Sabtu, 16 Oktober 2010

RESENSI BUKU DARAS FILSAFAT ILMU

Sumber: http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/mystudents/syahir/filsafat-ilmu.html
Oleh:SYAHIR MAHMUD

Buku ini berjudul Filsafat Ilmu yang ditulis oleh DR. Amsal Bakhtiar, MA (penulis) dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk mendorong dan membantu civitas akademika dalam proses perkuliahan tentang Filsafat Ilmu. Selain itu buku ini juga berguna bagi kaum awam untuk menyelami dan memperluas wawasan tentang hakikat ilmu secara filsafat.

Pada awalnya pandangan pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh paham mitosentris yaitu bahwa semua kejadian dialam raya ini dipengaruhi oleh para dewa. Thales (624-546 SM), sebagai bapak filsafat disusul kemudian oleh Phytagoras (572-497 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) merupakan filosof-filosof pertama yang mengubah pola pikir manusia yaitu dari pola pikir mitosentris ke pola pikir logosentris. Aristoteles bahkan telah memperkenalkan ”Allah” sebagai penggerak Pertama atau Aktus Murni sebagai sumber dari segala sumber penggerak

Bagian pertama buku ini membahas tentang Ruang Lingkup Filsafat Ilmu. Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang terpisah tetapi saling terkait. Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek materinya adalah segala yang ada baik yang tampak (dunia empirik) maupun yang tidak tampak (alam metafisik). Sementara Ilmu juga memiliki dua obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek materialnya adalah alam nyata misalnya tubuh manusia untuk ilmu kedokteran, planet untuk ilmu astronomi dan lain sebagainya. Sedangkan obyek formalnya adalah metoda untuk memahami obyek material misalnya pendekatan induktif dan deduktif.

Ada filosof yang menyatakan bahwa ilmu semakin jauh dari induknya yaitu filsafat. Penulis memilih sebuah contoh yang tepat yang dikutip dari Will Durant. Oleh Will Durant diibaratkan bahwa, filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafat menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan ilmu pengetahuan. Setelah itu ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasinya masing-masing, sehingga ilmulah yang secara praktis membelah gunung dan merambah hutan dan filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.

Pada bagian ini juga dituliskan bahwa, pada perkembangan berikutnya filsafat bukan hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah menjadi bagian dari ilmu itu sendiri dan bersifat sektoral misalnya filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat ilmu.

Selanjutnya diberikan definisi filsafat atau falsafat (bahasa Arab) sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Juga diberikan pengertian falsafat yang beragam seperti : upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas, menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan : sumbernya, keabsahannya dan nilainya. Masih ada beberapa pengertian lain yang dituliskan pada halaman 5 sampai 10 diantaranya menurut Al-Farabi (W 950M) bahwa falsafat adalah ilmu tentang yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

Diberikan juga pengertian kata hikmah (sophos) yang merupakan salah satu makna dari falsafat yaitu mencintai hikmah. Fuad Iframi, Ibnu Mundzir, Al-Jurjani dan Ibn Sina memberikan pengertian hikmah yang secara tekstual berbeda namun secara kontekstual tetap sejalan. Salah satu diantaranya yang didefinisikan oleh Ibn Sina. Menurutnya hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan mebenarkan segala hakikat baik yang bersifat toeri maupun praktik menurut kadar kemampuan seseorang.

Salah satu sub-bagian dari bagian ini adalah penjelasan tentang pengertian ilmu, persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dijelaskan bahwa ilmu adalah bagian dari penegtahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa)

Yang terakhir dari bagian ini adalah penjelasan tentang tujuan filsafat ilmu. Dalam buku ini diberikan 5 tujuan filsafat ilmu dan salah satunya adalah memberikan penegasan bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan, antara ilmu dan agama sama sekali tidak ada pertentangannya.

Bagian kedua dari buku ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan filsafat yang dibagi dalam tiga periode. Periode pertama merupakan masa awal dari kaum filosof alam yang dimulai dari Thales hingga Parmanides. Dalam periode pertama, para filosof dengan segala pendapat dan pandangan yang berbeda-beda, dianggap tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang manusia dan kebenaran. Periode berikutnya yang dikenal dengan sebutan periode kaum ”sofis” yang dimotori oleh Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran yang merupakan cikal bakal humanisme. Kaum sofis memberikan ruang gerak pada ilmu untuk berkembang, berspekulasi dan merelatifkan teori ilmu. Mereka beranggapan bahwa ilmu itu terbatas tetapi proses mencari ilmu tak terbatas. Periode berikutnya adalah filosof yang menentang pandangan kaum sofis tentang relativisme kaum sofis. Periode ini dimotori oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles. Socrates terkenal dengan semboyannya ”kenalilah dirimu sendiri” Plato murid Socrates yang cerdas mampu ”mendamaikan” pandangan Hiraklitos dan Parmanides serta Aristoteles murid Plato yang lebih dikenal dengan analisis silogisme-nya. Aristoteles juga merupakan filosof rasionalisme penutup dari filsafat Yunani yang mampu membagi filsafat dalam dua bagian yaitu yang bersifat teoritis dan praktis.

Pada bagian ini juga dijelaskan sejarah perkembangan ilmu yang dibagi dalam tiga periode pula yaitu : perkembangan ilmu zaman Islam, kemajuan ilmu zaman Renaisans dan modern serta kemajuan ilmu zaman Kontemporer. Perkembangan pengetahuan zaman Islam dimulai sejak peristiwa Fitnah Al-Kubra yang dimotori oleh Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Kemajuan pesat mencapai puncaknya dizaman pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Salah satu pelopornya adalah Al Mansur yang memerintahkan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Namun kejayaan Islam ini akhirnya jatuh dan runtuh hingga mencapai titik terendah pada abad ke-18 M. Kemunduruan ini oleh Iqbal disebabkan karena diterimanya faham Yunani yang menyatakan bahwa ilmu itu statis adanya, padahal sesungguhnya ilmu menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang dinamis. Menurut Amin Abdullah ilmu itu selalu mengalami pergeseran (shifting paradigm) karena merupakan kegiatan histories yang terkait dengan ruang dan waktu. Zaman renaisans dipelopori oleh salah satunya yaitu N. Copernicus dan. Copernicus terkenal teori Heliosentris-nya. Revolusi pemikiran ini memicu pertentangan antara pemikir dan gereja Katolik Roma. Akibat revolusi pemikiran ini melahirkan F. Bacon dengan Knowledge is Power-nya, Tycho Brahe dengan gugusan bintang Cassiopeia-nya, Y. Keppler dengan ilmu Asronomi-nya, Galileo dengan ilmu gerak-nya serta Napier dengan logaritma berbasis e-nya dan sedert nama lainnya. Perkembangan zaman modern dipelopori oleh I. Newton dengan teori grafitasi-nya yang selanjutnya berkembang ilmu kimia yang dipelopori oleh J. Black dengan CO2-nya sampai pada masa penemuan elektron oleh J.J Thompson yang menggugurkan teori atom sebagai bahan terkecil yang tidak dapat berubah dan bersifat kekal. Yang terakhir dijelaskan dalam bagian ini adalah kemajuan ilmu zaman kontemporer adalah kemajuan ilmu yang kita alami sekarang ini meliputi semua bidang ilmu dan teknologi. Beberapa diantaranya adalah kajian ilmu sosial keagamaan yang ditulis oleh Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan. Embryo splitting technique oleh Jerry Hall, Teknologi Informasi dan lain lainnya.

Bagian ketiga buku ini menjelaskan tentang Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Banyak definisi yang dikemukan dalam buku ini, namun salah satu diantaranya yang menyatakan : pengetahuan adalah kebenaran. Disepakati bahwa ada empat macam pengetahuan yaitu pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmu (pengetahuan common sense yang terorganisasi dan sistematis)) dan pengetahuan filsafat serta pengetahuan agama. Secara teori, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui dua pandangan yaitu pandangan realisme dan idealisme. Pengetahuan menurut pandangan realisme adalah gambaran atau copy dari yang sebenarnya ada dalam alam nyata, artinya pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataannya, sementara ajaran idealisme menegaskan bahwa pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, pengetahuan adalah sebuah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.

Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa ada tiga sumber pengetahuan yaitu secara empiris yaitu melalui pengalaman. John Locke adalah bapak empirisme dengan teori tabula rasanya. Kelemahan dari teori ini terletak pada kelemahan/keterbatasan indera sebagai pengumpul pengalaman. Teori yang kedua adalah rasionalisme yang lebih mengutamakan pada kemampuan akal sebagai dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal melalui kegiatan menangkap obyek.Intuisi adalah salah satu sumber pengetahuan yang merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi, demikian yang dikatakan oleh Henry Bergson. Sumber pengetahuan tertinggi adalah wahyu yang merupakan penyampaian pengetahuan langsung dari Allah S.W.T melalui nabi dan rasul-Nya tanpa upaya, tanpa bersusah payah dan tanpa memerlukan waktu untuk mendapatkannya. Pengetahuan para nabi dan rasul terjadi atas kehendak Allah S.W.T dengan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran melalui wahyu.

Penjelasan tentang ukuran kebenaran juga merupakan subbagian dari bagian ketiga buku ini. Berpikir adalah suatu proses untuk memperoleh kebenaran, namun kebenaran yang didapat adalah kebenaran yang bersifat relatif. Karena sifat relatifnya itulah maka dibuat kategari kebenaran dalam tiga jenis yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam ontologis adalah kebenaran sesebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau duadakan dan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat dan melekat dalam tutur kata dan bahasa.

Dalam bagian ini yang dijelaskan hanya kebenaran epistemologis saja dengan anggapan penulis bahwa kebenaran ontologis dan semantis sudah tercakup didalamnya. Ada empat teori yang menjelaskan tentang kebenaran epistemologi yaitu yang pertama adalah teori korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kemanunggalan antara subyek (esensi yang diberikan) dengan obyek (esensi yang melekat pada obyeknya). Kedua adalah teori koherensi yang menyatakan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan sebelumnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Disebut koheren jika memenuhi empat syarat penegrtian yang bersifat psikologis, logis, kepastian dan keyakinan tidak dapat dikoreksi dan kepastian yang dignakan dalam pembicaraan umum. Teori kebenaran yang ketiga adalah pragmatisme kebenaran yang menyatakan bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil semata-mata bergantung pada azas manfaat (bersifat fungsional bagi manusia) dan teori terakhir adalah agama sebagai teori kebenaran. Dalam teori ini sesuatu dinyatakan benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

Bagian terakhir dari bab ini adalah klasifikasi dan hierarki ilmu. Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din dan Muhammada al-Bahi adalah cendekiawan muslim yang banyak menulis tentang klasifikasi ilmu. Al-Ghazali adalah salah satunya yang memberikan pengklasifikasian ilmu yang terdiri dari ilmu syar’iyyah dan aqliyyah. Ilmu Syar’iyyah meliputi al-ushul yaitu ilmu tauhid, kenabian, akhirat dan sumber ilmu (Al-Qur’a, Hadist, ijma dan tardisi sahabat), furu yaitu : ilmu ibadah, muamalah dan akhlak. Sementara ilmu Aqliyyah meliputi matematik, logika, fisika, kedokteran, kimia dan ilmu tentang metafisika.

Bagian keiga dari buku ini membahas tentang Dasar-dasar Ilmu yang dibagi atas tiga bagian yaitu ontologis, epistemologi dan aksiologi yang secara ringkas dapat dituliskan sebagai berikut.

Secara istilah ontologi adalah ilmu yang memperlajari tenatng hakikat yang ada (ultimate reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Didalam pemahaman ontologi ditemukan pandangan-pandangan seperti monoisme yang menyatakan bahwa hakikat yang asal itu hanya satu. Cabang dari monoisme ini adalah materialisme yang berpandangan bahwa hakikat yang asal adalah satu yaitu dari materi, sementara cabang lainnya yaitu idealisme yang berpandangan bahwa segala yang asal itu berasal dari ruh. Pandangan lainnya adalah dualisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari dua unsur yaitu materi dan ruh, jasmani dan rohani. Pandangan lainnya adalah pluralisme yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas yaitu unsur tanah, air, api dan udara. Ada juga faham nihilisme yang nampaknya frustrasi menghadapi relaistas. Realistas harus dinyatakan tunggal dan banyak, terbatas dan takterbatas, dicipta dan takdicipta, semuanya serna kontradiksi, sehingga lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realistas. Pandangan terakhir yang dikemukan oleh penulis adalah agnostisisme yang merupakan pemahaman yang menolak realitas mutlak yang bersifat trancendental.

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori ilmu pengetahuan diantaranya metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatif, dan metode dialektis. Dengan kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Gregory Bateson menilai kemajuan ini cenderung memperbudak manusia akibat dari kesalahan epistemologi barat dan ini harus diluruskan.

Upaya pelurusan kekeliruan epistemologi barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan aksiologi. Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .

Bab terakhir dari buku ini membahas tentang sarana ilmiah. Bahasa, matematika dan statistik serta logika merupakan sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang sehingga tiada batas dunia baginya. Matematika juga merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matermatika bersifat artifisial yang mempunyia arti tersendiri. Sementara buku ini mendefenisikan statistika sebagai sekumpulan metoda untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam keadaan yang tidak menentu. Sarana ilmiah lainnya adalah logika. Logika adalah sarana untuk berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung-jawabkan. Untuk mendapatkan sebuah kesimpulan, mungkin membutuhkan pemikiran yang rumit, panjang dan berliku-liku, sehingga diperlukan hukum-hukum pikiran beserta mekanisme yang dapat digunakan secara sadar untuk mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu. Buku ini menyebutkan ada tujuh aturan berpikir dengan benar yaitu : mencintai kebenaran, menyadari apa yang dikerjakan, menyadari apa yang dikatakan, dapat membedakan dua hal yang “sama” tetapi tidak “identik”, mencintai definisi yang tepat, menyadari kenapa membuat kesimpulan demikian dan mampu menghindari dan mengindentifikasi kesalahan pemikiran.

Demikian resensi buku daras Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal, semoga



............,wa maa uwtiytum minal ilmi illaa kaliylaa

Wallaahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar