Sabtu, 16 Oktober 2010

sesat-pikir-yang-salah-kaprah

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/01/sesat-pikir-yang-salah-kaprah

Komentar-komentar dihampir setiap tulisan yang ada di Kompasiana sejauh ini, kalau menurut kaca-mata saya, masih mencerminkan dinamika, .. tanggap-menanggap buah pikir secara terbuka, dan dalam batasan diskusi yang bijak. Bersikap kritis tetapi tidak negatif, tidak berarti, bahwa tidak ada sama sekali yang rada miring termasuk juga yang false identity … eh salah ketik. Maksud saya minor … getoo lhooo.

Pendapat atau komentar-komentar yang disampaikan lebih bersifat “bersumbang - sadap - saran, ketimbang mau menangnya sendiri”.

Kebanyakan dari kita menyadari bahwa menulis membuat otak ini berpikir lebih cepat dari sebelumnya, serta menganalisis lebih tajam dari biasanya. Kita seakan-akan diantar oleh nalar untuk mencari makna Mengapa begini-mengapa begitu? .. Bagaimana ini bisa terjadi seperti itu? .. Darimana asalnya ini? Namun, ternyata upaya kita untuk memunculkan suatu pertanyaan, .. justru mengatarkan kita melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya yang terus bermunculan.

Mungkin diawalnya, kita seakan memaksakan otak ini untuk bekerja lebih, apalagi buat orang seusia saya. Belakangan saya menyadari, bahwa hal ini merupakan suatu kegiatan (olah-otak) yang positif. Yang sekaligus juga memperkaya khazanah kita, baik akal budi mau pun kecerdasan semua pihak yang serius mengikuti olah-pikir ini.

Kalau saya cermati, … hhmmmm … ada memang sebagian yang bereaksi agak keras, ketika pendapat atau tulisannya diserang (baca; dikritisi). Ia seolah merasakan egonya diserang. Golongan yang pertama ini biasa disebut dengan Paralogisme. Ia kurang memahami tentang penalaran logis. Menurut para ahli perilaku-kepribadian katanya, orang yang tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain, sehingga kurang memahami tentang penalaran logis, yaitu “pelaku sesat-pikir logis yang tidak menyadari sesat-pikir yang dilakukannya.”

Namun ada juga sesat-pikir logis (logical fallacy) yang disamarkan menjadi silat lidah. Seringkali dilakukan oleh orang-orang yang berniat memperdaya (baca: Retorika, Emoh ah…). Sesat-pikir, akan sangat efektif digunakan dalam provokasi, menggiring opini publik, debat perencanaan undang-undang, pembunuhan karakter, hingga menghindari jerat hukum. Memang, dengan memanfaatkan ’sesat-pikir logis’ dalam adu-argumen/debat (silat lidah), bisa jadi dapat memenangkan suatu diskusi (perdebatan), namun itu sebenarnya dapat menjauhkan audiences atau orang-orang yang turut mendengarkan dari esensi permasalahan.

Gaya-gaya “Argumentum ad Hominem”, semakin kerap digunakan akhir-akhir ini,… bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain, tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: “shoot the messenger, not the message.”

Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem termasuk salah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam forum debat dan diskusi politik, yang ujung-ujungnya akan menyeret topik ke dalam debat kusir yang tak ada ujung pangkal. Menurut beberapa pakar, Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau cercaan.

Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan argumen lawan.

Perhatikan tayangan debat/diskusi di tipi-tipi, termasuk imbuhan-imbuhan dari si pembawa acara/mediator yang terkesan memanas-manasi suasana debat/diskusi, dengan alasan klasik, …. biar rame, katanya (padahal dia lagi jualan iklan tipi);

Contoh: Kepada anggota dewan yang terhormat, harus saya ingatkan bahwa sdr. Anu, anggota Fraksi Anu, yang menanyai saya ini, ketika ia dulu memegang jabatan, … tingkat pengangguran berlipat ganda, … inflasi terus-menerus melonjak, … dan harga sembako naik drastis. Dia (sdr. Anu), masih berani menanyai saya tentang masa depan proyek ini.

(cara yang berbelit-belit untuk mengatakan “no comment”, namun juga sekaligus menyerang lawan)

Jadi, … Apa benar ada “Sesat Pikir yang Salah Kaprah?” Kalau memang ada : Apakah Kesalahkaprahan itu demikian hebat sehingga dapat diumpamakan sebagai suatu yang “wah” getoo lhoo…. Atau barangkali, lebih bersifat kesalahan prosedur. Kalau ini sih, buat dapetin solusinya, katanya tidak terlalu sulit, karena kesalahan yang timbul, lebih disebabkan penggunaan alur pikir yang kurang tepat. Suatu kesalahan kecil karena kekhilafan dan bukan kesalahan karena kesengajaan.

Lantas, gimana dong kita menyikapinya? Ya … dengerin aja, … simak baik-baik, … lepaskan (emosi) keberpihakan atau ketidak berpihakan kita dari figures (orang-orang yang lagi berdebat), jangan terkecoh dengan popularitas seseorang, … fokus pada topik-topik yang sedang dibahas/didebatkan, .. perhatikan saja substansinya. Singkat cerita ke materi/esensinya getoo coy ….

Karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka saya memutuskan tidak membahas substansi ini lebih jauh. Saya juga tidak bermaksud membahas mengenai peristilahan “Sesat Pikir yang Salah Kaprah”. Jangan kesel ya … soalnya akyu udah lama ng’ga posting tulisan, jadi nulis yang ringan-ringan aja dulu.

pLLiiiisssss deh aahhh …

Salam,

Umar - Tukang Nasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar