingan yang inheren di dalamnya. Kepentingan tersebut tertanam di dalam kodrat pengetahuan manusia yang terdalam, maka tidak terhindarkan. Ilmu-ilmu alam memiliki kepentingan untuk mengkalkulasi dan mengontrol alam. Ilmu-ilmu sosial memiliki kepentingan untuk memahami realitas. Sementara ilmu-ilmu kritis, seperti filsafat dan teori kritis, bertujuan untuk membebaskan manusia dari kepercayaan-kepercayaan palsu. (Hardiman, 1988)

Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, roh dari teori kritis adalah pembebasan dari kepercayaan-kepercayaan palsu. Kepercayaan palsu itu mencakup pula ketergantungan manusia pada teknologi modern, seperti komputer, alat transportasi, serta pabrik, yang pada akhirnya membuat manusia tidak bebas. Teknologi haruslah ditempatkan kembali sebagai alat, dan bukan tujuan dari aktivitas manusia. Namun yang terjadi adalah teknologi kini mendefinisikan manusia. Pilihan-pilihan manusia seolah tanpa batas, namun sebenarnya dibatasi oleh teknologi tersebut. Pada akhirnya teknologi akan mengantarkan manusia menjadi mahluk konsumtivis, seperti yang telah dikatakan oleh Indrajit. Teknologi membuat manusia tumpul dalam hal berpikir dan bertindak. (Feenberg, 2002, 14)

Teknologi haruslah menempatkan manusia sebagai subyek, inilah kiranya yang ditekankan oleh teori kritis tentang teknologi, sebagaimana dirumuskan oleh Feenberg. Di dalam perjalanannya seperti sudah sedikit disinggung, teori kritis tergoda untuk jatuh ke dalam seni dan agama. Estetika dan iman banyak dianggap sebagai jalan keluar dari dominasi sosial yang terjadi. Iman dan seni dianggap sebagai jalan pembebasan. Menurut Feenberg pandangan semacam ini haruslah ditinggalkan. Orang tidak boleh melarikan diri ke dalam refleksi estetik seni dan spiritualitas agama, ketika tidak mampu menyelesaikan problematik politik yang mereka hadapi.

“Teori kritis”, demikian tulisnya, “tidak menjadi lemah di hadapan kemenangan teknollgi, juga tidak memanggil pembaharuan roh manusia dari ruang yang melampaui masyarakat seperti agama ataupun alam.” (Feenberg, 2002)

Perjuangan pembebasan dari dominasi teknologi yang menempatkan manusia dari obyek adalah perjuangan politik yang harus dilakukan di ranah politik dan sosial, bukan di ranah seni ataupun agama.

Di era sekarang ini, rasionalitas politik sudah begitu ditentukan oleh rasionalitas teknologis. Mulai dari pemilihan umum sampai penentuan ketua RT pun tidak bisa dilepaskan dari aspek teknologis dan cara berpikir yang mendasarinya. Dalam arti ini rasionalitas teknologis adalah cara berpikir yang melihat segala sesuau dengan kaca mata kontrol, efektivitas, dan efisiensi kerja. Politik bagaikan mesin pabrik yang bergerak secara otomatis dan mekanis. Tujuan politik bukan lagi mencari legitimasi dari rakyat, melainkan mencapai hasil dengan cara yang seefektif dan seefisien mungkin.

Dalam bahasa Mazhab Frankfurt, teknologi telah menjadi ideologi, yakni kepercayaan-kepercayaan palsu tentang cara memandang dan menata masyarakat.[6] Korban dari cara berpikir ini adalah manusia dengan kompleksitas kehidupannya yang melingkupi makna dan spiritualitas. Tanpa kedalaman makna manusia menjalani kehidupannya bagaikan mayat hidup. Mereka hampir sepenuhnya berubah menjadi mahluk konformis yang patuh dan tumpul. Di dalam masyarakat yang terdiri dari orang-orang semacam itu, segala sesuatu berjalan mekanis, bahkan hal-hal yang tidak bisa dibenarkan secara moral. Korupsi menjadi mekanis. Diskriminasi menjadi mekanis. Inilah yang kiranya ingin dibongkar oleh teori kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Feenberg.

“Teori kritis”, demikian tulis Feenberg, “menunjukkan bagaimana kode-kode teknologi ini secara tak terlihat mengendap menjadi nilai dan kepentingan di dalam aturan dan prosedur, alat-alat dan artifak yang membuat rutin pengejaran kekkuasaan dan keuntungan dari hegemoni yang dominan.” (Feenberg, 2002, 15)

Dengan demikian teknologi bukan hanya sekedari alat yang netral dan tanpa kepentingan. Teknologi berasal dari pergulatan peradaban, dan memberikan pengaruh besar di dalam dinamika peradaban manusia itu sendiri. Apa yang manusia ciptakan selalu kembali mempengaruhi manusia itu sendiri sebagai penciptanya. Teknologi bagi Feenberg adalah kumpulan kemungkinan dan kumpulan ambivalensi. Oleh karena itu menurutnya, kita perlu memandang teknologi sebagai arena pertarungan kepentingan dan kekuasaan. “Teknologi”, demikian Feenberg, “adalah arena pertarungan sosial.” (Feenberg, 2002) Hanya dengan begitu teknologi bisa dikembalikan pada tempatnya yang tepat, yakni sebagai pembebas manusia, sebagai instrumen yang menempatkan manusia sebagai subyek.

Teknologi adalah seni untuk mengontrol alam, guna mengabdi pada pemenuhan kebutuhan (terbatas) dan keinginan (tak terbatas) manusia. Di dalam masyarakat kapitalis, seperti Indonesia, kehadiran teknologi tidak dapat dihindari. Namun seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan teknologi tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir yang mendasarinya, yakni cara berpikir teknis, instrumental, dan menumpulkan daya kritis serta kreativitas manusia.

Teori kritis tentang teknologi yang dirumuskan oleh Andrew Feenberg ingin mengajak kita membayangkan dan menciptakan bentuk lain dari masyarakat dan peradaban manusia. Di dalam masyarakat semacam itu, teknologi terkait erat dengan pengembangan kultur masyarakat, dan bersifat adil di dalam penyebarannya. Teknologi harus mengabdi pada peningkatan kualitas kehidupan di segala bidang, dan bukan hanya bidang materi semata, apalagi hanya semata pengejaran kekuasaan demi memperoleh keuntungan jangka pendek dan sempit. Singkat kata teknologi yang menjadikan manusia sebagai subyek. Semua ini hanya dapat terwujud, jika kontrol demokratis juga diarahkan pada perkembangan dan penggunaan teknologi. Inilah esensi dari teori kritis tentang teknologi. (Feenberg, 2002, 35)

Banyak filsuf yang mengatakan, bahwa kehadiran TIK mendorong proses demokratisasi di berbagai bidang. Orang bisa mengakses informasi dan mengajukan pendapatnya di internet tanpa sensor. Namun fakta sebaliknya juga menentukan, teknologi, dengan mentalitas otoriter yang ikut berkembang bersamanya, termasuk TIK, justru malah memasung mentalitas demokratis. Pola berpikir kritis dan reflektif lenyap digantikan pola pikir teknis. Dengan demikian walaupun secara material proses demokratisasi berpotensi meningkat, terutama dengan kehadiran internet dan segala kemudahan aksesnya, namun mentalitas kritis dan reflektif, yang merupakan prasyarat utama di dalam demokrasi, justru lenyap digantikan rasionalitas teknologis yang kering dan efisien.

Yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menanggalkan jubah sakral dari penerapan teknologi, termasuk TIK, di dalam kehidupan. Teori kritis klasik memiliki konsep yang persis sekali menggambarkan intensi ini, yakni demitologisasi atau desakralisasi. Ciri mitologis dan sakral seolah TIK tidak bisa lagi digugat dan dipertanyakan haruslah dicopot, dan digantikan dengan kultur demokratis, di mana segala sesuatu bisa menjadi tema perdebatan untuk mengubah cara berpikir dan kebijakan yang ada. Teknologi tidak hanya mendorong demokratisasi, namun teknologi, dan TIK, sendiri pun harus menjadi obyek kajian kontrol demokratis dari manusia-manusia yang berdiri setara sebagai subyek yang bebas dan rasional.

3.Kesimpulan dan Tanggapan

TIK memiliki peran besar di dalam meningkatkan kualitas pendidikan perguruan tinggi, selama TIK ditempatkan dalam kontrol demokratis yang ketat dari masyarakat pada umumnya, dan para ahli. Artinya TIK perlu untuk menempatkan manusia sebagai subyek yang setara dan rasional, dan bukan obyek pasif yang hanya menjadi alat demi perkembangan teknologi itu sendiri. TIK adalah alat untuk mencapai pembebasan manusia dari kemiskinan dan kebodohan, dan bukan tujuan utama yang pada akhirnya justru menjadikan manusia sebagai alat yang miskin dan bodoh, serta bisa dieksploitasi. Inilah esensi dari teori kritis tentang teknologi yang bertujuan untuk membebaskan manusia.

Dewasa ini penerapan TIK di dalam pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya. Hal ini menjadi sakral, dan tidak bisa lagi dipertanyakan. TIK dan teknologi pada umumnya menjadi begitu rumit, dan justru memperbodoh mereka yang tidak memiliki sumber daya untuk mengaksesnya. Dengan kata lain TIK justru menjadikan manusia sebagai alat dan obyek untuk kepentingan pengembangan TIK itu sendiri. Teknologi demi teknologi itu sendiri, begitu semboyannya. Pendidikan pun menjadi ajang pelatihan tukang-tukang reparasi komputer dan programmer software. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk mengubahnya. Bisakah kita melakukan demitologisasi dan desakralisasi terhadap TIK secara khusus, dan teknologi pada umumnya? Mungkin pertanyaannya harus diubah, maukah kita? ***

Daftar Pustaka

Feenberg, Andrew, 2002, Transforming Technology, Oxford: Oxford University

Press.

Hardiman, F. Budi, 1988, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius.

Indrajit, R. Eko, 2010, “Peranan Strategis serta Tantangan Pemanfaatan TEknologi

Informasi dan Komunikasi bagi Perguruan TInggi di Indonesia”, dalam

Globalisasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi, APTIK, Jakarta.

Marcuse, Herbert, 2000, An Essay on Liberation, Boston: Beacon Press.

Wattimena, Reza A.A., 2008, Filsafat dan Sains, Jakarta: Grasindo.

—————————, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta:

Kanisius.

[1] Pada bagian ini saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, “Peranan Strategis serta Tantangan Pemanfaatan TEknologi Informasi dan Komunikasi bagi Perguruan TInggi di Indonesia”, dalam Globalisasi dan Pemanfaatan Teknologi Informasi, APTIK, Jakarta, 2010.

[2] Pada bagian ini saya mengacu pada pemikiran Andrew Feenberg, Transforming Technology, Oxford: Oxford University Press, 2002.

[3] Uraian lebih jauh dapat dilihat di Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Jakarta: Grasindo, 2008.

[4] Uraian tentang Teori Kritis klasik maupun kontemporer dapat dilihat di Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

[5] Lihat pemaparan yang sangat menarik dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius, 1988.

[6] Lihat pemaparan Marcuse dalam Marcuse, Herbert, 2000, An Essay on Liberation, Boston: Beacon Press.

Dipublikasikan juga di www.dapunta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar